January 25, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Tingkat Ketrampilan Tenaga Kerja Nasional Indonesia yang Mengkhawatirkan

5 min read

JAKARTA – Saat ini, sektor ketenagakerjaan Indonesia sedang menghadapi permasalahan pelik. Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK yang dimulai di 2022 tak ada tanda-tanda mereda. Gelombang ini malah dikhawatirkan semakin menguat.

Alih-alih menghasilkan lapangan kerja baru, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja justru jadi penonton kelesuan industri manufaktur nasional dan malah membuat kegaduhan hukum ketenagakerjaan makin ruwet.

Kekhawatiran pemerintah terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) Sritex adalah salah satu cerminan gentingnya situasi ketenagakerjaan Indonesia. Isu pemecatan 14 ribu karyawan Sritex sebenarnya secara jumlah terhitung kecil karena hanya berporsi sekitar 0,01 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia.

Tetapi tingkat pengangguran Indonesia sudah menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Sementara belum ada solusi yang tepat untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Ini menunjukan situasi mendesak untuk menjadi perhatian pemerintah.

 

Buah hasil deindustrialisasi

Sensitifnya pemerintah terhadap isu pengangguran atau pemecatan tidaklah mengherankan. Pada kenyataannya, industri manufaktur, termasuk tekstil, memang sedang bertransformasi dengan peningkatan utilisasi otomatisasi produksi.

Indonesia sesungguhnya sedang berada dalam situasi yang disebut deindustrialisasi dini. Bisnis pertambangan tumbuh pesat ditopang oleh lonjakan permintaan global. Sementara industri manufaktur padat karya perlahan-lahan kehilangan daya saingnya.

Alhasil, selain tingkat pengangguran yang meningkat, laju pertumbuhan pekerja informal turut meningkat. Meski memiliki penghasilan, para pekerja informal juga masuk dalam kategori rentan miskin sebab tidak memiliki banyak jaring pengaman sosial.

Seiring perkembangan teknologi, otomatisasi industri akan semakin sulit terbendung. Suatu negara akan sulit untuk terus bersaing kalau hanya mengandalkan sumber daya manusia tanpa keterampilan khusus (SDM unskilled) secara terus menerus. Isu mengenai banyaknya tenaga kerja asing asal Cina di situs industri seperti nikel di Morowali jadi pertanda bahwa ada banyak pos pekerjaan yang tidak bisa diisi oleh warga lokal kita.

 

Tidak memenuhi relevansi industri yang terus maju

Negara berkembang umumnya berpartisipasi dalam rantai pasok global sebagai pemasok sumber daya alam atau SDM tidak terampil (unskilled worker). Kelompok negara ini berpartisipasi aktif dari layer nilai terendah tetapi dalam jumlah besar seperti ini bisa membantu sebuah negara berkembang dari berpendapatan rendah untuk mulai melangkah menuju negara maju.

Namun, mengandalkan sumber daya bernilai rendah terus menerus justru bisa menyulitkan suatu negara untuk naik kelas. Perangkap nilai tambah rendah (low value trap) lama-lama bisa menjadi perangkap pendapatan menengah (middle income trap).

Kemajuan pesat perkembangan teknologi industri semakin meningkatkan resiko perangkap ini. Sebab, kemajuan teknologi yang disertai akselerasi inovasi cenderung meningkatkan kapasitas produksi yang umumnya menambah permintaan sumber daya alam. Namun, ini mengurangi kebutuhan SDM unskilled yang bersifat generik yang mudah digantikan oleh robot yang lebih efisien dari sisi produksi dan biaya.

Ketidakcocokan keterampilan (skills mismatch) memang sudah menjadi problem menahun di Indonesia. Sebuah studi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) mengungkap, rasio pekerja berpendidikan terlalu rendah (under-education) mulai menyusul segi pendidikan terlalu tinggi (over-education) sepanjang periode 2006 dan 2016.

Studi terbaru ILO menemukan tingkat keterampilan pekerja sektor elektronik di Indonesia semakin tertinggal dengan perubahan teknologi produksi yang sangat cepat. Kalau tidak berhati-hati, Indonesia akan menjadi semakin tergantung kepada sumber daya alam. Sementara sumber daya manusia akan tergantikan oleh mesin. Hal ini terlihat dari porsi ekspor perdagangan negara yang hingga kini masih didominasi oleh komoditas migas.

 

Kalah saing dengan tenaga kerja sesama negara berkembang

Jalan lain meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia adalah dengan memperbanyak penyaluran pekerja Indonesia ke luar negeri. Indonesia adalah salah satu sumber pekerja migran terbesar di dunia.

