UMP Melambung Tinggi, Relokasi Usaha Jadi Solusi
JAKARTA – Upah minimum provinsi (UMP) yang berbeda di tiap daerah, kerap menjadi tolok ukur sebuah perusahaan dalam menempatkan lokasi usahanya. Disparitas yang terlalu jauh antara satu provinsi dan provinsi lainnya, membuat provinsi dengan UMP terendah pun menjadi sasaran para pengusaha. Wajar saja, logika sederhananya, dengan UMP rendah, biaya operasional perusahaan bisa ditekan.
Ambil contoh, pada tahun 2019 UMP di Jakarta mencapai angka Rp3,9 juta per bulan. Sementara di Jawa Tengah UMP yang ditetapkan hanya mencapai Rp1,6 juta per bulan. Tak heran jika sejumlah perusahaan yang sebelumnya berbasis di Jakarta, bisa hijrah ke daerah Jawa Tengah.
Direktur Trade Union Right Centre (TURC) Andriko Otang mengatakan, fenomena pindahnya perusahaan dari Jakarta, terjadi sejak 2015 khususnya di sektor manufaktur. Secara perlahan-lahan perusahaan padat karya itu mulai bergeser dari Jabodetabek ke Jawa Tengah.
“Ada beberapa alasan yakni naiknya upah minimum yang cukup signifikan. Selain itu juga ada fasilitas baru yang disediakan oleh pemerintah daerah maupun pusat,” tutur Andriko dalam percakapan telepon, Kamis (18/7).
Sebagai contoh, pemerintah pusat membangun infrastruktur di Pelabuhan Tanjung Mas. Menurutnya, hal itu sebenarnya sebagai salah satu pertimbangan pindahnya industri manufaktur ke Jawa Tengah. Karena bila hanya mengandalkan Tanjung Priok di Jakarta, Andriko menilai pelabuhan tersebut sudah terlalu melebihi kapasitas, arus transportasi ibu kota pun juga terganggu. Tidak hanya itu, biaya akomodasinya pun juga akan meningkat.
Sementara di Tanjung Mas, Andriko mengatakan, daerah itu masih dianggap menguntungkan oleh para pengusaha. Lewat pelabuhan ini, juga bisa langsung melakukan ekspor ke negara tetangga seperti Singapura.
Berikutnya, juga ada insentif lokal yang disediakan oleh pemerintah. Hal tersebut dikatakan Andriko bisa meringankan pengusaha baik dari segi perizinan, fasilitas air, transportasi, dan tenaga kerja.
Pihak TURC juga mengonfirmasi pindahnya perusahaan dari Jakarta ke daerah kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Pihak Apindo pun mengonfirmasi bahwa kesenjangan upah minimum khususnya antara Jabodetabek dan Jawa Tengah yang mencapai Rp2 juta, menjadi faktor dominan perusahaan melakukan relokasi.
“Ternyata perusahaan lebih memilih relokasi, ini bukan suatu hal yang sulit bagi mereka,” ungkap Andriko.
Namun berdasarkan hasil riset TURC, relokasi perusahaan dilakukan tidak dengan tiba-tiba. Awalnya, perusahaan yang ingin relokasi, akan mendirikan perusahaan baru di wilayah yang ditargetkan, setelah itu mereka akan melakukan ekspansi.
Secara perlahan pun tenaga kerja ahli akan dikirim ke wilayah baru untuk uji coba, menyusul barang-barangnya. Setelah itu akan dilakukan produksi, akhirnya secara keseluruhan perusahaan itu pindah.
Pada umumnya, Andriko mengatakan, perusahaan yang pindah tidak akan menggunakan nama yang sama. Perusahaan itu ketika pindah akan ditutup, lalu dibuat nama baru dan merekrut tenaga kerja baru. Hal itu yang kemudian menyebabkan persoalan seperti PHK massal.
Tidak bisa dimungkiri, relokasi adalah kebijakan prerogatif perusahaan yang didasari pasar bisnis. Namun, Andriko melanjutkan, hal yang bisa dikritisi adalah relokasi tidak menghapus tanggung jawab perushaan terhadap ketentuan hukum.
Kemudian, bila ingin melakukan relokasi seperti ke Jawa Tengah dan perusahaan tersebut ingin mengirim tenaga kerja yang lama, fasilitas penunjang hidup harus disediakan seperti rumah dan upahnya harus sama dengan UMP sebelumnya. Kalaupun ingin menggunakan tenaga kerja baru, TURC meminta, para pekerja lama harus diberikan pesangon sesuai dengan undang-undang.
