Sang Pembela Keadilan PMI ABK
JAKARTA – “Selamat Datang di kapal neraka!” Tutur Imam Syafi’i menirukan ucapan seorang anak buah kapal (ABK) Indonesia, yang sudah lebih dulu mendiami kapal nelayan berbendara Taiwan itu.
Sontak saja sambutan awal itu membuat Imam semakin kalut. Dia sangat takut. Dalam pikiran, dia ingin lari dan segera kembali ke Tanah Air. Sayang, dia sudah di tengah lautan antah-berantah.
Dia pun tak tahu nama daerah tempatnya berada kala itu. Yang terlihat hanyalah dinding-dinding berkarat dari sebuah kapal nelayan tua, sampan yang mengantarkannya merapati kapal, dan beberapa orang asing berpenampilan lusuh.
Kegetirannya bertambah, saat si ABK senior bilang, sia-sia saja kalau berhasil kabur, karena keluarga di rumah akan terancam. Tak ada pilihan. Dia hanya bisa pasrah menjalani hidup di “kapal neraka” itu, bak seorang budak!
Pengalaman itu sungguh berbanding terbalik dengan bayangannya ketika masih di Tegal, Jawa Tengah, pada 2011. Harapan Imam wajar-wajar saja, sama seperti kelaziman manusia. Dia ingin memiliki hidup berkecukupan. Mendapat pekerjaan yang lebih mapan ketimbang profesinya terdahulu, seorang security.
Waktu itu, dia iri saat menyaksikan kesuksesan teman sekampungnya, setelah pulang berlayar. Dandanannya perlente dengan barang-barang serba baru. Imam pun kepincut, kemudian mencari tahu tempat si teman bekerja.
Singkat cerita, ada tetangga yang memberi informasi kalau saudaranya yang tinggal di Desa Suradadi, Tegal, bisa menyalurkan Imam ke kapal asing. Imam yakin saja, apalagi desa tersebut terkenal sebagai kampung para pelaut.
Hasratnya menjadi-jadi, setelah mendengar tawaran gaji sebesar US$180 per bulan, belum ditambah bonus-bonus yang lain. Jumlah itu menggiurkannya.
Jauh berbeda dengan bayarannya sebagai petugas keamanan, yang hanya Rp900 ribu per bulan. Paling tidak, ada kenaikan dua kali lipat lebih.
Tanpa pikir panjang, Imam bersiap ganti profesi menjadi pelaut. Dengan mahar Rp1,5 juta, dia menandatangani kontrak kerja selama dua tahun.
Hari berselang, Imam sibuk mengurus surat-surat ke kantor imigrasi. Setelahnya, dia dan enam orang lainnya berangkat ke kantor perwakilan perusahaan kapal asing itu di wilayah Grogol, Jakarta Barat.
Hanya dilatih tiga hari, lantas dia diberi tiket pesawat Fly Emirates, dengan tujuan akhir Port of Spain, Ibu Kota Trinidad dan Tobago. Sedemikian lugu, sehingga dia mengira bakal mendarat di Spanyol. Karena tertera kata “Spain” di lembar tiket.
Walhasil, pikirannya salah. Begitu mendarat, yang didapati justru orang-orang berkulit hitam. Di bandara, mereka dijemput, lalu dibawa menuju sebuah ruko untuk beristirahat satu malam, sebelum memulai petualangan kehidupan baru pada keesokan harinya.
Malapetaka
Sampai pelabuhan, Imam mulai merasakan kejanggalan. Tak ada kapal nelayan besar yang bersandar di sana. Imam harus berlayar dengan sampan kecil sejauh beberapa mil, untuk sampai ke lokasi kapal berjangkar.
Dan benar saja, kecurigaan itu menjadi nyata, saat Imam menapakkan kaki pada sebuah kapal nelayan tua. Di situ ada dua ABK asal Vietnam, tujuh warga negara China, dan satu WNI. Semuanya lusuh.
“Ini tidak sesuai sama omongan orang agency. Katanya kapal besar, kenyataannya tidak,” cerita Imam.
Sekarang, Imam turut merasakan penderitaan yang pernah menimpa para ABK sebelumnya. Mereka diwajibkan bekerja 20 jam setiap hari, memancing ikan albacore, dengan bobot 20–60 kilogram.
