Tuti, PMI Ke 6 Yang Dieksekusi Mati Tanpa Notifikasi Ternyata Lulusan Akademi farmasi
MAJALENGKA – SUASANA duka masih menyelimuti keluarga almarhumah Tuti Tursilawati (33) di Blok Manis RT 01/01, Desa Cikeusik Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka, PMI yang telah dieksekusi mati di Taif, Arab Saudi, Senin 29 Oktober 2018. Sejumlah pelayat dari berbagai kalangan terus berdatangan ke rumah duka.
Ibu kandung Tuti, Iti Sarniti meski terlihat tegar, menyambut setiap yang datang ke rumahnya, seperti dari BNP2TKI, anggota Koramil Sukahaji, dan sejumlah kerabatnya, serta menerima sambungan telpon yang menyampaikan bela sungkawa. Namun sesekali dia menyeka air matanya ketika kesedihannya terungkit.
“Tolong doakan anak saya, semoga diampuni dosanya, diterima amal baiknya oleh Allah SWT, seingat saya dia orang baik, pendiam, jadi sangat kaget ketika dulu mendengar dia mengalami musibah di tempat kerjanya,” tutur Iti, Rabu 31 Oktober 2018.
Disampaikan Iti, anaknya berangkat ke Arab Saudi di tahun 2009 melalui PT Arundabayu di Jakarta. Keberangkatannya itu bersamaan dengan dirinya yang juga menjadi pekerja migran, hanya saja berbeda sponsor dan majikan dengan kontrak kerja selama 3 tahun.
Iti saat itu berangkat untuk kedua kalinya. Berdasarkan dokumen, Tuti bekerja di rumah majikan bernama Monif Atoyibi. Namun ditempatkan di rumah berbeda untuk merawat orang tua majikan.
Meski berangkat bersama dan bekerja di kota yang sama, Iti mengaku mereka tidak pernah bisa untuk berkomunikasi.
“Baru setahun saya bekerja, saya pamit pulang kebetulan majikan baik sehingga diijinkan,” kata Iti.
Begitu pulang ke kampung halaman di Cikeusik, Iti mendapat kabar dari migrant care yang menyebutkan kalau anak sulungnya itu mendapat musibah di tempat kerja. Tuti dituduh melakukan pembunuhan, setelah enam bulan bekerja.
Mendapat kabar demikian, Iti segera menghubungi BNP2TKI di Jakarta, Kementrian Luar Negeri dan perusahaan yang memberangkatkannya, dengan ditemani oleh petugas dari migrant care hingga diperoleh kejelasan.
“Saya terkadang menginap hingga berminggu-minggu di Jakarta untuk mengurus anak saya tersebut. Ini musibah, yang berharap tidak dialami oleh TKI lain,” kata Iti.
Menurutnya, almarhumah Tuti berangkat ke Arab setelah menikah dan memiliki satu anak bernama Ara Herlina yang kini berusia sekitar 12 tahun. Ara merupakan buah perkawinannya dengan Asori, pria asal Cirebon.
Seperti halnya ratusan warga Desa Cikeusik lainnya, keberangkatan almarhumah ke Arab adalah untuk mengadu nasib untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Tuti merupakan lulusan akademi Farmasi Cirebon.
Sempat akan bekerja di RSHS Bandung
Iti mengungkapkan, begitu lulus kuliah, Tuti awalnya akan bekerja di RSHS Bandung. Ia diajak oleh seorang pegawai rumah sakit tersebut yang juga berasal dari Desa Cikeusik.
Namun kemudian, Tuti memilih menikah dan tinggal di Cirebon bersama suaminya. Kabarnya, suaminya itu telah menikah setelah beberapa waktu mendapat kabar Tuti dituduh melakukan pembunuhan berencana di Arab Saudi.
Ia menceritakan, saat terakhir bertemu di penjara selama kurang lebih 1,5 jam pada Bulan April lalu, semua teman almarhumah di dalam penjara mengaku akan sangat kehilangan jika Tuti tidak ada.
“Saat itu kami berpelukan, dia tidak menceriterakan kisah pilu sedikitpun yang dialaminya seolah tidak ingin orang tuanya sedih apalagi menderita. Teman-temannya sangat baik, ikut berkumpul dan ngobrol dengan kami,” ucapnya.
Dalam kunjungannya ke Arab itu, ia mengaku membawa sejumlah makanan kesukaan putrinya tersebut, seperti rengginang, rempeyek, opak dan sejumlah makanan lainnya. Itu semua oleh Tuti dibagikan kepada teman-temannya yang ada di penjara agar ikut menikmati makanan.
