Tak Lelah Mencari Keadilan, Saat Ini Majikan yang Menyiksa MarianCe Hingga Membuatnya Cacat Kembali Diseret ke Pengadilan
JAKARTA – Perjuangan pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT Mariance Kabu dalam mencari keadilan selama 10 tahun terakhir, menemui titik terang. Pengadilan Malaysia menyatakan dua terdakwa, Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke, memenuhi elemen kesalahan tindak kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran keimigrasian.
Majelis yang dipimpin Hakim Mahkamah Sesyen Ampang, Wan Mohd Norisham Wan Yaakob dalam persidangan pada Selasa (30/07/2024) juga memutuskan untuk memanggil dua terdakwa untuk membela diri sebelum hukuman diberikan, dalam kasus dugaan penyiksaan yang disebut “keji” kepada pekerja migran Indonesia nonprosedural itu.
“Oleh demikian Mahkamah memutuskan bahwa pihak pendakwaan telah berjaya membuktikan kes. prima facie bagi pertuduhan terhadap kedua-dua di bawah Section 13 ATIPSOM dan Seksyen 55e Akta Imigresen 1959/1963,” kata Hakim Wan Mohd Norisham Wan Yaakob dalam persidangan.
Namun, hakim menyatakan bahwa dakwaan lainnya, yaitu tentang penganiayaan atau menyebabkan kecederaan parah dan percobaan pembunuhan, gagal dibuktikan.
Atas putusan itu, Mariance yang menyaksikan jalannya persidangan mengaku sedikit lega karena ada secerca harapan dalam kasusnya, walaupun perjalanan untuk mendapatkan keadilan masih panjang.
“Hari ini baru langkah pertama untuk saya berjuang. Saya akan berjuang terus sampai keadilan betul-betul sempurna. Saya tidak pernah menyerah, saya tidak pernah takut dan tidak pernah gemetar menghadapi semua ini,” kata Mariance usai persidangan di Mahkamah Sesyen Ampang, Selasa (30/07), seperti yang dilaporkan wartawan Alyaa Alhadjri untuk BBC News Indonesia.
Aktivis kemanusiaan asal NTT Emmy Sahertian menyebut hasil persidangan Mariance memiliki arti penting dalam perlindungan PMI NTT di Malaysia “karena sebagai pintu masuk untuk meneriakan lebih keras bahwa ada jalan yang terang untuk mereka yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan.”
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono menyebut bahwa hasil persidangan ini telah tepat karena alat-alat bukti material yang ada terpampang jelas.
Dia pun menambahkan kasus Mariance adalah salah satu tolak ukur bagaimana penegakan hukum kasus-kasus penyiksaan dan kekerasan yang menimpa PMI di Malaysia.
“Kasus penyiksaan yang demikian keji itu tidak hanya dialami oleh Mariance. Kami juga sedang menangani kasus-kasus lain yang tidak kalah kejinya. Ada yang disiksa, disiram air panas, dibuang di tengah jalan, dan lain-lain,” ujar Hermono.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Jakarta, Nurharsono mengatakan kasus Mariance dan banyak tindak kekerasan yang dialami PMI lainnya “seperti gunung es yang hanya tampak di permukaan, namun sejatinya yang tidak tampak lebih besar.“
Dugaan aksi penyiksaan yang dialami Mariance terjadi pada 2014 saat dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia.
Majikannya, menurut pengakuan Mariance, melakukan rangkaian kekerasan yang membuatnya cacat fisik pada kedua telinga dan mulut, bahkan beberapa giginya juga dicabut menggunakan tang.
Januari 2015 silam, mantan majikan Mariance itu diseret ke meja hijau. Namun, pengadilan Malaysia memberikan status Discharges Not Amounting to an Acquittal (DNAA) atau dilepaskan tapi tidak dibebaskan pada Oktober 2017.
Kasus itu lalu mangkrak selama lima tahun, hingga akhirnya pengadilan kembali membuka perkara itu pada 2023 lalu.
Penuhi unsur kejahatan perdagangan orang
Dua terdakwa yaitu Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng tiba di Pengadilan Ampang, Malaysia, sekitar pukul 10.00 waktu setempat, Selasa (30/07). Mereka berjalan dengan cepat memasuki ruang persidangan, sambil menutup wajah dengan kertas dan jaket tudung.
Hakim yang memimpin jalannya sidang Wan Mohd Norisham Wan Yaakob menyatakan terdakwa terbukti memenuhi elemen kesalahan tindak kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran keimigrasian.
“Oleh demikian Mahkamah memutuskan bahwa pihak pendakwaan telah berjaya membuktikan kes. prima facie bagi pertuduhan terhadap kedua-dua di bawah Section 13 ATIPSOM dan Seksyen 55e Akta Imigresen 1959/1963,” kata Norisham Wan Yaakob.
Namun, hakim menyatakan bahwa dakwaan lainnya, yaitu tentang penganiayaan atau menyebabkan kecederaan parah dan percobaan pembunuhan, gagal dibuktikan.
Pertimbangan hakim karena keterangan Mariance sebagai saksi utama tidak didukung oleh saksi-saksi lain termasuk dari pihak medis.
Menurut hakim, penyidik dari kepolisian Malaysia yang menjadi saksi ke-12 memberi keterangan bahwa bukti senjata atau tang yang digunakan untuk mencabut gigi Mariance tidak disita dari tempat kejadian.
“Tetapi terdapat bukti kecederaan fisik konsisten dengan keterangan Mariance, Dia cedera akibat ditumbuk dan ditendang, juga cedera sehingga mengubah bentuk wajah dan bibir secara kekal,” katanya.
Tahap persidangan selanjutnya adalah memberikan hak kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan, sebelum hukuman diberikan.
Sementara itu, terdakwa dan kuasa hukumnya tidak mau berkomentar terkait dengan hasil dari persidangan. Mereka langsung meninggalkan lokasi persidangan.
Sepanjang sidang, Mariance hadir dan duduk di bangku baris hadapan, didampingi aktivis kemanusiaan dari NTT Emmy Sahertian, dan juga perwakilan Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur.
Ketika putusan dibacakan, Mariance terlihat beberapa kali menyeka air mata. Ditemui usai sidang, air mata Mariance tumpah. Cuma kali ini sebagai tanda bahagia dan bersyukur.
“Pertama-tama saya ucap banyak terima kasih pada pengadilan di Kuala Lumpur. Saya mendengar langsung dari tuan hakim yang membaca surat [putusan] itu bahwa ada kebenaran untuk saya,” katanya.
“Dengan itu saya juga minta terima kasih pada banyak orang di Indonesia dan Malaysia yang sudah turun tangan bantu saya,” ucapnya lagi.
Menyadari perjalanan kasus masih panjang, Mariance berkata, “hari ini baru langkah pertama dan saya akan berjuang terus hingga keadilan itu benar-benar sempurna”.
“Saya tidak pernah menyerah, saya tidak pernah takut dan tidak pernah gemetar menghadapi semua ini,” katanya. []
Sumber BBC