Tenaga pun yang sudah habis terkuras hanya diganti dengan makanan ala kadar. Setiap pagi, bubur adalah menu andalan. Santapan siang dengan lauk ayam, atau ikan yang direbus. Sementara sang kapten kapal, mendapat makan dengan lauk yang bisa diolah dengan cara digoreng.
Belum lagi, mereka juga terpaksa untuk menyantap daging babi.
“Ya mau tidak mau dimakan, meski saya seorang muslim,” tuturnya.
Bagi para ABK, termasuk Imam, kekerasan fisik saat berlayar adalah pengalaman sehari-hari. Tak jarang, kapten kapal melontarkan bogem-bogem mentah.
“Karena capek, akhirnya main tangan. Sebenarnya bermula dari komunikasi yang enggak nyambung,” jelas Imam.
Rangkaian keadaan miris itu, ditambah masalah cuaca, lantas menjadi pemicu para ABK jatuh sakit. Semua ditangani tanpa perlengkapan medis yang layak. Mereka hanya bisa mengonsumsi obat-obatan yang tersedia di kapal.
“Neraka” ini dilalui Imam selama hampir satu tahun. Dalam kurun itu, dia tidak pernah melihat daratan sama sekali. Pengelolaan logistik, pemindahan hasil tangkapan, hingga pengiriman solar, dilakukan di laut lepas. Jika tak kuat mental, mungkin para ABK sudah menjadi gila.
Sampai tiba waktu, sang kapten meminta seluruh ABK istirahat karena kapal akan bersandar.
Imam lega, akhirnya akan menginjakkan kaki ke daratan. Dia sudah berencana untuk menghubungi keluarga di kampung. Menanyakan, apakah mereka sudah menerima uang dari perusahaan? Tapi semua itu pupus.
Ternyata kapal hanya melempar jangkar di titik permulaan keberangkatan, bukan merapat ke daratan. Kekecewaan melanda.
Masih belum cukup, kabar buruk berikutnya datang. Kapten mengatakan, perusahaan bangkrut. Gaji yang dijanjikan, sepeser pun belum dikirimkan. Padahal, perjanjian awal menyebut, dari US$180, sebanyak US$50 akan dibayar kontan di kapal, lalu sisanya di kirim ke keluarga masing-masing ABK. Ternyata itu semua nol besar. Imam ditipu habis-habisan.
Lebih aneh lagi, hanya pekerja warga negara China yang diperbolehkan pulang ke daratan. Sementara yang lain harus tetap tinggal, dengan alasan, menunggu pihak agency menjemput. Namun, kapan? Tak ada kejelasan waktu.
Mereka hanya dibekali bahan makan seadanya.
Di tempat yang sama, terdapat 20 kapal lain yang juga berjangkar. Ternyata, semuanya bernasib sama. “Yang bikin bingung kok ada sekitar 20 kapal lebih. Totalnya ada sekitar 168 orang,” sebutnya.
Hari berganti. Terhitung tiga bulan mereka terkatung-katung di tengah laut. Kondisi kian memburuk. Bahan makanan menipis, sebab sebagian membusuk. Memancing, jadi satu-satunya cara menyambung hidup.
Hingga suatu kali, keajaiban datang. Sebuah kapal nelayan setempat melintas. Kesepakatan pun dibuat. Sebagian dari ABK bisa ikut ke daratan, dengan imbalan tukar peralatan pancing.
Seingat Imam, ada 29 orang yang diangkut pertama ke daratan Trinidad. Di sana mereka bekerja serabutan. Uang hasil kerja, dibelikan bahan makanan untuk dikirim ke rekan-rekannya yang masih terpenjara dalam kapal.
Sayang, aktivitas itu terendus aparat. Mereka diciduk. Namun, inilah yang justru menjadi penyelamat, karena nasib mereka diketahui oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Caracas, Venezuela. Para ABK WNI itu kemudian dipulangkan ke Tanah Air, dalam beberapa kloter.
Berjuang Mencari Keadilan
Sesampai Indonesia, Imam tak mau membuang-buang waktu. Dia langsung mengumpulkan para ABK yang menjadi korban dari agency bodong itu. Mereka menggelar demonstrasi untuk menuntut pihak perusahaan agar diadili.
