November 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ternyata, Micin Tidak Membuat Bodoh Seperti Yang Disangkakan Sebagian Orang

3 min read

Micin adalah sebutan yang biasa dipakai sebagian orang untuk menyebut MSG atau penyedap masakan. Topik mengenai micin sempat mengemuka di Indonesia, lantaran kerap digunakan sebagai ‘senjata’ untuk mengumpat atau mengejek orang lain, misalnya, “Dasar generasi micin!” atau, “Kebanyakan micin, sih, jadinya bodoh gitu!”

Ada semacam anggapan bahwa micin atau MSG membuat orang jadi bodoh. Tapi apakah benar begitu?

Sebenarnya, micin alias MSG tidak terbukti secara ilmiah sebagai penyebab kemunduran kecerdasan dan kesehatan seseorang.

Umpatan di atas berakar dari kepercayaan di masyarakat bahwa penyedap masakan alias micin berkontribusi membuat seseorang bodoh atau sakit. Sudah sejak lama MSG dijadikan kambing hitam berbagai kerugian kesehatan. Bahkan ada juga yang menuduhnya bersifat karsinogenik alias memicu kanker. Padahal teori-teori ini belum terbukti secara ilmiah.

Tak hanya di Indonesia, masyarakat Amerika Serikat pun banyak yang termakan stigma ini. Sejak akhir tahun ‘60-an, MSG dianggap sebagai biang penyakit dan dijauhkan dari berbagai macam makanan. Padahal, pada tahun 1950-an, penyedap rasa artifisial ini sangat populer dan digunakan di hampir semua makanan, mulai dari permen karet sampai makanan bayi!

Glutamat, komponen utama MSG, sebenarnya ada di banyak bahan makanan, bahkan dihasilkan oleh tubuh kita sendiri!

Senyawa glutamat pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Jepang, Kikunae Ikeda, pada tahun 1908, dari penelitiannya terhadap berbagai makanan yang dimasak dengan rumput laut.

Glutamat adalah senyawa yang ‘bertanggung jawab’ untuk memperkuat rasa umami pada indra pengecap kita. Ikeda kemudian menemukan cara untuk membuat senyawa ini secara sintetik, lalu menggabungkannya dengan natrium untuk membuatnya stabil, berbentuk kristal, sehingga mudah ditaburkan di masakan.

Asam glutamat merupakan senyawa alami yang ada dalam berbagai bahan makanan kaya protein seperti daging, susu, dan beberapa sayur-sayuran. Bahkan tubuh kita juga memproduksi asam glutamat! Intinya, zat kimia ini sebenarnya berasal dari alam juga, dan banyak terkandung dalam makanan dan tubuh kita.

Semua ini sudah bisa dibuktikan secara ilmiah oleh para peneliti, bahkan diakui oleh American Chemical Society (Asosiasi Ilmuwan Kimia Amerika Serikat). Lalu kenapa MSG bisa “difitnah” menyebabkan bodoh, tidak enak badan, penyakit, bahkan kanker?

Reputasi buruk MSG berawal dari surat seorang dokter pada tahun 1968, tentang efek buruk paska menyantap makanan ber-MSG.

Pada tahun 1968, Jurnal Kesehatan New England menerbitkan surat yang berisi keluhan kesehatan seorang dokter setelah makan di sebuah restoran chinese food yang saat itu terkenal kerap menggunakan MSG.

Setelah itu, orang-orang menjadi lebih waspada terhadap zat kimia yang ditambahkan pada makanan mereka, dan “Sindrom Restoran Chinese Food” pun lahir. Orang-orang menghindari masakan yang ber-MSG, karena percaya akan efek buruk yang dihasilkan.

Namun, ternyata teori tersebut hanya berdasarkan cocoklogi alias dikira-kira saja. Tidak penah ada penelitian ilmiah yang berhasil membuktikan efek negatif konsumsi MSG (dalam takaran normal) pada tubuh manusia. Bahkan orang yang mengaku sensitif dan alergi MSG tak merasakan efek apa pun ketika menyantap makanan ber-MSG, selama mereka tidak tahu.

BPOM Amerika Serikat pun masih tetap mencatat MSG sebagai bahan makanan tambahan yang aman dikonsumsi. Artinya, dampak negatif dari MSG lebih cenderung merupakan efek psikologis akibat sugesti massal.

Meski para ilmuwan telah membuktikan tak ada efek buruk dari MSG, namun stigma buruk masih selalu menghantui reputasinya.

Meski sudah banyak penelitian dan asosiasi ilmuwan yang membuktikan bahwa micin aman dikonsumsi serta tidak berdampak buruk pada kesehatan atau kecerdasan, orang-orang masih menjauhi MSG dan memperlakukannya seperti hal yang sangat buruk.

Buktinya, umpatan “kebanyakan makan micin” masih beredar. Memang mengubah persepsi dan kepercayaan orang tidak mudah. Sekali otak manusia mencapai kesimpulan yang salah, otak mencegah kita untuk menerima informasi baru yang dapat mengoreksi asumsi salah tersebut.

Akan tetapi bukan berarti kita, generasi muda, harus menyerah, berhenti berusaha mencari dan mendidik diri dengan fakta-fakta ilmiah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Intinya, MSG aman dikonsumsi selama dalam batas wajar.[Navari]

Advertisement
Advertisement