August 17, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Sejarah Lomba Balap Karung yang Telah Ada Sejak Zaman Kolonial Belanda

3 min read

JAKARTA – Selain panjat pinang, tarik tambang, dan lomba makan kerupuk, balap karung adalah permainan paling populer saat yang dilombakan setiap perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Peraturan lomba ini cukup sederhana. Bagian kaki para pemain masuk ke dalam karung, lalu berlari atau melompat hingga mencapai garis finis yang sudah ditentukan. Keriangan biasanya terjadi kala ada peserta yang terjatuh, sebelum mencapai garis finis.

Dalam bukunya Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe (2015), Olivier Johannes Raap menyertakan kartu pos bergambar balap karung. Kartu pos itu memperlihatkan perlombaan balap karung di Koningsplein, Batavia—sekarang Medan Merdeka. Diterbitkan F.B. Smits, Batavia pada 1911. Artinya, sejak 1911 kita sudah mengenal balap karung.

“Balap karung adalah permainan lama yang sering diadakan di pesta rakyat Belanda lalu dibawa ke Hindia Belanda,” tulis Raap di bukunya.

Di Belanda, biasanya zaklopen atau balap karung diadakan untuk memeriahkan Hari Raja (perayaan ulang tahun raja), Hari Ratu (perayaan ulang tahun ratu), atau Oranjefeesten (perayaan untuk menghormati keluarga Kerajaan belanda atau momen penting dalam sejarah Belanda).

Menurut Raap, pada awal abad ke-20, balap karung sangat populer di seluruh dunia. Bahkan, pernah dipertandingkan pada Olimpiade di St. Louis, Amerika Serikat pada 1904. “Meski hanya sekali itu saja,” ucap Raap.

Di Hindia Belanda, balap karung kerap diadakan dalam acara pasar malam, pesta rakyat, atau memeriahkan pelantikan pejabat. Misalnya saja, Nuruddin dalam buku Serpihan Sejarah Kota Lama Gresik: Dari Kota Bandar Menjadi Destinasi Wisata di Masa Kolonial (2024) menulis, balap karung menjadi salah satu perlombaan untuk memeriahkan pelantikan Bupati Gresik Raden Soerjowinoto pada Juni 1935.

Maka, tampaknya informasi yang menyebut balap karung terinspirasi dari masyarakat yang tertindas dan terpaksa mengenakan karung goni sebagai pakaian pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kurang tepat. Sebab, perlombaan ini sudah dikenal jauh sebelum Jepang menginvasi Hindia Belanda.

Soal karung goni, sejarawan Aiko Kurasawa dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (1993) memang menulis, penduduk terutama petani, memanfaatkan karung goni sebagai celana pendek semasa pendudukan Jepang karena langkanya pakaian.

Selain karung goni, bahan tekstil lain yang didorong di bawah kekuasaan Jepang, antara lain serat keras dan kaku seperti rami, yute, rosela, dan sisal. Yang terutama didorong adalah yute atau rosela, yang lunak dan bisa digunakan sebagai bahan sandang serta kantung hasil pertanian.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, masih ada Oranjefeesten atau Perayaan Oranye di Indonesia. Di Bandung dan Cimahi misalnya, seperti tercatat dalam surat kabar de Preangerbode, 28 Agustus 1947, Oranjefeesten diadakan akhir Agustus hingga awal September 1947. Dalam acara yang diadakan di alun-alun Bandung itu, digelar perlombaan panjat tiang (sekarang panjat pinang), merokok cerutu, berjalan di atas pohon sambil menjaga keseimbangan, menghirup tepung, dan balap karung. Pada agenda acara, de Preangerbode menyebutnya sebagai “permainan rakyat Indonesia.”

Balap karung pun selalu dimainkan dalam beberapa acara rakyat. Misalnya, koran de Locomotief edisi 6 Mei 1953 mengabadikan beberapa bocah tengah balap karung di Lapangan Ikada—sekarang kawasan Monumen Nasional. Perlombaan itu merupakan bagian dari acara Pekan Anak-anak yang dihelat Yayasan Kesejahteraan Kanak-Kanak.

Kemeriahan perayaan hari kemerdekaan dengan balap karung kemungkinan ada sejak awal 1950-an. Pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia tahun 1951 misalnya, disebut Java-bode edisi 3 Agustus 1951, menurut keterangan dari Dinas Penerangan Kota Jakarta, sebuah panitia peringatan untuk menyambut kemerdekaan dan perayaannya telah dibentuk.

“Dalam program acara tercantum pertandingan sepak bola, lomba balap karung untuk pelajar, lomba etalase, pawai kendaraan hias, penghiasan kampung-kampung, kunjungan ke rumah sakit, serta pelaksanaan taptu oleh pihak militer, polisi, dan pandu, yang akan disaksikan oleh Presiden dan Wakil Presiden,” tulis Java-bode. []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply