April 24, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Sampai Dengan Siang Ini, Jumlah Korban Tsunami Selat Sunda : Meninggal 429, Mengungsi 16.082

3 min read
Petugas mengevakuasi jenazah yang berhasil ditemukan di desa Sambolo, Pandeglang, Banten, Selasa 25 Desember 2018. Hingga Hari ini tercatat 429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, 16.082 orang mengungsi ke tempat yang lebih aman.Wisnu Agung Prasetyo/Beritagar.id

Petugas mengevakuasi jenazah yang berhasil ditemukan di desa Sambolo, Pandeglang, Banten, Selasa 25 Desember 2018. Hingga Hari ini tercatat 429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, 16.082 orang mengungsi ke tempat yang lebih aman.Wisnu Agung Prasetyo/Beritagar.id

Setelah tiga hari berlalu, jumlah korban tsunami Selat Sunda terus bertambah banyak. Per jam 13:00 siang (25/12/2018) ini, korban meninggal dunia sudah mencapai angka lebih dari 400 orang.

“429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, 16.082 orang mengungsi,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepada wartawan, Selasa (25/12/2018).

Menukil pemberitaan Detik News, data kerugian materiil terkait tsunami Selat Sunda juga terus bertambah. Ada 882 rumah yang rusak, 73 penginapan rusak dan 60 warung rusak.

“434 perahu dan kapal rusak, 24 kendaraan roda 4 rusak, 41 kendaraan ruda 2 rusak, 1 dermaga rusak, dan 1 shelter rusak,” sambung Sutopo.

Sutopo menyebut daerah yang paling parah terdampak tsunami Selat Sunda ialah Kabupaten Pandeglang.

“Tercatat 290 orang meninggal dunia, 1.143 luka-luka, 77 orang hilang, 14.395 orang mengungsi,” katanya.

Tsunami Berpotensi Masih Akan Terjadi Lagi

Kondisi badan Gunung Anak Krakatau masih belum stabil dikhawatirkan berpotensi menimbulkan tsunami susulan. Gunung api laut itu berpotensi longsor lagi dan menyebabkan tsunami di sekitar Selat Sunda.

Menurut praktisi mitigasi bencana geologi, Surono yang akrab disapa Mbah Rono, saat ini Gunung Anak Krakatau masih membangun tubuhnya untuk terus bertambah tinggi. Proses pembangunan itu dilakukan dengan cara mengeluarkan material-material melalui letusan-letusan kecil.

“Ia belum stabil, karena getaran tanpa henti dalam setahun penuh dan sebagainya,” kata Mbah Rono kepada CNNIndonesia TV, Senin (24/12/2018).

Mantan Kepala Badan Geologi ESDM itu menyebut, karena material yang membentuk tubuh Gunung Anak Krakatau itu masih baru, maka belum kuat dan belum stabil sehingga rawan terjadi longsor.

Longsoran inilah yang jatuh ke laut dan mendorong air laut ke daratan di sekitar Selat Sunda dan membentuk tsunami. Karena material yang longsor masuk ke laut mencapai jutaan kubik meter, maka air laut jutaan kubik meter pula yang bisa terdorong. “Maka terjadi tsunami. Itu yang mungkin terjadi,” kata Mbah Rono.

Sedangkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama instansi lain yang berada di bawah koordinasi Kemenko Maritim masih menganalisis potensi tsunami susulan tersebut.

Richard Teeuw, peneliti bidang lingkungan dan bencana, Universitas Portsmouth, Inggris menyatakan, kemungkinan tsunami susulan tak bisa diabaikan. Sebab aktivitas Gunung Anak Krakatau masih terus berlanjut.

“Kemungkinan tsunami lanjutan di Selat Sunda tetap tinggi. Sebab aktivitas Gunung Anak Krakatau yang masih fase aktif, bisa memicu longsoran di lautan,” ujar Teeuw, seperti dikutip da Channel News Asia, Senin (24/12/2018).

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, analisis itu dilakukan dengan menggunakan tidegauge atau alat pengukur pasang surut air laut di pantai.

“Selama masih di Indonesia kemungkinan tsunami itu masih ada. Itulah kenapa dipasang tidegauge di pulau sekelilingnya. Seandainya ada tsunami bisa diketahui lebih dini,” ujar Dwi di Jakarta, Senin (24/12/2018) seperti dipetik dari Jawapos.com.

Untuk mengetahui potensi tsunami susulan, saat ini BMKG melihat data dari 200 sensor gempa di seluruh Indonesia. Selain itu, ada puluhan tidegauge yang dikelola Badan Informasi Geospasial (BIG) yang juga bisa diakses BMKG.

Tsunami yang menyerang Banten dan Lampung, Sabtu (22/12/2018) membingungkan banyak pihak. Warga di sekitar pantai sempat memilih mengungsi karena takut adanya tsunami susulan.

Yudi (40 tahun) warga Lentera, Kecamatan Labuan, Pandeglang, Banten memilih tinggal di pengungsian. Sebenarnya, Yudi bersama keluarga sempat pulang ke rumahnya, yang hanya berjarak 150 meter dari pantai. Tapi tiba-tiba gelombang naik disertai angin kencang.

Yudi mengaku lebih nyaman tinggal di pengungsian karena cuaca masih buruk. Setelah tsunami, hujan lebat dan angin kencang terus melanda sejumlah wilayah terdampak di Banten. Bahkan, pada Minggu (23/12) sore gelombang laut masih tinggi di kawasan Pantai Labuan.

“Kami menunggu cuaca kembali normal dan bisa pulang ke rumah,” kata Yudi seperti dinukil dari IDNTimes.com, Senin (24/12/2018). []

Advertisement
Advertisement