[Tausyiah] Menafkahi Suami, Wajibkah?
Di sebuah pengajian, seorang jamaah bercerita, suaminya selalu memaksa untuk menyetorkan uang gaji tiap bulan. Ia pun bertanya, ”Apabila saya tidak turuti, apakah saya termasuk durhaka kepada suami?”
Kisah tentang suami meminta dinafkahi oleh istrinya yang bekerja di luar negeri merupakan cerita yang umum didengar di kalangan pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Sebagian dari mereka menjadikan pemberian tanda tangan izin suami kepada istri untuk bekerja ke luar negeri sebagai senjata untuk meminta ”setoran” dan dinafkahi setiap bulan.
Padahal, Islam menegaskan, memberi nafkah adalah kewajiban suami kepada istrinya. Sudah menjadi kewajiban suami untuk memastikan bahwa istrinya mendapatkan makanan dan pakaian yang layak, dan bukan sebaliknya!
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban, pernah seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. ”Ya Rasulullah! Apa hak seorang istri terhadap suami? Maka beliau menjawab, Engkau beri dia makan apabila engkau makan, engkau beri dia pakaian apabila engkau berpakaian.”
Berdasarkan hadits tersebut, seorang laki-laki Muslim tidak dibenarkan mengabaikan masalah nafkah dan pakaian istrinya. Bukan hanya istri, tapi juga anak-anak dan semua orang yang menjadi tanggungannya. Secara tegas, Nabi Muhammad saw bersabda mengenai persoalan ini. ”Cukup berdosa seseorang yang meneledorkan orang yang menjadi tanggungannya.” (Hadits riwayat Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim).
Kewajiban menafkahi tersebut tidak pernah bertukar posisi, dari suami ke istri, meskipun si suami memberikan tanda tangan izin sebagai syarat utuk dipenuhi jika seorang perempuan bersuami hendak bekerja ke luar negeri. Tanda tangan izin itu hanya dapat dimaknai bahwa dirinya mengizinkan istrinya untuk mencari nafkah sendiri, karena dia tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai suami.
Disimpulkan dalam buku Tanya Jawab Fikih Keseharian Buruh Migran Indonesia, ”Jika suami memaksa istrinya untuk menyerahkan semua hasil kerjanya, dan istri menolak untuk menyerahkannya, hal itu tidak dikategorikan istri melakukan nusyuz atau ketidakpatuhan kepada suami.” Ditegaskan juga dalam buku ini, ”Pada dasarnya istri tidak berkewajiban memberikan nafkah apapun kepada suami.”
Persoalan hubungan antara suami dan istri, terkait hak dan kewajiban masing-masing, ini menjadi salah satu wasiat pamungkas Rasulullah saw, pada saat pelaksanaan haji Wada’, yakni haji perpisahan menjelang wafat beliau.
”Bertakwalah kamu kepada Allah terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki kasurmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu, yaitu nafkah dan pakaian yang pantas.” (Hadits riwayat Muslim).
Lalu di antara jamaah ada yang bertanya, ”Saya sangat sayang dan cinta kepada suami. Kalau saya menafkahi dan memenuhi semua kebutuhannya bagaimana? Apakah boleh?”
Hal itu dibolehkan dalam Islam. Termasuk, jika sang istri yang bekerja juga memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Namun itu dianggap sebagai sedekah, bukan sebuah kewajiban. Jika seorang istri melakukannya, ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw dari Zainab istri Abdullah bin Mas’ud.
Ia bersama dengan seorang perempuan Anshar pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sedekah yang diberikan istri kepada suami. ”Apakah boleh menunaikan zakat/sedekah kepada suami dan anak-anak-anak yatim yang berada di bawah perawatan mereka? Rasulullah saw menjawab, ’Mereka mendapatkan dua pahala: pahala kekerabatan dan pahala sedekah (zakat)’.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Namun, yang tidak boleh terjadi adalah suami dibiarkan menggantungkan hidupnya kepada sedekah dari istrinya, alias hanya menunggu kiriman atau transferan uang dari istrinya yang bekerja di luar negeri. Akibat ada kiriman uang rutin tiap bulan, suami tidak mau bekerja.
Sebab, Islam mengharamkan seorang Muslim untuk hidup bermalas-malasan. Sebaliknya, Islam menegaskan, seorang Muslim merupakan manusia pekerja. ”Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna.” (Hadits riwayat Tirmidzi).
Rasulullah saw juga bersabda, ”Sungguh, seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta (Sedekah) kepada orang lain.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Dengan berakhirnya sesi tanya-jawab, pengajian yang beriring rintik-rintik hujan pada sore hari itu pun ditutup. Para jamaah pun membubarkan diri dengan sumringah menghiasi wajah-wajah mereka. []
Penulis : H. Abdul Razak, SS., Da’wah Worker, Islamic Union of Hong Kong