April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Saat Marah, Orang Menjadi “Sok Pintar” dan “Sok Benar”

3 min read

Kemarahan atau temperamen adalah bagian kunci dari emosi manusia yang cenderung dikaitkan dengan emosi negatif. Meskipun sebenarnya, ada pula manfaat positif dari sikap temperamental, misal sebagai alat komunikasi, serta pemotivasi.

Fakta baru mengungkap, orang yang sedang marah cenderung berpikir mereka lebih pintar dari yang sebenarnya. Begitu simpulan penelitian psikologi baru di jurnal Intelligence.

Jadi, Anda mungkin harus menenangkan diri sebelum membuat keputusan atau klaim besar saat marah. Terutama jika Anda cenderung bersumbu pendek alias mudah marah dalam berbagai situasi.

“Dalam sebuah proyek baru-baru ini saya meneliti hubungan antara temperamen dan sejumlah fungsi kognitif. Saya melihat dari tinjauan pustaka bahwa temperamen berbeda secara signifikan dari emosi negatif lain, seperti kesedihan, kecemasan, atau depresi. Temperamen lebih berorientasi pada pendekatan dan dikaitkan dengan persepsi risiko yang optimistis dan bias yang optimistis secara umum,” kata penulis studi Marcin Zajenkowski dari University of Warsawa, Polandia, kepada Psypost.

“Saya bertanya-tanya apakah orang dengan sifat temperamen tinggi akan menunjukkan bias dalam persepsi kemampuan dan kompetensi mereka. Secara khusus, saya menguji apakah temperamen yang tinggi mengarah ke ilusi intelijen positif.”

Sifat temperamen, menurut Encyclopedia of Behavioral Medicine, adalah karakteristik kelainan temperamen yang membuat seseorang sering marah. Intensitasnya bervariasi (misalnya, iritabilitas ringan, kemarahan intens), dan sering disertai dengan emosi negatif terkait seperti rasa iri, benci, dan jijik.

Bersama dengan psikolog Gilles Gignac dari University of Western Australia, Perth, Zajenkowski melakukan dua penelitian yang melibatkan total 528 peserta. Para peserta menyelesaikan kuesioner seputar emosi peserta, dan meminta mereka untuk menilai kecerdasan mereka sendiri pada skala 25 poin.

Peserta kemudian ditugaskan untuk menjalankan serangkaian tes kecerdasan berfokus pada kemampuan untuk memecahkan masalah baru, menggunakan logika dalam situasi baru, dan mengidentifikasi pola alih-alih mengandalkan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya.

Para peneliti juga mengevaluasi neurotisisme dan narsisisme para peserta. Mencari setiap interaksi dan pola.

Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa orang yang mengaku bersumbu pendek juga cenderung melebih-lebihkan kecerdasan mereka.

“Individu dengan sifat temperamen yang tinggi memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemampuan mereka, yaitu berpikir bahwa mereka lebih pintar dari yang sebenarnya. Bagian kemarahan ini dikaitkan dengan ilusi narsistik,” kata Zajenkowski.

Meskipun kemarahan dikaitkan dengan melebih-lebihkan kecerdasan seseorang, hal itu tidak berhubungan dengan tingkat kecerdasan yang sebenarnya. Aspek temperamental ini–optimisme kepercayaan diri tinggi–ditemukan dalam bidang terkait dengan narsisisme. Hal itu dikatakan bisa menyebabkan kerusakan hubungan interpersonal.

“Individu dengan narsisisme tinggi tidak membangun ikatan yang mendalam dan intim dengan orang lain, tetapi lebih mengungguli dan mendominasi orang lain. Sejalan dengan itu, sifat temperamental dikaitkan dengan masalah dalam sebuah hubungan,” tulis para peneliti dalam makalah mereka.

“Kami berspekulasi bahwa dampak-dampak negatif ini mungkin terkait dengan pemikiran superioritas kepada orang lain, terutama dalam area kemampuan. Sering kali, pengalaman kemarahan dapat menghasilkan pemikiran seperti, ‘Saya pintar’ dan ‘Kamu bodoh’, yang mungkin, pada waktunya, menyebabkan masalah dalam menciptakan hubungan positif dengan orang lain.”

Meski demikian, studi ini memiliki keterbatasan. Semua peserta adalah mahasiswa universitas Polandia, yang mungkin berada dalam komunitas WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, and Democratic). Komunitas ini hanya mewakili 12 persen dari total manusia di dunia.

Selain itu, ukuran kecerdasan dinilai sendiri oleh para peneliti, dan mungkin ada cara yang lebih dapat diandalkan untuk menilai sifat terlalu percaya diri.

Terakhir, studi didasarkan pada survei laporan diri, bukan percobaan. Dalam kasus ini, mungkin penilaian peserta atas perilaku mereka sendiri tidak akurat.

Jadi hubungan sebab-musabab antara korelasi temperamental dan estimasi kecerdasan berlebih tidak dapat ditetapkan pada temuan ini, dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

“Penelitian kami hanya menguji sifat temperamental, yaitu kecenderungan disposisional untuk mengalami kemarahan. Namun, studi selanjutnya dapat mengeksplorasi apakah pengalaman sementara kondisi kemarahan juga mengarah pada persepsi bias kemampuan mereka,” ujar Zajenkowski.

Menurut National Institute for Clinical Application of Behavioral Medicine, kemarahan memicu pelepasan hormon stres yang benar-benar dapat mengubah cara kerja otak. Sisi lainnya, kemarahan juga dapat berdampak negatif pada sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, dan sistem kekebalan. Dengan kata lain, marah tidak begitu bermanfaat bagi pikiran pun tubuh Anda. [Edwin Beritagar]

Advertisement
Advertisement