Terinfeksi HIV, 14 Murid SD di Solo Diusir dan Putus Sekolah
SOLO – Sebanyak 14 siswa penyandang HIV/AIDS dikeluarkan dari SD Purwotomo, Solo, Jawa Tengah. Mereka tersingkir karena ada desakan dari wali siswa lain yang khawatir terhadap potensi penularan.
Desakan para wali siswa diungkapkan melalui surat. Mereka tak setuju ada Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di sekolah tersebut. Bahkan mereka mengancam akan memindahkan anak-anaknya apabila 14 siswa itu tidak dipindahkan ke sekolah lainnya.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala sekolah SDN Purwotomo, Karwi, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah memberi penjelasan kepada para wali dan orang tua murid.
“Kami sudah melakukan sosialisasi HIV/AIDS dari Puskesmas dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Solo, tetapi orang tua siswa tetap menolak,” jelasnya kepada BBC Indonesia, Selasa (12/02/2019).
Peristiwa tersebut sebenarnya terjadi pada Januari 2019. Empat belas ADHA itu merupakan murid SDN Bumi selama tiga tahun dan tidak pernah mendapat masalah. Namun begitu ada penggabungan dengan SDN Purwotomo lantaran program regroup dari pemerintah, para orang tua murid dan wali mulai keberatan.
Menanggapi hal ini, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyarankan para orang tua ADHA agar segera bertemu langsung dengan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo.
“…segera bertemu Wali Kota pasti tidak akan ditolak. Dan nanti pasti akan diarahkan untuk solusinya. Karena Sekolah Dasar merupakan kewenangan daerah,” jelas Ganjar, seperti dikutip Okezone, Kamis (14/02/2019).
Hingga saat ini, 14 ADHA yang dikeluarkan belum bersekolah kembali. Mereka kini belajar di rumah singgah atau selter khusus ADHA di kawasan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bhakti, Pucangsawit, Jebres, Solo.
Pengelola rumah singgah termaksud mengungkapkan saat ini pihaknya masih berusaha berkoordinasi dengan pemerintah dan Dinas Pendidikan Solo untuk mencari sekolah yang mau menerima 14 siswa tersebut.
Sementara menurut Kepada Bidang Pendidikan Dasar Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Kota Surakarta, Wahyono, solusi yang sedang disiapkan adalah mencarikan sekolah di sekitar lokasi penampungan Yayasan Lentera.
Dalam kesempatan terpisah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyayangkan adanya penolakan dari orang tua siswa tersebut.
“Ini bukan kali pertama anak-anak dengan HIV/AIDS ditolak bersekolah di sekolah formal dengan alasan para orang tua siswa lain di sekolah tersebut khawatir anak-anaknya tertular,” kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam Republika.co.id, Kamis (14/02/2019).
Ini memang bukan kasus pertama. Pada 2011, penolakan serupa terjadi di satu sekolah di Jakarta. Setahun berikutnya hal yang sama terjadi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Lalu pada 2018 penolakan juga menimpa enam anak di Nainggolan, Samosir, Sumatra Utara.
Alasannya seragam. Rata-rata karena kekhawatiran orang tua bahwa anak mereka akan ketularan virus HIV dari ADHA.
Karena kasusnya terus bermunculan, KPAI pun mendorong Kemendikbud, Pemerintah Kota Solo, dan masyarakat untuk melindungi serta memenuhi hak-hak dasar anak korban penderita HIV. Apalagi hal itu tertuang dalam UU RI No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Cara penularan virus HIV/AIDS
Sebenarnya anak-anak yang mengidap HIV/AIDS dari orang tuanya itu tak perlu dikhawatirkan. Mereka tak akan mudah menularkan virus kepada teman-temannya di sekolah.
Sebab, HIV tidak dapat bertahan lama di luar tubuh manusia. Selain itu, virusnya tidak dapat bereproduksi di luar inang manusia.
Penularan virus tersebut hanya dapat terjadi lewat transfusi darah dari pengidap, hubungan seksual tanpa kondom, air susu ibu (ASI), penggunaan jarum suntik yang sama dengan ODHA, dan cairan vagina atau sperma.
Sebaliknya, virus tidak akan menularkan orang lain melalui gigitan nyamuk, bersentuhan, berpelukan, berciuman, toilet, atau kolam renang, seperti hoaks yang banyak beredar selama ini. []