Suamiku Bukan Suamimu
Tahun ini, aku akan menginjak tahun kesepuluh bekerja di Hong Kong. Itu setelah, pada tahun keenam, aku diuji Tuhan dengan sangat dahsyatnya. Hingga aku nyaris bunuh diri. Bila aku tidak ingat anakku yang masih balita, mungkin aku sudah menjadi tulang belulang di alam kubur. Mengerikan.
Alkisah, aku berkenalan dengan seorang tetangga desa di perantauan. Namanya Aroma. Saking dekatnya, kami bak saudara kandung. Bajuku bajumu, sepatumu sepatuku, perhiasanku perhiasanmu, dan uangku uangmu. Dari kebiasaan itu terjalin sebuah kepercayaan yang amat dahsyat, hingga apapun milikku seolah menjadi miliknya. Aku sendiri sudah mempunyai keluarga yang bahagia hingga sebelum kejadian memalukan itu.
Tahun itu, aku cuti. Mbak Aroma juga bisa ikutan cuti bersamaku. Suamiku menjemput kami di Bandara Juanda, Surabaya. Mbak Aroma yang masih jomblo menginap di rumahku untuk beberapa hari. Aku setuju saja. Tidak ada kecurigaan mendalam. Toh, selama ini kami sudah sering memakai semua barang dan uang bersamaan. Tanpa hitungan, tanpa paksaan. Semua mengalir apa adanya, bagai air sungai yang mengalir bening dan menyejukkan hati.
”Hei… itu suamiku, bukan suamimu…” Teriakku histeris. Kedua anakku sedang bersama ayah ibuku di kebun. Mbak Aroma dan suami bergumul di tempat tidurku. Tanpa selimut, tanpa sehelai pun pakaian. Padahal aku yang istrinya saja belum sempat berduaan, karena anak-anak masih melepas rindu yang membuncah pada ibunya. Belum lagi tetangga kanan-kiri dan sanak saudara yang menanyakan kabar.
”Kamu bilang apapun milikmu akan menjadi milikku, Da. Kamu egois, masak suami seganteng ini hanya dinikmati sendiri. Aku kan mau… Selagi jomblo, dan aku bersedia menjadi bagian dari rumahmu, aku bersedia memperbaiki atap-atap bocor, mencuci baju dan apapun yang pernah kamu lakukan di istana hijau ini.”
Dia berkata seolah tanpa beban. Tubuhnya dibiarkan tanpa pakaian. Berjalan mondar-mandir dengan memamerkan kemolekan tubuhnya padaku. Yeii… Aku kan sudah melahirkan dua kepala, masak disamakan dengan yang belum berkeluarga. Meski tak seseksi Jennifer Garner, aku masih belum masuk kategori gemuk nan kendor. Hmm, laki-laki mana yang tidak khilaf dan bernafsu menyesap mahkota perawan. Aku saja mengagumi daerah warunya, apalagi mereka, ups.
”Istriku, Ruwaida… Maafkan aku. Tadi kamar gelap, aku tidak bisa melihat siapa yang tiba-tiba memelukku. Hanya kamu yang memperlakukan aku seperti itu. Jadi, tanpa pikir panjang dan aku memang sudah haus, rindu belaianmu. Maka, terjadilah seperti apa yang kamu lihat.”
Aku tahu suamiku. Mas Agas berkata jujur. Selama aku di Hong Kong tak sekali pun terdengar ia selingkuh atau mengganggu anak tetangga. ”Aku memaafkanmu, Mas. Namun, setelah ini kita pisah. Nikahi Mbak Aroma segera dan secepatnya. Biarkan aku di sini bersama Fauzan dan Fauziyah, juga ayah dan ibu.” Aku terisak. Kepala seolah terjatuhi beton seratus kilo.
”Jangan. Jangan bercerai! Aku yang akan pergi. Kamu memang egois, Da.” Mbak Aroma bersuara ketus. Aku pantas egois-lah. Barang dan uang sih biasa dipakai bersama. Lah… Ini suami, masak dipakai bersama?! Tidaaakk.
”Suami itu manusia, Mbak. Bukan barang ataupun uang. Ini bukan masalah egois atau bukan. Ini masalah hati dan perasaan. Mas Agas sudah punya dua anak. Mereka pasti kecewa bila ayahnya mengecewakan ibu mereka yang sudah banting tulang hingga ke luar negeri demi ekonomi keluarga. Mencari nafkah memang tugas suami, apa salahnya kami saling melengkapi?”
Aku tidak habis pikir dengan pemikiran Mbak Aroma yang dengan santainya mau dimadu, mau berbagi suami, dan segalanya. Aku, aku masih wanita biasa yang merindu surga. Meski berpahala, menjadikan poligami untuk menghalalkan maksud-maksud tertentu itu tidak berkah. Walau aku tidak berpendidikan, aku masih mengutamakan rezki yang halal.
”Ah, sudahlah… Setelah ini bilamana suamimu lebih mencariku, kamu harus terima menjadi istri pertama. Kalau tidak, bunuh diri saja, lenyap dari muka kami.”
Ya ampuun… Menyuruhku bunuh diri, yang hampir saja aku lakukan saat sudah sampai di Hong Kong. Karena aku merasa tidak bisa berpisah dari Mas Agas. Kalau kami berpisah, otomatis aku menjadi janda. Sekali lagi, tidaak… Apa boleh buat, Mas Agas sudah telanjur membuat Mbak Aroma hamil. Mana mungkin aku bisa hidup tenang dengan suami yang sudah menghamili wanita lain.
Suamiku harus bertanggung jawab, itu saja. Sebagai sesama perempuan, aku sudah tidak egois bila memang harus berlaku adil. Anak yang di dalam kandungan Mbak Aroma adalah darah daging suamiku. Dia punya hak untuk disayangi kedua orangtuanya. Terutama ayahnya, yang juga suamiku dan ayah dari anak-anakku.
Aku mengakhiri pernikahan suci kami dengan perceraian. Perkara halal yang dibenci Tuhan. Proses itu aku lakukan dari Hong Kong, dibantu pengacara dan kakakku. Walaupun banyak cibiran tentang banyaknya pekerja migran Indonesia (PMI) yang melakukan perceraian, aku yang menjadi salah satunya tidak rela bila semua masalah perceraian dipukul rata. Siapa sih yang ingin bercerai bila sudah bahagia? Tidak ingin, kan?
Saat ini aku lebih fokus pada pembiayaan pendidikan anak-anak. Semoga ayah ibu selalu sehat dan kuat, agar bisa terus membantu menjaga putra dan putriku hingga terkumpul modal untuk berwirausaha di Tanah Air.
Sahabats… Jagalah suami kalian dengan doa terbaik. Komunikasi terbaik dan kepercayaan bahwa kalian sangat menyayangi keluarga dan rumah tangga yang terbina. Semoga suamiku dan Mbak Aroma bahagia. Aku tidak mau lagi terlibat urusan dengan mereka. Cukup datang ke rumah tanpa Mbak Aroma, bila Mas Agas ingin bertemu anak-anak. Itu saja, dan life must go on and on. [Dituturkan Ruwaida kepada Anna Ilham- ApakabarOnline.com]