Rupa Dupa, Cara Warga Bumi Arema Bertahan dan Bangkit Ditengah Pandemi Corona
MALANG – Rumah limasan khas arsitektur Jawa itu, tampil berbeda dari rumah lain di Jalan Sunan Muria II, Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur. Tempat ini merupakan Sekretariat East Java Ecotourism Forum (EJEF), beranggotakan para pemangku kepentingan ekowisata di Jatim. Di dalam rumah, sejumlah orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang mencatat barang, mendesain kemasan maupun mencatat pemesanan.
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah memukul sektor pariwisata, ribuan orang di Jatim yang bergantung sektor wisata kehilangan penghasilan. Mereka terpaksa mencari alternatif penghasilan dengan beragam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seperti dialami Sri Warti Dyah, seorang pemandu wisata lepas. Dia sebagai pemandu wisata professional selama 37 tahun.
Kerap memandu wisatawan mancanegara, spesialisasi berbahasa Perancis, juga memandu wisatawan nusantara atau asing berbahasa Inggris. Sri biasa disapa Didien, sejak akhir 2019, kunjungan wisatawan asing menurun berbarengan dengan agenda pemilu.
Pemandu wisata merupakan pekerjaan utama anggota Himpunan Pramuwisata lndonesia’ (HPI) Dewan DPC Malang Raya ini. “Terakhir memandu wisatawan November 2019,” katanya.
Sejak itu, tak ada lagi wisatawan mancanegara berkunjung. Apalagi, sejak ada warga Indonesia terinfeksi COVID-19. Asesor pemandu ekowisata dan wisata umum ini harus mencari sumber pendapatan lain. “Selama ini mengandalkan jasa mengantar wisatawan. Tak bisa apa-apa lagi, rasanya ingin menjerit,” katanya.
Rupa Duta
Kini, dia tengah menjajal usaha minuman herbal, sirup jahe dan sambal. Didien tak sendirian, bersama ratusan pemandu wisata di Jatim juga mengalami nasib sama.
Melihat kondisi ini, EJEF menginisiasi Rumah Pangan Duta Ekowisata (Rupa Duta) untuk menampung dan mendistribusikan bahan pangan, olahan dan kerajinan produksi pelaku ekowisata di Jatim.
Rupa Duta dikerjakan enam orang, mereka juga pelaku wisata yang kehilangan pendapatan dampak COVID-19. EJEF mengidentifikasi potensi, seperti produsen oleh-oleh dan makanan olahan yang turut menopang jasa pariwisata.
Tri Sulihanto Putra, Manajer Rupa Duta menuturkan, Rupa Duta memprioritaskan pelaku wisata yang paling terdampak. Tahap awal identifikasi potensi produk yang akan dipasarkan dan menentukan standar produk sesuai kebutuhan pasar.
Rupa Duta membantu usaha rintisan dari nol, seperti produk minuman herbal milik Didien. Mereka mulai menentukan standar rasa, desain produk dan kemasan. Untuk produk mapan akan dihubungkan dengan pasar lebih luas.“Disesuaikan dengan pasar, menyasar kelas menengah atas,” katanya.
Ada pula produk mapan, dan memilliki izin produk industri rumah tangga (PIRT) tetapi perlu perbaikan desain dan kemasan agar lebih menarik, seperti ekstrak jahe, kunyit dan temulawak produk olahan desa wisata Ampelgading Kabupaten Malang. “Kemasannya dibenerin.”
Pelaku wisata di Desa Ranupani, Kabupaten Lumajang, juga mengalami nasib sama. Selain kehilangan pendapatan di sektor wisata, mereka juga tak bisa memasarkan kentang yang panen. Masyarakat di Kaki Gunung Semeru ini terpaksa menimbun kentang, lantaran tak bisa mendistribusikan ke sejumlah daerah sejak penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Kentang produk Ranupani dipasarkan ke Jakarta dan Kalimantan. Kentang melimpah dan tak terserap pasar. Selain itu, pengelola wisata alam Pantai Tiga Warna Kabupaten Malang juga memproduksi virgin coconut oil (VCO) dan buah pisang. Harga pisang terus merosot, kalau sebelumnya satu tandan pisang kapok Rp60.000 turun sampai Rp45.000.
“Di Kota Malang harga satu sisir pisang kepok Rp35.000.”
Perajin gantungan kunci dan miniatur papan seluncur banting stir produksi gelas berlapis bambu. Selain itu, juga ada produk pangan seperti beras organik, jeruk, ikan kering, dan produk olahan seperti keripik pisang, petis dan terasi. Rupa Duta memiliki 13 variasi produk.
EJEF, katanya, memiliki aset sosial dan jejaring luas dan berada di hampir setiap kota dan kabupaten di Jatim. Produk Rupa Duta dipasarkan melalui media sosial dan tengah bangun portal khusus sebagai etalase produk. Produk juga ditawarkan melalui jejaring EJEF di seluruh pelosok negeri. Rupa Duta, setiap hari ada transaksi sejak beroperasi dua pekan lalu. Transaski secara daring dan luring.
Bersama-sama Rupa Duta dan jejaring EJEF menciptakan pasar baru. Apalagi didukung jejaring dan modal sosial yang kuat. Jaringan meliputi pemandu wisata, praktisi mulai tour operator, pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan petani. Mereka semua terdampak.
