Sebatangkara, Sehari-hari Budi Jualan Tisue Dari Atas Kursi Roda
Matahari yang terik tak menganggu Budi (37) berjualan tisu di lobi Pasar Mayestik, Jumat (12/10/2018). Di atas kursi rodanya, Budi sibuk menghitung uang hasil kerjanya siang itu. “Dari jam 09.00 pagi baru dapat Rp 50.000 nih,” kata Budi kepada Kompas.com, Jumat siang.
Dengan kursi rodanya yang kecil, Budi sudah berkeliling Pasar Mayestik setidaknya lima kali sejak pagi. Kalau beruntung, ia bisa mendapat Rp 200.000 dari berkeliling seharian. Namun, saat sedang sepi, misalnya saat tanggal tua seperti ini, paling bagus Budi mengantongi Rp 100.000.
Pekerjaan ini dilakoninya sejak 2016. Tubuh kerdil tanpa kaki membuat pekerjaan menjajakan tisu lebih berat bagi Budi.
“Tapi masih mending jualan begini, dari pada tidur atau menadahkan tangan (mengemis), sama-sama capek juga,” kata Budi berkelakar.
Sebelum berjualan tisu, Budi biasa mengemis di Ibu Kota. Saat mengemis, ia bisa memperoleh pendapatan lebih ketimbang berjualan tisu.
Namun, ia sadar bahwa meminta-minta itu bukan pekerjaan yang baik. Budi pun beralih pekerjaan.
“Menadahkan tangan, duit cepat pernah, tetapi enggak ada perubahan sama sekali, yang ada malahan dilihat orang itu ‘Ah buat apa dia begitu’,” kata Budi.
Ketimbang mengemis, Budi memilih mencari nafkah dengan cara lebih baik meskipun memiliki keterbatasan.
Hanya bermodalkan kursi roda, keranjang plastik, dan sebuah tas, Budi bisa bertahan hidup di Ibu Kota.
Ia biasa mengambil tisu di agen kemudian menjualnya dari jam 09.00 sampai jam 18.00. Kursi roda dititipkannya di Pasar Mayestik dengan biaya Rp 5.000 per hari. Ia berangkat dan pulang menggunakan ojek online setiap hari.
Sebatang kara
Sebelum mengontrak sebuah kamar di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan dengan tarif Rp 650.000 sebulannya, Budi tinggal bersama ibu dan bapaknya di Jakarta.
Anak ketiga dari empat bersaudara itu hanya tidur di rumah, diasuh oleh ibunya karena tak bisa beraktivitas layaknya kakak dan adiknya yang terlahir normal.
Namun, setelah ibunya meninggal dunia, Budi tak ingin menambah beban ayahnya. Ayahnya yang berusia 70 tahun itu kemudian kembali ke kampung mereka di Pemalang, Jawa Tengah. Sementara itu, saudaranya sudah berkeluarga dan enggan menampung Budi.
“Dulu pernah hidup bareng, aku ikut sama dia (kakak dan adiknya). (Tapi mereka bilang) ‘Kalau saya diikutin kamu, nanti hidup saya bagaimana, tambah susah. Mereka enggak mau disusahin,” kata Budi.
Ia sempat merasakan tinggal di panti selama tujuh bulan karena tertangkap ketika mengemis dulu. Sayangnya, ia tak nyaman hidup di panti.
“Penginnya ya tinggal sendiri, cari uang sendiri, namanya tuntutan hidup,” kata Budi.
Meski dikucilkan saudara-saudaranya, Budi tetap merindukan mereka. Dengan hidup yang terbatas, Budi masih bisa menolong saudara-saudaranya yang kesusahan uang.
“Saya di Jakarta sebatang kara walaupun saudara di sini semua, tetapi enggak ada saudara mau datang. Di Tangerang ada, di Ancol ada, Cengkareng, bahkan Ciepet juga ada. Tapi enggak ada yang mau main ke rumah. Kadang-kadang saja kalau mau pinjam duit,” ujar Budi.
Dalam menjalani hidup, Budi tak pernah berharap pertolongan keluarga, pemerintah, atau orang lain. Ia bersyukur masih bisa bertahan hidup dan kadang-kadang menerima uang lebih dari pembelinya.[]Intisari]