December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Setelah Viral Nunggak Pembayaran Ke Rumah Sakit, BPJS Juga Nunggak Biaya Obat 3,5 Trilyun Ke Farmasi

3 min read

JAKARTA – Gabungan Perusahaan Farmasi meminta pemerintah mendorong rumah sakit maupun fasilitas kesehatan membayar tunggakan obat untuk sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tunggakan obat ini mencapai Rp3 triliun – Rp3,5 triliun.

Dorodjatun Sanusi, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi, menuturkan sistem pengadaan obat nasional untuk JKN perlu penataan yang serius. Dengan kondisi saat ini maka perusahaan farmasi akan kesulitan melangsungkan bisnisnya.

“Tunggakannya sampai di atas 90 hari. Bahkan beberapa kejadian ada yang diatas 9 bulan hingga di atas 1 tahun,” kata Dorodjatun di Jakarta, akhir pekan lalu.

Besarnya tunggakan ini membuat perusahaan farmasi berada dalam himpitan berlipat lipat. Saat yang sama pemenang obat dalam model pengadaan sistem JKN menggunakan pendekatan harga terendah.

Artinya untuk menang perusahaan farmasi yang sebagian besar bahan bakunya di impor harus memangkas laba ke titik terendah agar dapat bersaing dan memenangkan lelang.

Seperti diketahui, pemerintah menetapkan pengadaan obat bagi JKN melalui sistem lelang yang diselenggarakan oleh LKPP. Perusahaan yang ditunjuk dan memenangkan lelang bagi kebutuhan obat nasional ini merupakan perusahaan yang mengajukan harga terendah.

 

Pemenang Lelang

Perusahaan berhak menyediakan obat bagi seluruh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan selama tahun anggaran. Sebelum 2018, lelang pengadaan obat berlangsung setiap tahun. Mulai 2018 pengadaan obat dilakukan untuk 2 tahun anggaran sekaligus.

Pemenang lelang kemudian menandatangani kontrak payung dengan pejabat teknis di LKPP. Perusahaan farmasi pemenang lelang ini masih berkeliling meyakinkan setiap rumah sakit dan klinik untuk membeli obat yang mereka produksi.

Perjanjian jumlah yang akan dibeli oleh masing-masing faskes berada dalam kewenangan manajemen masing-masing fasilitas kesehatan.

Dengan model pengadaan obat ini, Dorodjatun menyebut pihaknya tidak dapat melakukan penagihan langsung tunggakan obat kepada BPJS Kesehatan. Pasalnya BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara melakukan pembayaran langsung kepada mitra kerjanya yakni rumah sakit maupun klinik.

“Kami bertanya-tanya apakah obat yang diberikan saat ini apakah cukup, jadi jangankan berinvestasi untuk [manufaktur] yang baru. Untuk mempertahankan industri ini bertahan saja agak berat terutama karena beban pokok terus naik. Baik karena bahan baku naik tinggi maupun nilai tukar,” katanya.

Dorodjatun melanjutkan kucuran dana talangan sebesar Rp4,9 triliun yang diberikan pemerintah kepada BPJS Kesehatan baru-baru ini diharapkan membawa dampak ikutan bagi industri farmasi. Pasalnya, pihaknya belum memperoleh gambaran berapa besar tunggakan obat yang akan dibayarkan oleh rumah sakit. Apalagi, selama ini rumah sakit juga menalangi terlebih dahulu beragam kewajiban bagi pasien BPJS Kesehatan.

“Tunggakan terbayar 20% saja itu sudah membantu cash flow. Tentu kalau bisa diselesaikan,” katanya

 

Kapasitas Industri

Saat ini kapasitas industri farmasi nasional mampu menangani kebutuhan obat dari JKN. Sebanyak 90% obat JKN diproduksi oleh perusahaan di dalam negeri. Sedangkan 10% lainnya dipenuhi dengan obat impor.

“Namun 90% ini secara nilai hanya 70% dari tender [pagu anggaran obat untuk JKN],” katanya.

Dia memperkirakan saat BPJS Kesehatan mencapai target kepesertaan semesta, maka industri obat nasional tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sistem ini.

Akan tetapi, dengan model bisnis yang margin rendah dan pembayaran tidak ada kepastian ini, maka industri farmasi akan sangat sulit melakukan investasi baru. Pada saat yang sama pemenang lelang dapat saja berbeda setiap tahun, karena menggunakan pendekatan harga terendah.

Akibatnya, produksi dari manufaktur baru tidak ada kepastian untuk terserap.  [Junita]

Advertisement
Advertisement