Sepuluh Poin Penting yang Direvisi pada UU Perlindungan PMI
JAKARTA – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mulai menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). Abdullah Mansyur, mewakili Tim Ahli Baleg DPR menguraikan 10 substansi strategis revisi.
Pertama, penyesuaian kelembagaan/nomenklatur dari badan Menjadi Kementerian. Kedua, penambahan pengaturan terkait fungsi promosi dan pemanfaatan peluang kerja terkait dengan pemasaran. Ketiga, penyesuaian nomenklatur atase ketenagakerjaan (atnaker) menjadi Kantor Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Keempat, penyesuaian istilah menjadi awak kapal perikanan migran dan awak kapal niaga migran. Kelima, perluasan cakupan pekerja migran Indonesia dengan menambah peserta magang. Keenam, distribusi informasi peluang kerja luar negeri oleh perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) bekerjasama dengan Kementerian, LTSA, UPT, pemerintah daerah dan pemerintah desa.
Ketujuh, penguatan pelindungan sebelum bekerja. Kedelapan, penguatan pelindungan selama bekerja. Kesembilan, penguatan pelindungan setelah bekerja. Kesepuluh, penguatan kepesertaan jaminan sosial.
Wakil Ketua Baleg DPR, Sturman Panjaitan, menyoroti masalah yang dihadapi pekerja migran Indonesia mulai dari pra sampai purna penempatan. Tim ahli Baleg DPR menguraikan masalah yang dihadapi sebelum penempatan antara lain beban biaya terlalu tinggi, keberangkatan butuh waktu lama, kemampuan bahasa asing sangat minim, dan tidak punya keahlian yang dibutuhkan di negara penempatan.
Ketika bekerja di negara penempatan masalah yang kerap dihadapi pekerja migran Indonesia kebanyak soal upah tidak dibayar majikan. Kemudian pemotongan upah tak sesuai kesepakatan, jam kerja tidak wajar, beban kerja berat dan lainnya. Masalah purna penempatan misalnya izin tinggal sudah habis, tidak bisa pulang ke tanah air, dan tidak mendapat pemberdayaan. []