Bagaimana potensi dikumpulkan, bahan mentah jadi produk ketemu pasar? Produk yang dipasarkan berupa bahan pangan, produk olahan sehat dan ramah lingkungan, antara lain, terasi udang Bu Yani Rp15.000, petis tuna Rp7.000, teri kering 250 gram Rp35.000, kopi blend Panderman Margojoyo 250 gram Rp40.000, dan kopi robusta Semeru Marjo 200 gram Rp30.000.
Juga ada, beragam jenis madu ukuran 200 mililiter Rp35.000-Rp45.000, 500 gram Rp75.000-Rp90.000. Juga aneka produk minuman olahan, jeruk, mint, stowberi, lemon kering Rp25.000-Rp30,000.
Setelah pandemi berakhir, dia berharap para pelaku wisata bisa mengembangkan produk yang ada. Apalagi, produk itu juga pantas jadi oleh-oleh bagi wisatawan, termasuk makanan atau minuman kesehatan. “Setelah pandemi COVID-19, masyarakat mulai memperhatikan makanan dan minuman sehat,” katanya.
Model kerjasama secara adil dan setara, termasuk menentukan harga dan memperbaiki standar rasa maupun kemasan. “Produsen mendapat untung lebih banyak. Tapi pengelola juga dapat keuntungan karena mereka juga kehilangan pekerjaan.”
Pariwisata kolaps
Ketua EJEF Agus Wiyono menjelaskan, EJEF merupakan forum bagi pelaku wisata berbasis ekowisata. Wadah, bagi industri pariwisata, tour operator, pemandu wisata, pengusaha UMKM, dan pengelola destinasi. Selain itu, juga didukung akademikus, mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) konservasi dan pendamping kemunitas maupun masyarakat pariwisata. Tujuannya, mendorong pengembangan wisata berkelanjutan dan memperhatikan aspek sosial budaya, lingkungan hidup, dan ekonomi berkelanjuran.
Dengan menerapkan manajemen berkelanjutan, EJEF memiliki model pencontohan destinasi ekowisata di pedesaan, dataran tinggi dan pesisir. EJEF rutin menggelar pelatihan dan memasarkan produk wisata secara bersama-sama.
Sebulan sekali digelar kuliah pariwisata non gelar gratis di Universitas Brawijaya. EJEF juga memberi pelatihan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pelaku usaha wisata, mengelola home stay, pemandu, perencanaan pengelolaan destinasi, dan paket wisata.
Sejak pandemi COVID-19, pelaku pariwisata kolaps. Apalagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan menutup semua destinasi wisata. Sebagian besar telah menempatkan industri pariwisata sebagai tumpuan utama. Kala sektor ini lesu, mereka kaget dan bingung mencari pendapatan lain.
Sebuah desa di Situbondo sekitar 80% penduduk merupakan perajin gantungan kunci dipasarkan ke Malioboro Yogyakarta, Danau Toba dan Bali. Sejak Februari 2020, produksi terhenti karena industri wisata lesu. Kini, mereka berganti produksi gelas berlapis bambu. Melalui Rupa Duta dipasarkan ke sejumlah pengelola cafe dan perseorangan di Jakarta dan luar Jawa.
Pemerintah, katanya, seharusnya hadir membantu untuk mendapatkan skema bantuan sosial. Tak memberi ikan, tetapi pancing agar mereka bisa bertahan dan kuat menghadapi masa pandemi ini. Dinas Pariwasata Jatim, katanya, meminta data nama dan alamat pelaku usaha pariwisata. Mereka yang kehilangan pekerjaan akan dapat kartu pra kerja. Sampai 1,5 bulan berlalu tak ada kabar lebih lanjut.
“Kita jalan sendiri saja. Kayak mengemis,” katanya.
Agus menilai, kalau kartu pra kerja tak tepat diberikan kepada pelaku jasa pariwisata. Pelatihan hanya menguntungkan provider. Kartu pra kerja cocok kepada pemuda baru lulus SMA atau perguruan tinggi. Bukan kepada mereka yang kehilangan pekerjaan dan tak dapat penghasilan.
Selain itu, bisa membantu UMKM mendapat PIRT, atau izin usaha lain serta pinjaman modal usaha dengan skema bunga ringan. “Pra kerja buka jawaban. Tak cocok.”
EJEF beranggotakan 250 kelompok atau komunitas. Rupa Duta baru mengelola sekitar 10% potensi yang ada. Keterbatan tenaga jadi salah satu faktor. Model bisnis, katanya, mereka rancang agar berkelanjutan dan menopang ekonomi pelaku pariwisata. Setelah pandemi, Rupa Duta diharapkan tetap lanjut mengembangkan bahan pangan, produk olahan yang sehat dan ramah lingkungan.
Pandemi ini, katanya, jadi pembelajaran agar para pelaku wisata tak terlena dengan kegiatan wisata, seperti, pengelola desa wisata, tetap mengelola lahan pertanian. “Jangan tinggalkan pekerjaan utama. Petani ya tetap bertani, pariwisata jadi alternatif.” []
Penulis : Eko Widianto