Semestinya Gagal Ginjal Akut Tanggung Jawab BPOM Sepenuhnya
JAKARTA – Setelah memeriksa PT Afi Farma terkait kasus gagal ginjal akut, Bareskrim Polri melanjutkan penyelidikan dengan memeriksa perusahaan farmasi lainnya yakni PT Universal Pharmaceutical Industries (PT UPI).
Bareskrim memeriksa Direktur Utama PT UPI, Boedjono Muliadi dengan memberikan 20 pertanyaan. Menurut keterangan Kuasa Hukum Boedjono Muliadi, Hermansyah Hutagalung, penyidik memberikan pertanyaan terkait bahan baku obat yang digunakan oleh PT UPI termasuk kandungan di dalamnya dan siapa pemasuknya.
Lebih lanjut, Hermawan menyatakan bahwa masalah gagal ginjal akut tersebut terjadi akibat bahan baku obat, bukan perusahaan farmasi. Sebab, pihak yang bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap bahan baku obat adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
“Jadi, kami mengungkapkan bahan baku itu sendiri sudah tercemar kandungan EG (etilon glikol) dan DEG (dietilen glikol),” katanya.
Sedangkan persoalan bahan baku pelarut propilen glikol (PG), menurut Hermawan, seharusnya menjadi tanggung jawab BPOM sebagai lembaga pengawasan. Sebab, perusahaan farmasi tidak memiliki alat untuk mengecek EG dan DEG tersebut.
Selain itu, Hermansyah juga menyinggung soal pencabutan Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) PT UPI sehingga hampir semua obat yang diproduksi oleh perusahaan tersebut tidak boleh diedarkan.
Pencabutan merugikan PT UPI karena dari belasan jenis obat yang dihasilkan oleh PT UPI terindikasi hanya tiga jenis obat yang tercemar EG dan DEG.
“Tanggal 28 Oktober 2022, BPOM mencabut CPOB kami dan berdampak pada seluruh obat yang kami produksi semua, walaupun tidak mengandung PG juga semua dicabut,” kata Hermansyah.
Akibat dari pencabutan CPOB tersebut, PT UPI mengklaim mengalami kerugian hingga miliaran rupiah, termasuk seluruh tenaga kerja tidak bekerja dan mengancam kehidupan keluarga karyawan itu.
Hermansyah mengatakan tidak tepat untuk memidanakan farmasi dalam menyelesaikan persoalan gagal ginjal akut pada anak. Ia pun meminta pemerintah, dalam hal ini BPOM, juga melihat adanya kesalahan dari pemasok penyedia bahan baku.
“Kami bukan pihak yang mencampurkan EG dan DEG dalam bahan baku, bukan. Itu sudah ada di dalam bahan baku obat yang dijual oleh supplier,” katanya.
Dalam persoalan ini, ia mendorong BPOM untuk mengejar para pemasok untuk ditetapkan sebagai tersangka, bukan memidanakan perusahaan farmasi yang hanya sebagai korban. Perusahaan farmasi membeli bahan pelarut obat itu dengan harga yang lebih mahal dibanding harga di pasaran.
“Kalau bahan baku dibeli dengan harga di bawah pasar bisa disalahkan farmasi, tetapi ini lebih mahal dari harga pasaran. Itu membuktikan farmasi tidak ada niat jahat, tidak ada unsur kesengajaan untuk membuat anak-anak gagal ginjal akut,” jelas Hermansyah. []