Terus Menggoreskan Pena Sampai Akhir Hayatnya, Nh. Dini Meninggal Dunia
Kabar mengejutkan saya terima di jejaring sosial Jurnalis Semarang. NH Dini meninggal di RS Elisabeth, Semarang, 4/12/2018, pukul 16.00, karena kecelakaan lalu lintas, mohon doanya.
NH Dini, Nh Dini, atukah Nh. Dini ? Novel-novelnya yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama menuliskan Nh. Dini – nama pena untuk Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Ia berpulang dalam usia 82 tahun.
Nama Nh. Dini saya kenal jauh sebelum saya bertemu sosoknya. Beberapa novel karyanya saya baca ketika saya mahasiswa. Karenanya saya sangat antusias ketika pada 1983, sebagai stringer majalah Tempo , ditugasi mewawancarai dirinya.
Tidak sulit menemukan rumahnya, di Jalan Sekayu, Semarang. Ketika menyusuri jalan itu, saya merasa akrab padahal baru pertama kali saya menginjakkan kaki di situ.
Jalannya tak terlalu besar, terbuat dari batu bujur sangkar 30×30 cm yang tersusun rapi. Pepohonan tumbuh di pinggir jalan. Deskripsi yang nyaris serupa saya temukan dalam novel Nh. Dini : Sekayu.
Sebelum wawancara berlangsung, Mbak Dini – begitu ia meminta disebut – menanyakan hal yang mengejutkan buat saya.
“Berapa Tempo mau membayar honor wawancara ini?”
“Saya tidak tahu. Saya tidak pernah mendapatkan perintah untuk membayar honor narasumber.”
“Gini aja mbak, honor yang saya terima, kita bagi dua. Sebagai stringer, setiap laporan yang dimuat, saya mendapat honor Rp15.000. Nah honor tersebut setengahnya untuk Mbak Dini.”
Mendengar jawaban itu Mbak Dini tertawa terbahak.
“Oke nanti saja, saya akan telepon Goenawan (Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo saat itu) minta honor untuk wawancara ini,” ucap Mbak Dini.
Wawancara berlangsung akrab, di ruang depan rumahnya yang sangat sederhana. Ada tumpukan buku yang belum tersusun di rak. Sedang di rak terlihat masih baru, sudah penuh buku.
Ruang itulah yang kemudian (1986) resmi menjadi Taman Baca Sekayu. Masyarakat bisa membaca buku koleksi Dini, gratis. Ada juga pelatihan penulisan.
Setelah wawancara itu, saya cukup sering bertemu Dini di berbagai acara kebudayan di Semarang. Kami berdiskusi tentang banyak hal, tentang literasi sastra, minat baca yang rendah, diskriminasi pada perempuan, sampai isu lingkungan.
Boleh jadi tak hanya saya yang diminta memberikan honor ketika hendak wawancara, sebab beberapa kalangan sempat menyebut Mbak Dini mata duitan. Tapi Ketua Dewan Kesenian Semarang, Handry TM, tak sependapat dengan sebutan itu. Ia menyebut sikap Mbak Dini adalah profesional.
Menurut Handry, Mbak Dini bisa dibilang satu-satunya penulis yang berani meminta penerbit untuk membayar di muka sebelum karyanya diterbitkan. Dan hanya pada media tertentu yang ia tahu sudah menguntungkan, ia memang tak segan untuk meminta honor ketika diwawancara.
Nh. Dini lahir 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara, pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah.
Kegemarannya menulis sudah berlangsung sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kakak kandungnya, Teguh Asmar, yang juga seorang seniman, membimbing Dini menjadi pencerita yang andal.
Bersama Teguh, Dini mendirikan perkumpulan seni Kuntjup Seri yang kegiatannya berlatih karawitan atau gamelan, bermain sandiwara, dan menyanyi, baik lagu-lagu Jawa maupun lagu Indonesia.
Ia juga rajin menulis sajak, esai, dan cerita pendek di buku hariannya. Beberapa karyanya kemudian dibacakan di RRI Semarang. Kemampuan menulis mulai diakui dunia sastra ketika pada 1952 sajaknya dimuat dalam majalah Budaja dan Gadjah Mada di Yogyakarta.
Selanjutnya cerpennya dimuat di majalah Kisah dan Mimbar Indonesia, misalnya “Kelahiran” (1956), “Persinggahan” (1957), dan “Hati yang Damai” (1960). Gelanggang, lembar kebudayaan majalah Siasat, juga memuat beberapa cerpen Dini, seperti: “Penungguan” (1955), “Pagi Hudjan” (1957), “Pengenalan” (1959), “Sebuah Teluk” (1959), dan “Seorang Paman” (1960).
