Trend Medical Check-up Meningkat, Tapi Setelah Penyakit Hinggap
JAKARTA – Masyarakat Indonesia kini lebih rutin menjalani medical check up. Namun, alih-alih deteksi dini untuk mencegah penyakit, kebanyakan baru melakukannya saat punya keluhan atau merasa sakit.
Hal itu disampaikan dr Bettia M Bermawi SpPK., Dokter Patologi Klinik dari RS St. Carolus dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (09/07/2019).
Pernyataan dr Bettia didukung hasil survei. Salah satu poinnya menjelaskan kecenderungan masyarakat menjalani pemeriksaan kesehatan atau medical check up (MCU) secara rutin.
Survei melibatkan 11.000 responden usia 18 tahun ke atas di 16 negara Asia Pasifik, dengan 750 sampel tatap muka berasal dari Indonesia.
Secara menyeluruh, hasil survei mengungkap peningkatan kepuasan dan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan. Dalam survei juga disebutkan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang menjalani MCU mengalami kenaikan sebesar 15 persen dalam dua tahun. Dari 34 persen di tahun 2016, menjadi 49 persen di 2018.
Menurut dr Bettia, terutama di kota besar seperti Jakarta, peningkatan MCU secara rutin dipicu munculnya kesadaran bahwa kesehatan adalah investasi masa depan yang berharga.
Di sisi lain, 52 persen dari mereka tidak melakukan medical check up karena merasa sehat. Sementara 4 alasan lainnya yaitu terkendala biaya (49 persen), takut dengan hasil check-up (26 persen), membutuhkan banyak waktu (23 persen), dan yakin tidak memiliki risiko penyakit serius (10 persen).
Bertaut dengan alasan-alasan tersebut, dr Maria Dewi Indrawati SKed dari situs klikdokter , menilai kesadaran orang Indonesia untuk mendeteksi penyakit sejak dini sebetulnya masih rendah.
Menurutnya, masyarakat baru memiliki kesadaran untuk melakukan pemeriksaan apabila dalam keluarganya ada riwayat penyakit tertentu atau bekerja di lingkungan berisiko tinggi.
Pandangan itu dibenarkan Marketing Communications Manager Prodia, Reskia Dwi Lestari.
Kata Reskia, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan 200 generasi milenial usia 25-35 tahun di Bandung, 30 persen responden mengaku memeriksakan diri atas rujukan dokter.
Kontribusi kedua datang sendiri, dan kontribusi ketiga merupakan rujukan rumah sakit atau perusahaan. Artinya, sebagian besar melakukan MCU ketika sudah sakit.
Padahal, sambung dr Betia, mendeteksi adanya penyakit sejak dini mampu mencegah munculnya risiko lebih lanjut. Pun mempermudah pengobatan sekaligus menekan biaya tidak perlu.
“Pola hidup, gaya hidup sedentari, dan sekarang tuh apa namanya generasi micin, kita perlu melakukan pemeriksaan kesehatan lebih awal. .Hasilnya bisa jadi panduan dokter untuk diagnosis,” ujarnya.
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan peningkatan penyakit tidak menular dalam 5 tahun terakhir. Dibandingkan dengan riskesdas 2013, prevalensi strok naik dari 7 persen menjadi 10,9 persen, angka kejadian kanker naik dari 1,4 persen menjadi 1,8 persen, dan penyakit ginjal kronik naik dari 2 persen menjadi 3,8 persen.
Sementara berdasarkan pemeriksaan tekanan dan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen, dan kasus hipertensi meningkat dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.
Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini berhubungan dengan pola hidup, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur.
Sebagai pencegahan, pemerintah telah menganjurkan seluruh masyarakat Indonesia untuk menjalani MCU secara rutin. Tindakan preventif yang tertuang dalam Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) ini bertujuan memperoleh gaya hidup sehat sekaligus meningkatkan kualitas hidup bangsa.
Berlandaskan hal tersebut, dr Bettia menegaskan tidak perlu menunggu tua ataupun sakit untuk MCU. Ia menganjurkan bagi yang mengidap masalah kesehatan untuk menjalani tes MCU rutin empat atau enam bulan sekali. Sementara bagi masyarakat umum setidaknya setahun sekali.
“Lebih bagus enam bulan sekali,” timpal Reskia. Menurutnya, mayoritas orang yang melakukan MCU ke lab adalah dewasa atau lanjut usia.
Padahal, uji kesehatan juga dianjurkan bagi anak-anak. Khususnya yang mengalami tiga kondisi sebagai berikut.
Pertama, “Pemeriksaan sederhana hematologi pada anak. Misal ada tendensi, ada masalah di rapornya,” ujar dr Bettia seraya menerangkan bahwa penyakit anemia berkaitan dengan nutrisi dan bisa memengaruhi kecerdasan anak.
Kedua, diagnosis obesitas. Ketiga, Bettia menyarankan anak yang terlalu cepat atau terlambat mengalami pubertas untuk menjalani MCU agar lekas diterapi hormon yang sesuai.
Di luar itu, dia berpesan agar memeriksakan diri di laboratorium tepercaya. “Masyarakat bisa melihat apakah sudah dapat izin dari Kementerian Kesehatan serta terakreditasi secara nasional,” tandasnya.[Zora]