Di antara anggota ASEAN, jumlah diaspora Indonesia adalah yang terbesar kedua setelah Filipina. Di urutan lima besar ada Myanmar, Vietnam, dan Laos di tempat ketiga sampai kelima.

Namun, jumlah pengiriman uang oleh migran (remittance) ke Indonesia selalu lebih rendah dari Vietnam sejak tahun 2000. Sumbangsih devisa Indonesia dari pekerja migran juga hanya 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah tersebut tentunya jauh di bawah Vietnam yang mencapai di atas 5 persen. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ketimpangan ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan keterampilan pekerja migran.

Lebih dari 70 persen pekerja migran Vietnam bekerja di pekerjaan berketerampilan tingkat menengah, seperti perhotelan dan manufaktur. Sedangkan hampir 70 persen pekerja migran Tanah Air bekerja di bidang pekerjaan berketerampilan rendah dengan upah minim sebagai assisten rumah tangga, buruh tani atau pekerja bangunan.

Vietnam adalah pengirim terbesar pekerja migran ke Jepang melalui program Technical Intern Trainee Program (TITP) dan jalur pekerja berketrampilan khusus.

TITP adalah program kerjasama pengembangan SDM antara Jepang dengan 26 negara mitra melalui kesempatan magang di Jepang. Negeri Sakura tersebut juga merupakan pasar potensial untuk mengekspor pekerja migran Indonesia karena sudah mengalami fase populasi tua.

Program ini membantu Jepang menutup kekurangan pekerja sambil memberikan pelatihan untuk pekerja negara mitra. Indonesia berhasil menyusul Cina sebagai pengirim peserta TITP terbesar kedua sejak 2022. Namun jumlah peserta TITP dari Indonesia kurang dari sepertiga peserta Vietnam.

Selain kurangnya keterampilan teknis, kendala bahasa menjadi salah satu tantangan yang dihadapi para pekerja migran kita. Hal ini terlihat dari peringkat penguasaan dan kemampuan Bahasa Inggris di Indonesia yang berada di peringkat 79 dan 113 negara. Sementara itu, para pekerja migran negara kompetitor telah membekali dirinya dengan bahasa asing lain selain Bahasa Inggris

Negara tujuan utama pekerja migran Vietnam adalah Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Tes kemampuan Bahasa Jepang adalah salah satu prasyarat program TITP dan jumlah peserta tes Bahasa Jepang di Vietnam selalu lebih banyak daripada Indonesia sejak 2009.

 

Rekomendasi solusi

Untuk mengatasi rangkaian permasalahan ini, pemerintah perlu berkomitmen penuh meningkatkan keterampilan tenaga kerja Indonesia. Langkah konkret yang bisa dilakukan misalnya, memberikan modul pelatihan terkini tentang mesin yang terkomputersisasi untuk menghadapi tren otomatisasi industri.

Sebenarnya pemerintah sudah mempersiapkan insentif besar bagi perusahaan yang ingin melatih pekerjanya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 Tahun 2019 memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pengurangan penghasilan bruto sebesar 200 persen dari biaya pelatihannya. Namun, pemanfaatannya sejauh ini masih sangat minim karena kurangnya sosialisasi, terutama bagi investor asing.

Selain itu, peningkatan status Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi kementerian patut diikuti penguatan kebijakan pekerja migran. Kementerian baru ini perlu membuat kebijakan yang lebih strategis untuk mengoptimalkan kontribusi pekerja migran Indonesia dari segi jumlah maupun mutu.

Pekerja migran rentan dieksploitasi, tidak hanya dalam pekerjaan dengan tingkat keterampilan rendah, bahkan dalam program resmi seperti TITP sekalipun. Melindungi PMI sejatinya adalah tanggung jawab utama pemerintah. Namun, potensi penempatan PMI untuk pengembangan SDM juga perlu didalami. Kementerian/BP2MI sebaiknya aktif mengusahakan kerjasama pelatihan sambil bekerja, seperti TITP, dengan negara-negara lain.

Akan sangat disayangkan jika kondisi ini berlarut-larut terjadi mengingat negara maju umumnya memiliki teknologi yang lebih maju yang akan sangat membantu pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Pemerintah sebaiknya lebih gencar mempromosikan insentif pelatihan ke berbagai perusahaan di Indonesia, baik lokal maupun asing, sambil meningkatkan mutu pekerja migran Indonesia.’

Dengan memperluas kesempatan upskilling di dalam dan luar negeri, Indonesia dapat mempercepat pengembangan SDM sambil membuka lapangan kerja baru yang lebih berkualitas. []

Sumber The Conversation

Penulis : Andree Surianta, PhD Candidate in Public Policy, Australian National University and Associate Researcher, CIPS, Australian National University

 

 

Advertisement
Advertisement