Sampai Tiga tahun Kedepan, Rupiah Masih Dibayang-Bayangi Pelemahan
JAKARTA – Rupiah yang sudah kembali ke level Rp14 ribuan sejak pertengahan November tidak serta-merta menghilangkan kekhawatiran akan depresiasi kurs yang makin dalam. Bahkan menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih akan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.
“Jangan bermimpi ini akan selesai karena bisa berlangsung dua atau tiga tahun lagi,” kata Darmin di Jakarta, Jumat (23/11), seperti dilansir Antara.
Penyebab tekanan terhadap kurs mata uang garuda diperkirakan tetap berasal dari faktor global. Di mana ada normalisasi kebijakan The Federal Reserve, ancaman perang dagang, sampai harga global komoditas yang bergejolak.
Sedikit informasi sampai 23 November 2018, kurs rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta berada di angka Rp14.552 per dolar Amerika Serikat. Naik 40 poin dibandingkan hari sebelumnya.
Nilai kurs tersebut diketahui jauh lebih baik dibandingkan pada awal 1 November ketika nilai tukar mata gadura masih berada di level Rp15.195 per dolar AS. Namun apabila dibandingkan dengan awal tahun lalu, rupiah masih terdepresiasi sebesar 7,46%.
Dalam menghadapi tekanan ini, pemerintah berupaya membenahi fundamental ekonomi dalam negeri melalui perbaikan defisit neraca transaksi berjalan. Meski demikian, Darmin mengakui, hasil dari pembenahan tersebut belum akan terlihat dalam waktu cepat. Otomatis stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negeri Paman Sam juga tidak dapat terjadi dalam jangka pendek.
“Transaksi berjalan itu butuh bertahun-tahun untuk memperbaiki. Bukan begitu keluar kebijakan, bulan depan atau tiga bulan lagi akan beres,” tegas Darmin.
Sampai akhir kuartal III-2018 sendiri, defisit neraca berjalan bertengger di 3,37% dari produk domestik bruto (PDB). Nilainya mencapai US$8,8 miliar.
Defisit neraca berjalan ini cukup meningkat dibandingkan posisinya di kuartal II-2018. Saat itu, transaksi berjalan hanya defisit US$8 miliar atau setara 3,02% dari PDB. Namun secara akumulatif, hingga kuartal III, persentase defisit transaksi berjalan hanyalah 2,86% dari PDB.
Darmin menegaskan, persoalan defisit neraca transaksi sudah ada sejak Indonesia berdiri dan memang belum bisa selesai 100% sampai saat ini. Pemerintah pun secara bertahap terus berupaya untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan melalui sejumlah kebijakan. Fokusnya pula untuk memperbaiki neraca perdagangan. Salah satunya dengan mewajibkan penggunaan biodiesel (B20) guna mengurangi impor migas.
Upaya menekan defisit neraca modal juga dilakukan melalui revisi peraturan mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI). Langkah ini diharapkan menarik minat pengusaha agar devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam disimpan di dalam negeri. Dilakukan pula perbaikan peraturan mengenai fasilitas insentif perpajakan.
Akan tetapi, lagi-lagi Darmin mengingatkan, upaya pembenahan neraca perdagangan maupun neraca modal ini tidak selesai dalam hitungan bulan. Semua memerlukan proses dalam jangka menengah hingga panjang.
Ia melanjutkan, berbagai kebijakan tersebut, seperti yang baru diluncurkan dalam bentuk paket kebijakan XVI, harus dipandang sebagai upaya pembenahan lebih dini. Kebijakan juga diambil untuk menjaga kepercayaan para pelaku pasar agar aliran modal kembali masuk ke Indonesia.
“Sekarang ini momentumnya modal asing mulai masuk, apalagi setelah kebijakan bunga BI dinaikkan. Momentum itu harus dimanfaatkan dan dijaga. Kalau momentum ini lewat, kita harus menyiapkan kebijakan lagi yang mungkin baru tiga atau enam bulan lagi baru bisa kita buat,” tuturnya.
Tekanan terhadap rupiah yang diprediksi masih terus berlanjut sempat diungkapkan juga oleh peneliti Indef, Bhima Yudhistira. Ia bahkan memprediksi kurs rupiah akan cepat kembali ke keseimbangan barunya di kisaran Rp15 ribu per dolar AS. Alhasil, masuknya dana asing ke Indonesia pun bisa terus berputar dan masih ada risiko yang harus diantisipasi.
“Saya bilang temporer karena rupiah berpotensi kembali ke Rp15 ribu per dolar AS. Bulan Desember ada kenaikan Fed rate kemudian situasi politik di AS masih belum menentu,” tukas peneliti Indef, Bhima Yudhistita, kepada Validnews, Jumat (9/11).
Bhima menjelaskan, sentimen yang membuat dolar AS melemah dan berujung kepada kembalinya rupiah ke level Rp14 ribuan dikarenakan ada kekhawatiran investor di negeri tersebut bahwa Demokrat akan memenangi senat. Jika demikian, Presiden AS Donald Trump terancam tidak bisa melanjutkan reformasi pajaknya juga akan menghalangi kebijakan proteksi dagang. [tnf]