November 21, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Semangat Menggerakkan Zakat ala Khalifah Abu Bakar

4 min read

Khalifah Abu Bakar melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Ia sangat memperhatikan akurasi perhitungan zakat. Hasil pengumpulan zakat dijadikan sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam Baituil mal dan langsung didistribusikan seluruhnya pada kaum muslimin.

Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq ada dua fenomena besar yang muncul di kalangan masyarakat yaitu banyaknya anggota kabila Arab yang murtad dan Muslim yang enggan membayar zakat. Golongan-golongan yang enggan membayar zakat tersebut kebanyakan berdiam diri di sekitar Madinah seperti Kabilah Ghatafan, ‘Abs Zubian, Bani Bakr dan sebagainya.

Berkumpullah Abu Bakar dan para sahabat untuk membahas permasalahan orang-orang Muslim yang enggan membayar zakat. Umar ibnu Khattab dan beberapa sahabat menyarankan Abu Bakar untuk tidak memeranginya karena mereka Muslim. Tetapi Khalifah Abu Bakr tidak sepaham dengan pendapat tersebut dan berujar jika ada orang yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat, maka wajib diperangi.

Akhirnya, utusan-utusan kabilah yang enggan membayar zakat itu datang ke Madinah dan menemui beberapa tokoh Islam berpengaruh serta menyampaikan keinginan mereka untuk tetap taat menjalankan shalat saja meski tidak membayar zakat. Namun, Khalifah Abu Bakar menolak hal tersebut dan tetap memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat yang terlihat (dhohirah) seperti tanaman, buah, dan hewan ternak, bukan yang tersembunyi seperti emas, perak, dan keuntungan dagang.

Dari kisah ini, terdapat dua pelajaran penting yang bisa diambil oleh kebijakan pemerintah Khalifah Abu Bakar al-Siddiq, yaitu: zakat sebagai suatu yang asasi sama halnya dengan shalat. Yusuf Qaradhawi, dalam fikih zakatnya, menjelaskan bahwa para ulama selalu mengatakan bahwa al-Qur’an selalu menghubungkan zakat dengan shalat, dan jarang sekali disebutkan tanpat shalat. Kemudian beliau mengutip pendapat Abdullah bin Mas’ud yang berkata, “Kalian diperintahkan mendirikan shalat dan membayar zakat, siapa yang tidak berzakat berarti tidak ada arti shalat baginya.”

Dalam Surat al-Taubah ayat 103 Allah berfirman: ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Dan di surat yang lain, Allah SWT  menjelaskan alasan mengapa seorang Muslim harus berzakat: ”Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Al-Dzariyat: 19).

Banyak ayat  Qur’an dan hadis yang memberikan ancaman bagi mereka yang enggan membayar zakat. Orang yang enggan membayar zakat dicirikan sebagai seorang, ”Celakalah orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, yaitu orang-orang yang enggan membayar zakat dan mengingkari hari akhir.” (QS: al-Fushshilat: 6-7).

Adapun dalam bentuk hukuman bagi mereka yang enggan membayar zakat mencakup kehidupan di dunia dan akhirat: “golongan orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang.” (HR Tabrani). Pun hukuman di akhirat sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata; ”Siapa yang dikaruniai oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, saya adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kau timbun-timbun dulu.”

Kedua, peran dan ketegasan pemerintah terhadap kewajiban membayar zakat sangat penting. Secara garis besar strategi pengelolaan zakat kontemporer di negara-negara Muslim dibagi menjadi dua macam, yaitu: negara mengorganisir pembayaran zakat meski pembayar zakat bersifat sukarela seperti Kuwait, Bangladesh, Yordania, Oman dan Indonesia. Adapula negara Muslim yang mengorganisir pembayaran zakat dan pembayar zakat bersifat wajib seperti Saudi Arabia, Libya, Pakistan, Sudan dan Malaysia. Maka tidak heran jika negara di kategori pertama, harus mempunyai kesadaran sendiri bahwa kewajiban zakat harus ditunaikan ketika hartanya telah mencapai nisab.

Selain sebagai ibadah yang wajib, membayar zakat berimplikasi kepada kesejahteraan ekonomi. Dari sisi ekonomi mikro, zakat sebagai suatu mekanisme untuk memenuhi kebutuhan sosial individu-individu manusia dalam keadaan mampu (muzakki) dengan cara mensucikan hartanya yaitu menyalurkan sebagian hartanya kepada masyarakat yang membutuhkan, dan secara ekonomi makro berfungsi sebagai alat pemerataan distrbusi kekayaan dari si kaya kepada si miskin.

Bahkan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) Allah telah menjamin rahmat-Nya atas segala sesuatu ketika seseorang taat membayar zakat, di dalam Surat al-‘Araf, 156-157: ”Dan rahmatKu akan meliputi segala sesuatu. Akan kutetapkan kehidupan yang baik untuk orang yang taat beribadah dan membayar zakat serta mereka  yang percaya akan ayat-ayat Kami. Yaitu mereka yang mengikuti Rasul, Nabi yang buta huruf.”

Di Indonesia saat ini telah banyak lembaga zakat baik pemerintah atau lembaga non-pemerintah. Sudah tidak ada kata susah lagi dalam membayar zakat, bahkan sekarang dengan kemudahan teknologi kita tidak perlu lagi datang ke konter-konter pembayaran zakat, hanya dengan sentuhan jari di handphone sudah bisa membayar zakat. Kalau seseorang masih susah membayar zakat berarti keislaman mereka perlu dipertanyakan. Pertama, karena ia mengingkari salah satu rukun dalam Islam berarti telah meruntuhkan sendi-sendi Islam sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Islam itu dibangun diatas lima perkara, yaitu bersyahadat mengesakan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji.” Kedua, karena ia asosial, tidak peka dengan kondisi sosial masyarakat, sehingga mereka menumpuk hartanya dan bersikap pelit.

Dalam Surat al-Imran, 180 Allah berfirman: “Dan jangan sekali-kali orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka…”

Maka, sebagai seorang Muslim mukallaf yang rajin dan konsisten menjalankan shalat lima waktu dan sunnah-sunnah lainnya, seyogyanya juga wajib melaksanakan kewajiban zakat jika sudah masuk dalam kategori muzakki. Shalat dan zakat merupakan kewajiban yang keduanya harus dilakukan bersama, tidak secara terpisah. Banyak manfaat yang kita dapatkan dengan membayar zakat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb. []

Sumber : Gontor News

Advertisement
Advertisement