Kehidupannya yang berwarna menjadi bahan cerita yang tak pernah habis dalam karyanya. Ayahnya seorang pegawai PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) mengilhami Dini untuk menjadi masinis. Cita-cita itu tidak terwujud karena ia tak menemukan sekolah masinis di Semarang.
Lalu ia banting stir, menjadi penyiar RRI Semarang, sekaligus kursus B-1 Sejarah dan bahasa asing. Selanjutnya ia mengikuti pendidikan di Garuda Indonesia Airways (GIA). Setamat pendidikan, perempuan berkulit putih dengan muka bulat itu bekerja sebagai pramugari GIA di Jakarta (1957—1960).
Pernikahannya (1960) dengan diplomat Prancis, Yves Coffin, yang bertugas di Indonesia, tak menyurutkan kegiatan Dini untuk menulis. Perpindahan tugas suaminya ke berbagai belahan dunia, dari Kamboja, Jepang, Filiphina, sampai Amerika Serikat, justru menambah warna latar belakang pada novel-novel karyanya.
Ciri khas karya Dini adalah bercerita tentang dirinya, alias memoar. Hal ini, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma, menjadi kontribusi penting dalam kesusastraan Indonesia. Genre memoar adalah sah dalam sastra.
Lugas dan keterusterangannya bercerita tentang dirinya, menyiratkan ia sangat terbuka dalam kehidupannya, bahkan sampai tentang seks. Novel Pada Sebuah Kapal (1972) misalnya, yang menceritakan tokoh Sri yang menyerahkan kehormatannya pada kekasihnya.
Banyak orang mengasosiasikan kisah itu adalah kehidupan pribadi Dini yang mendobrak norma sosial pada zamannya. Dini menganggap hal itu sebagai hal yang biasa saja.
Novel Dini yang lain yang bergenre memoar antara lain La barka (1975), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979); Sekayu (1981), Kuncup Berseri (1982), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), dan La Grande Borne (2007).
Di balik keterbukaan peraih penghargaan SEA Write Award ini, tersimpan juga ketertutupan kehidupan pribadinya. Tentang keretakan perkawinannya dengan Yves Coffin sejak 1980, tak seorang pun tahu penyebabnya. Bahkan kedua anaknya pun tak pernah tahu kenapa keduanya bercerai secara resmi di Pengadilan Prancis pada 1984, ketika Dini menderita penyakit kanker.
Yang juga istimewa dari Dini, ia tetap produktif menulis dalam kondisi apa pun. Di masa muda maupun di masa tua. Di kala sakit maupun sehat. Pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, Dr. Andries Hans Teeuw menyatakan bahwa novel-novel Dini sangat mengesankan, baik mutunya maupun produktivitasnya.
Namun Dini sendiri tidak mau menyebut dirinya produktif berkarya. Ia mencontohkan Pada Sebuah Kapal, penulisan novel ini prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit.
Yang pasti Dini adalah penulis yang sangat konsisten dan mendedikasikan hidupnya untuk dunia sastra. Ia tetap menulis sampai di akhir hayat. Buku terakhirnya Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya Banyumanik di Kakinya, terbit Agustus 2018, ditulis di Wisma Lansia Harapan Asri Banyumanik, Semarang, tempat tinggalnya yang terakhir.
Di luar semua itu, Dini adalah orang yang sangat humanis. Suatu ketika ia sakit yang harus dirawat beberapa hari di rumah sakit, biaya yang dikeluarkan pun cukup besar Rp11 juta.
Kawan-kawannya di Semarang membuka dompet peduli untuk keperluan itu. Sumbangan tercatat datang dari berbagi lapis masyarakat, nilainya dari Rp25 ribu hingga ratusan ribu rupiah.
Setelah sembuh, Dini mengirim surat ucapan terima kasih kepada penyumbangnya, satu per satu.
Saya juga mencatat sisi humanis Mbak Dini. Awal 1989, saya bersama istri bertemu dengannya di sebuah supermarket. Saya perkenalkan istri saya.
“Ini istri saya Mbak, kami menikah Desember tahun lalu.”
“Kamu menikah, dan aku tidak kamu undang? Jadi kamu tidak menganggap aku ini kakakmu?” jawab Mbak Dini spontan. Saya pun mencium tangannya, meminta maaf untuk hal itu.
Hari ini 5 Desember, jenazah Mbak Dini dikremasi. Ia meninggalkan dua anak: Marie Glaire Lintang (perempuan), yang bermukim di Kanada, dan Louis Padang (laki-laki) yang tinggal di Prancis.
Ia juga meninggalkan lebih dari 20 judul buku karyanya, ratusan puisi, esai dan cerpen yang ditulisnya, serta ribuan buku koleksinya yang tersebar di taman baca Sekayu yang berdiri di beberapa kota.
Selamat jalan Mbak Dini. Karyamu akan tetap hidup dalam dunia kesusastraan Indonesia. []