Kemudian pada Bulan Agustus saat petugas dari Kementrian Luar Negeri datang mengunjungi anak Tuti di Cirebon. Ia meminta untuk dikirimi dua potong baju.
Terakhir, Tuti menghubungi Iti melalui video call pada 19 Oktober 2018, sekitar pukul 22.00 WIB. Tuti menunjukan bahwa bajunya sudah dipakai dan salah satunya sedang dikenakannya.
Selama 6 bulan Tuti bekerja di Arab, ia belum pernah memberikan kabar apapun apalagi mengirim uang gaji hasil kerjanya. Ketika ditanyakan kepada perusahaan yang memberangkatkannya, saat itu tidak ada pihak yang memberikan jawaban apapun.
Bahkan, lanjut dia, Direktur perusahaannya tidak pernah bisa ditemui. Saat ini perusahaan tersebut sudah tutup.
Jaenudin, Kepala Desa Cikeusik, mengamini apa yang diutarakan Iti. Jaenudin mengatakan, pihaknya ingin mengetahui apakah hasil jerih payah Tuti saat bekerja masih bisa didapat meski saat ini telah meninggal akibat hukuman mati.
Karena menurutnya untuk PMI lain yang meninggal akibat kecelakaan atau sakit, masih ada asuransi yang menjadi hak keluarga atau ahli waris, atau mungkin gaji yang belum dibayarkan. Menurut dia, BNP2TKI serta Kementrian Luar Negeri telah memberi uang santunan yang kini akan dipergunakan untuk menggelar tahlilan dan yasinan hingga 40 hari kedepan.
Tinggalkan kesan baik
Semua warga di Desa Cikeusik memberikan kesan baik terhadap Tuti. Mereka menyebut Tuti adalah anak pendiam, tidak pernah menyinggung teman apalagi orang diatas usianya.
Namun ketika mendengar kabar Tuti diadili atas tuduhan pembunuhan, semua orang di kampungnya kaget. Mereka beranggapan hal itu merupakan sesuatu yang sangat mustahil dan jauh dari prilaku kesehariannya.
Sejumlah tetangga dan kerabat langsung menangis histeris begitu mendengar Tuti telah dieksekusi. Mereka tidak terima dengan kenyataan yang telah terjadi itu.
“Dia sangat baik, makanya dia rela hingga harus bekerja di Arab untuk memperjuangkan kondisi ekonomi keluarga,” ujar seorang pelayat.
Tuti, PMI Keenam Dieksekusi Tanpa Notifikasi
Eksekusi mati Tuti Tursilawati tanpa notifikasi dari Arab Saudi bukan kali pertama yang terjadi. Menurut catatan Migrant CARE pada tahun 2008-2018, ada lima WNI lainnya yang mengalami hal serupa selain Tuti.
“Yang di Arab, sejak 2008-2018 ada 6 semuanya tidak ada notifikasi,” ujar Aktivis Migrant CARE, Anis Hidayah saat dimintai konfirmasi, Rabu (31/10/2018).
Keenam WNI yang dieksekusi mati Saudi tanpa notifikasi bekerja sebagai pekerja migran di Saudi. Mereka dieksekusi atas tuduhan membunuh majikannya.
“Eksekusi hukuman mati terhadap pekerja migran kerap dilakukan tanpa memberikan notifikasi terlebih dahulu kepada pihak Pemerintah RI serta dengan mengabaikan akses terhadap keadilan dalam proses hukum yang berjalan,” tulis infografis yang dibagikan Anis.
Migrant CARE juga menampilkan data Kementerian Luar Negeri tahun 2011-2017 di mana ada 188 kasus WNI terancam hukuman mati yang dalam proses penanganan serta 392 kasus selesai dengan vonis bebas. Menurut catatan Migrant CARE, 72 persen pekerja migran yang menghadapi hukuman mati adalah perempuan.
Saudi dan Malaysia disebut menjadi negara dengan ancaman hukuman mati tertinggi. Migrant CARE mencatat, 66 persen kasus terkait tuduhan pembunuhan, 14 persen terkait tuduhan sebagai kurir narkoba, dan 14 persen dengan tuduhan sihir.
Berikut 6 PMI yang dieksekusi mati tanpa notifikasi:
- Yanti Irianti (11 Januari 2008), ditembak mati di Saudi karena tuduhan membunuh majikan
- Ruyati (18 Juni 2011), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan
- Siti Zaenab (14 April 2015), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan
- Karni (16 April 2015), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan
- Muhammad Zaini Misrin Arsad (18 Maret 2018), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan
- Tuti Tursilawati (29 Oktober 2018), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan []