Siaran Live Via Medsos Terancam Ilegal Jika Gugatan UU Penyiaran di MK Dikabulkan
JAKARTA – Gugatan stasiun televisi RCTI dan iNews pada 22 Juni lalu tentang UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi ternyata punya dampak sampingan. Dua stasiun televisi milik MNC Group itu minta siaran lewat jaringan internet harus diatur pula oleh pemerintah. Apabila gugatan terkabul, menurut perwakilan Kominfo dalam sidang MK Rabu (26/08/2020), hanya pihak berizin yang bisa melakukan siaran, termasuk siaran lewat media sosial.
“Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin,” kata Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika Kominfo Ahmad M. Ramli, dilansir Antaranews.
Bayangkan Anya Geraldine harus diciduk aparat karena memutuskan menyapa fansnya lewat Instagram Live? Komunitas game, e-sport, dan berbagai kreator konten berbasis streaming lainnya turut terancam. Aturan itupun, andai diloloskan MK, bakal jadi macan ompong buat kreator konten dari mancanegara, karena hukum Indonesia tidak mengikat mereka.
Kominfo bilang sebenarnya ada jalan tengah bernama pembuatan UU baru. Harapannya, pemerintah bikin aturan tersendiri bagi siapa pun yang menggunakan internet untuk konten jenis siaran. Haduh, bisa enggak sih ada solusi yang enggak melibatkan regulasi berlebihan dari pemerintah?
Kemungkinan pengilegalan fitur live streaming di media sosial ditanggapi sinis pengguna medsos. Mereka menuding RCTI dan iNews sirik karena kalah bersaing dengan platform digital.
Per 2018, sebuah studi melaporkan durasi menonton konten di platform digital emang udah mendekati durasi masyarakat menonton tv. Kalau biasanya masyarakat menonton TV rata-rata 4 jam 53 menit per hari, durasi menonton di internet rata-rata 3 jam 14 menit per hari. Tentu situasi pandemi bikin waktu yang dihabiskan masyarakat melihat internet jadi lebih panjang.
Pegiat media sosial dari Suvarna.ID, Enda Nasution, termasuk kelompok penentang gugatan dari dua televisi milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo itu.
Menurutnya, penyiaran menggunakan frekuensi publik, seperti televisi, memang harus diatur UU Penyiaran karena gratis dan bisa diakses publik. Sebaliknya, internet bersifat milik pribadi sehingga idealnya bebas dari regulasi pemerintah.
“Penyiaran itu definisinya adalah broadcasting melalui frekuensi publik, sedangkan siaran internet itu tentu bukan frekuensi publik. Pengguna internet harus membayar untuk bisa broadcast sesuatu,” kata Enda kepada VICE. “Jadi [konten internet] tidak masuk definisi penyiaran, sebab sifatnya bukan milik publik.”
Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan media frekuensi publik merespons migrasi besar-besaran penonton televisi yang pindah ke YouTube dan Netflix, selain menggugat? Enda berpendapat media TV tidak akan mati, hanya porsinya jadi mengecil sebagaimana dialami koran saat digitalisasi berita, serta industri radio sesudah televisi datang. Pada intinya, semua tetap adu konten tanpa menghilangkan salah satu.
“Yang diperebutkan kan sama, perhatian kita sebagai penonton. TV penyiaran pun bersaing untuk mendapatkan waktu dan perhatian para penonton,” kata Enda. “Saat ini sih dengan pengalaman yang dimiliki televisi selama puluhan tahun, harusnya teman-teman di dunia penyiaran bisa memanfaatkan teknologi [ditambah pengalamannya] untuk mencapai audiensnya. Seharusnya mereka tidak takut terhadap persaingan, tapi justru meningkatkan kreativitas dan kemampuannya.” []