April 17, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Tingginya Angka Perceraian Menjadi Salah Satu Alasan Ketahanan Keluarga Masuk Prolegnas

5 min read
Ilustrasi Family (foto kiwanis.org)

Ilustrasi Family (foto kiwanis.org)

JAKARTA – Wajar jika selama ini RUU Ketahanan keluarga menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan, berikut perspektif mereka masing-masing.

Draf RUU ini sendiri membahas hal-hal yang selama ini jadi bagian dari norma masyarakat.

Seperti kewajiban suami dan istri untuk saling mencintai, suami wajib menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab hingga istri wajib mengatur urusan rumah tangga.

Namun salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Ali Taher mengatakan, alasannya mengusulkan RUU itu lantaran rapuhnya kondisi perkawinan masyarakat Indonesia.

“Tapi fakta sosial kita menunjukkan betapa rapuhnya kondisi objektif sekarang ini dalam dunia perkawinan. Kalau ini tingkat perceraian sekarang rata-rata kabupaten itu tidak kurang dari 150-300 per bulan, per bulan loh,” ujar Ali kepada wartawan, dikutip dari Majalah Ayah, Kamis (20/2/2020).

Ali berkata, penyebab utama keretakan rumah tangga tersebut adalah persoalan ekonomi seperti banyak pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga berakibat akumulatif terhadap persoalan ekonomi keluarga.

“Akibat dari itu semua menunjukkan bahwa tingkat persoalan disharmonisasi keluarga hingga perceraian,” katanya.

Di sisi lain, sambung Ali, akibat rapuhnya kondisi perkawinan dan mengakibatkan perceraian itu bakal memberikan dampak kepada masa depan anaknya.

Menurut Ali, menilai RUU Ketahanan Keluarga ini bisa terbilang penting untuk menjadi alternatif pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi pihak keluarga.

“Oleh karena itu, undang-undang itu menjadi sangat penting bagi kita untuk dilanjutkan agar persoalan ketahanan keluarga ini bisa menjadi alternatif pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh keluarga,” tutur Ali.

Sekadar informasi, RUU Ketahanan Keluarga masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020. Adapun RUU tersebut usul dari DPR dan diusulkan oleh anggota DPR dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa; Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.

Lantas, timbul pertanyaan, apakah perlu hal yang selama ini jadi norma kemudian diatur dalam Undang Undang?

Menanggapi munculnya RUU ini, Psikolog Sani Budiantini Hermawan mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga bisa muncul karena banyaknya kasus seputar masalah keluarga di Indonesia.

“Karena keluarga tangguh akan membuat ketangguhan nasional, ketahanan keluarga itu ketahanan nasional,” kata Sani.

Dilansir dari ANTARA, Sani mengungkapkan penting untuk menelaah kembali bagaimana implementasi konsekuensi hukum kelak bila RUU Ketahanan Keluarga disahkan.

“Jangan sampai UU jadi ganggu kerukunan keluarga,” tegasnya.

Sementara itu, Psikolog sosial Juneman Abraham mengatakan, norma bisa dimasukkan dalam Undang-undang bila masyarakat ingin adanya peningkatan kualitas keadilan sebesar-besarnya dari pelaksanaan norma.

“Sebagai contoh, sebelum UU PKDRT terbit, ‘memukul istri untuk mendidiknya’ pernah menjadi norma sebagian masyarakat kita, dan dianggap sebagai urusan domestik. Pelaku kekerasan tak dapat dijangkau,” ujar Juneman.

Saat tindakan kekerasan itu terjadi kata Juneman, rumah tangga jadi berjalan tak seimbang dan perlu adanya upaya hukum untuk menjamin kesejahteraan seluruh warga, baik itu perempuan maupun laki-laki.

Dalam RUU Ketahanan Keluarga sendiri, ada pasal yang mewajibkan pasangan suami istri saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Namun, hingga kini belum ada bentuk keadilan yang bisa mengukur hal isi dalam pasal tersebut. Menurut Juneman, cinta bersifat privat dan bukan masalah keadilan yang perlu diselesaikan dalam ruang publik.

Junamen menambahkan, hukum adalah alat intervensi sosial yang dimiliki oleh kekuasaan sehingga penting untuk menjamin proses pembuatan hukum benar-benar adil bagi publik.

Menurutnya, pembuat hukum harus bebas kepentingan dan punya argumen ilmiah serta transparan dalam menghadirkan setiap pasal dan ayat dalam UU.

