Tingkatkan Perlindungan dan Perluas Potensi Job ke Jepang, Wamen Christina Audiensi dengan JICA

JAKARTA – Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Indonesia (P2MI) Christina Aryani berdiskusi tentang penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) di Jepang dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), Senin, (17/2/2025).
Senior Assistant to the President of JICA Headquarters, Shishido Kenichi menjelaskan kehadirannya beserta seluruh jajaran JICA untuk kick-off kerja sama kembali mengenai penempatan pekerja migran Indonesia di Jepang.
“Kami ingin bersilaturahmi kepada lembaga Pemerintah Indonesia yang baru dibentuk dalam menangani pekerja migran Indonesia. Kerjasama JICA sebelumnya dengan BP2MI, sekarang BP2MI bertransformasi menjadi kementerian dengan jajaran yang baru juga. Bagaimanakah bentuk kelanjutan kerja sama kita?” ujar Shishido.
Shishido memberikan rekapitulasi bentuk kerjasama terdahulu dengan lembaga yang berwenang terhadap pekerja migran Indonesia saat itu, Kemnaker-RI.
“Kami ikut andil di 4 hal dengan pemerintahan Indonesia di kabinet kemarin. Yakni, penyebaran informasi kebutuhan keahlian calon pekerja beserta kondisi budayanya, koordinasi antar lembaga Jepang-Indonesia, materi kurikulum untuk bahasa Jepang dan keahlian yang dipersyaratkan, serta pemberdayaan PMI Purna yang selesai masa kontraknya,” ungkapnya.
Kebutuhan akan tenaga kerja migran, menurut Shishido masih sama dengan kondisi nasional di Jepang, yakni usia demografis penduduk jepang yang menua dan permintaan tenaga migran dengan keahlian khusus.
“Banyak pemilik perusahaan di Jepang antusias untuk merekrut pekerja migran, termasuk Indonesia, untuk mengisi posisi kosong di tempat usaha mereka. Namun para pemilik perusahaan tersebut tidak mempunyai kontak vocal-point untuk menyalurkan permintaan mereka,” ucap Shishido.
Wamen Christina menyampaikan, tujuan JICA sejalan dengan amanat Presiden Prabowo pada kabinet sekarang. Yakni pelindungan terhadap eksploitasi dan meningkatkan remitansi dan devisa melalui penempatan pekerja ahli.
“Sebelum rumusan kerja sama disusun, kami dari KP2MI/BP2MI harus menyampaikan isu yang sedang berlangsung dahulu tentang penempatan Jepang. Beberapa diantaranya adalah banyaknya calon pekerja, namun kuota Jepang terbatas,” ungkapnya.
Lalu isu berikutnya, menurut Christina adalah skema pelindungan dari Specified Skilled Worker (SSW) Jepang yang menyerupai skema mandiri. Artinya adalah kurangnya monitor keselamatan dari tiap-tiap individu PMI.
Wamen Christina bahkan menerima laporan dari BP3MI di daerah, bahwa jika visa Jepang yang terbit setelah mengajukan Kartu-Elektronik-PMI tidak terkonfirmasi dalam sistem. Namun, jumlah keberangkatan tidak tercatat, jumlahnya bahkan mencapai 10 ribu tiap bulannya.
“Ada juga kendala pada skema magang. Siapapun WNI yang bekerja di Jepang tetap dihitung PMI, namun sifat keberangkatan pemagangan yang tidak tercatat dalam sistem, membuat KP2MI sulit melacak mereka jika terkena masalah,” ujarnya.
Dalam masa efisiensi di Indonesia dan rumitnya mekanisme keuangan Jepang dalam perjanjian IJEPA, Christina menyarankan pertemuan menyeluruh antara JICA, para Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), Balai Pelatihan Vokasi, dan KP2MI sendiri via daring untuk berdiskusi uraikan masalah penempatan kerja di Jepang.
“Dari data Direktorat di KP2MI, dari sekitar 400 P3MI, hanya 20 P3MI yang siap memfasilitasi penempatan Jepang. Saya ingin dari pertemuan antar stakeholder via daring, ada hasil konkret seperti peningkatan jumlah P3MI yang dapat memfasilitasi Jepang serta peningkatan pekerja ahli ke Jepang pada 2025 ini,” pungkasnya. []