Namun, dari sekitar 100-an ABK, satu persatu mundur. Ada yang merelakan haknya hilang, sebagian lagi merasa habis energi karena tuntutan itu tak kunjung membuahkan hasil.
Hanya dengan 55 orang, Imam tetap bersikeras. Kantor perusahaan kapal disambangi, begitu juga Kementerian Ketenagakerjaan hingga BNP2TKI. Sambil berjuang, Imam juga mendirikan sebuah organisasi pekerja yang diberi nama Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN), dan kini sudah secara resmi tercatat di Dinas Ketenagakerjaan.
Gugatan juga dilayangkan Imam ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Hakim lantas memutus Direktur Perusahaan perwakilan di Jakarta sebagai tersangka.
Imam dan rekan-rekannya mendapatkan restitusi sebesar Rp1,1 miliar pada tahun 2014. Uang tersebut dibagi untuk 56 orang ABK, dengan masing-masing menerima Rp20 juta.
Namun Imam tak puas, lantaran negara seakan-akan melihat kasusnya sudah selesai, hanya dengan memenjarakan direktur perusahaan. Tidak ada komunikasi kepada perusahaan kapal asing di Taiwan, juga tidak ada penyitaan aset seperti kapal yang bisa untuk dilelang.
Karenanya, Imam tak mau berhenti. Dia memilih terus berjuang, dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Seiring itu, Imam aktif bersuara di media sosial, menuntut kesejahteraan bagi para ABK. Tidak disangka, banyak tenaga kerja Indonesia dan ABK yang menghubunginya untuk dimintai bantuan atas kasus yang mereka alami.
Atas nama solidaritas dan kesamaan nasib, di tengah kesibukan penyelesaian kasusnya, Imam berbesar hati membantu masalah teman-temannya di meja hijau.
Imam menjelaskan, banyak kasus yang akhirnya bisa ia rampungkan. Bukan hanya melalui pengadilan, tetapi juga dengan jalan lain. Seperti musyawarah, pertemuan tripartit, dan pengadilan industrial. Sayangnya, kasusnya di MK kandas.
Sebagai pejuang, Imam pernah mengadvokasi 11 pelaut niaga Indonesia yang ditelantarkan di Inggris. Dia melakukan komunikasi dengan pihak International Transportation Federation (ITF) di United Kingdom. Dalam jangka satu bulan, para pelaut itu lantas bisa pulang ke Indonesia.
Selain itu, Imam juga menangani 26 pelaut yang terlantar di Angola. Dia melakukan advokasi dan berhasil memulangkan seluruhnya ke Indonesia dengan selamat.
Hubungan baik dengan BNP2TKI serta Kementerian Luar Negeri sangat memudahkan Imam dalam menjalankan proses advokasinya.
Selain organisasi terdahulu, Imam mendirikan pula Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) yang mengurusi masalah perikanan dan kelautan. Sejak Mei 2021 hingga saat ini, lembaga itu telah menangani 53 pengaduan kasus dari para ABK.
Jenisnya beragam. Antara lain, upah ABK yang tidak dibayarkan, permintaan ABK dipulangkan dari Somalia, pencarian tiga ABK yang hilang kontak di Kapal FV Tai Hoong 7, dan aduan tentang kegagalan pemberangkatan.
Menurut Imam, benang kusut permasalahan para ABK bermula dari keterbatasan lowongan kerja di Indonesia. Akibatnya, banyak yang berusaha mencari peruntungan ke luar negeri, tanpa pengawasan ketat dari pemerintah.
Kini Imam fokus membangun edukasi di komunitasnya. Sebagai ruang untuk berkomunikasi, dia dirikan media online bernama Liputan Buruh Migran Indonesia.
Di situs tersebut Imam memberi aneka pengetahuan bagi para calon ABK yang ingin berangkat mengadu nasib di kapal. Termasuk, memberi pemahaman mengenai tindakan yang harus dilakukan, ketika terjadi permasalahan terkait pekerjaan.
Organisasi rintisan Imam, sekarang memiliki 500 anggota. Ke depan, ia berharap semakin banyak ABK yang mau berserikat. Tujuannya sederhana, saling menjaga hak-hak para pelaut. []
Penulis: Dwi Herlambang