“Menurut hemat saya, apabila kedua kondisi di atas tidak terpenuhi. Pertama, kualitas keadilan yang diinginkan meningkat oleh publik. Kedua, evidence/research-based policy— tidak perlu dipaksakan diadakan hukum,” ujar Juneman.

Jika hukum yang dibuat belum bisa mengakomodasi ragam kemungkinan praktik di lapangan kata Juneman, dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan pada tingkat psikologis dan sosial.

Misalnya, dalam RUU Ketahanan Keluarga terdapat daftar pembagian kewajiban istri dan suami yang kaku.

Padahal, dalam kenyataannya bisa saja ada pertukaran tugas di mana istri yang memberikan keperluan hidup berumah tangga, sementara suami mengatur urusan rumah tangga.

“Ragam kemungkinan yang tidak terantisipasi dengan baik ini, jika memiliki implikasi sanksi pidana, akan membuat kehidupan sosial menjadi lebih rumit lagi. UU menjadi sangat berjarak dengan kenyataan sosial,” jelas Juneman.

Selain itu kata Juneman, akan ada banyak kejadian suami istri saling lapor. Sepanjang proses hukum, bisa muncul penderitaan psikologis maupun sosial.

Itulah sebabnya kata Juneman, bila norma ingin dimasukkan dalam Undang-undang, harus dipastikan dulu bahwa UU tersebut sanggup mengakomodasi norma-norma etis dalam bangsa plural, serta punya mekanisme menjamin pemulihan harmoni sosial sesegera mungkin.

Juneman menambahkan, sebaiknya tidak ada hukum yang membuat kehidupan masyarakat jadi kaku karena dapat membuat manusia mengingkari kemanusiannya.

“Manusia adalah makhluk yang bermain (homo ludens). Manusia bermain termasuk dengan kehidupan sosial-budayanya, justru untuk meningkatkan kualitas hidupnya, dan manusia menginsafi berbagai “aturan main” dalam batas-batas sosial-budayanya itu,” tegas Junamen.

Di sisi lain, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai NasDem Lestari Mordijat menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga tidak perlu ada karena terlalu mengintervensi keluarga.

“RUU Ketahanan Keluarga semestinya tidak tendensius, RUU itu mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai ‘tiyang wingking’ (subkoordinat),” kata Lestari Mordijat atau Rerie di Jakarta, Kamis (20/2/2020).

Rerie mengungkapkan, perempuan bukanlah objek yang harus diatur dan mengurus pekerjaan rumah karena di hadapan hukum, semua setara antara laki-laki dengan perempuan.

Ia menjelaskan, keluarga tidak perlu diintervensi negara sehingga urusan internal keluarga, pola asuh anak dan peran anggota keluarga bukan wewenang pemerintah.

Rerie mencontohkan, dalam RUU itu pemerintah campur tangan dalam urusan internal keluarga seperti dalam Pasal 77 (1) berisi “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi keluarga yang mengalami krisis keluarga karena tuntutan pekerjaan”.

Menurut Rerie, masih banyak persoalan negara yang sifatnya mendesak untuk diatur.

Sebelumnya, lima anggota DPR mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani (F-PKS), Ali Taher (F-PAN), Sodik Mudjahid (Fraksi Gerindra), dan Endang Maria Astuti (Fraksi Partai Golkar).

Ali Taher mengatakan usulannya terkait RUU tersebut disebabkan tingginya tingkat persoalan disharmonisasi keluarga di Indonesia.

Ali menilai Undang-undang ini diperlukan agar persoalan ketahanan keluarga bisa menjadi alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial yang dihadapi dalam lingkup keluarga.

“Fakta sosial kita menunjukkan betapa rapuhnya kondisi objektif saat ini dalam dunia perkawinan. Tingkat perceraian rata-rata di tingkat kabupaten/kota tidak kurang dari 150-300 per bulan,” kata Ali Taher di Jakarta, Kamis (20/2/2020).

Ia menambahkan, akibat penceraian itu, timbul banyak masalah. Mulai dari hak asuh hingga masa depan anak yang perlu diperhatikan.

Menurutnya, penyebab utama keretakan rumah tangga terjadi karena faktor ekonomi, seperti banyak pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga berakibat akumulatif terhadap persoalan ekonomi keluarga. []

Advertisement
Advertisement