Migrasi
Senada, Kepala Seksi Statistik Upah Subdit Statistik Upah dan Pendapatan Badan Pusat Statistik (BPS) Huda Yusuf mengatakan, penetapan upah minimum kabupaten dan upah minimum kota, cukup menjadi faktor penentu pindahnya home base suatu perusahaan. Meski sampai saat ini BPS mengaku belum melakukan studi terkait UMP dan kaitannya dengan perpindahan penduduk, namun ia meyakini, ditetapkannya UMP yang tinggi membuat beberapa perusahaan hengkang dari Jakarta maupun dari kota penyangga.
“Mereka lebih memilih pindah ke Jawa Tengah,” kata Huda saat dihubungi Validnews, (19/7).
Ia mengatakan bahwa perusahaan yang melakukan perpindahan kebanyakan berasal dari sektor industri. Sementara untuk sektor jasa tidak besar jumlahnya. Di sektor industri, berpindah dari wilayah yang memiliki UMP tinggi mampu menekan modal produksi upah yang lumayan banyak.
Namun lain halnya bila dilihat dari sisi pekerja atau perorangan. Huda mengatakan migrasi bukanlah hal yang mudah bagi seseorang. Karena sebelum pindah kependudukan, seseorang memikirkan tempat yang akan dia datangi berikutnya dengan berbagai pertimbangan.
Ketika pindah ke suatu wilayah, Huda mengatakan tidak hanya faktor upah yang dipikirkan, namun juga hal lain seperti adanya anggota keluarga di tempat tujuan pekerja tersebut. Menurut Huda, kadang orang lebih memilih dekat dengan keluarga, walaupun menerima gaji yang tidak sesuai ekspektasi.
Mengenai tuntutan kenaikan UMP oleh para pekerja, Huda mengatakan, upah tersebut diperuntukkan kepada pekerja lajang yang memiliki pengalaman 0–1 tahun. UMP sendiri dikatakannya diproyeksikan untuk biaya hidup satu bulan tanpa tabungan.
“Selain itu gaya hidup juga mempengaruhi, bila semakin banyak pengeluaran seperti sewa kontrakan dan lain-lain, akan semakin sulit juga pengaturan uangnya,” ucap Huda.
Tekstil dan Garmen
Kepala Seksi Kesejahteraan Pekerja, Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Pekerja Pada Disnakertrans DKI Jakarta Krishna Adiputra mengakui, berdasarkan informasi yang ia dapat dari dewan pengupahan, ada beberapa perusahaan yang keluar dari wilayah Jakarta. Hal itu dikarenakan perusahaan-perusahaan tersebut merasa ada kenaikan UMP yang signifikan.
“Rata-rata perusahaan-perusahaan itu lari ke Jawa Tengah. Biasanya perusahaan tersebut bergerak di bidang tekstil dan garmen,” kata Krisna, Kamis (18/7).
Lebih lanjut, Krisna mengatakan, perusahaan-perusahaan yang hengkang dari ibu kota itu merasa terbebani dengan tingginya upah minimum sektoral provinsi (UMSP). Terlebih sektor yang paling diunggulkan di Jakarta adalah tekstil dan garmen.
Ia berpendapat, dulu saat ditetapkan UMSP pertama kali, kedua sektor itu bisa jadi trennya sedang meningkat, namun belakangan justru mengalami penurunan. Dengan begitu, perusahaan tidak sanggup lagi memenuhi UMSP. Bagi perusahaan-perusahaan garmen dan tekstil di Jakarta, tingginya UMSP sangat memengaruhi jalannya usaha.
Asal tahu saja, UMSP sedikit berbeda dengan UMP. Nilai UMSP lebih tinggi 5% di atas UMP. Bila suatu Provinsi telah menetapkan UMSP, maka yang berlaku adalah UMSP Provinsi tersebut. Sebaliknya, bila Provinsi belum memiliki UMSP maka yang berlaku adalah UMP. Nah, Jakarta telah menetapkan UMSP untuk sektor tekstil dan garmen
“Hal ini kira-kira sudah terjadi sejak tahun 2017, menurut informasi yang saya dapat dari dewan pengupahan. Apalagi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri nomor 15 tahun 2018. Perusahaan-perusahan sektor unggulan itu tidak boleh menerapkan gaji UMP,” terang Krisna.
Keluarnya perusahaan-perusahaan tersebut dari wilayah Jakarta, tak ayal memiliki dampak pada beberapa hal, di antaranya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berpotensi tergerus. Tidak hanya itu, daya serap tenaga kerja yang dimiliki oleh Jakarta, dikatakan Krisna juga akan mengalami penurunan.
Sekadar informasi, sejatinya Jakarta bukanlah menjadi daerah dengan upah minimum tertinggi senusantara. Untuk tahun 2019, Kabupaten Karawang serta Kabupaten dan Kota Bekasi tercatat memiliki Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tertinggi, melewati UMP DKI Jakarta.
Upah minimum di kabupaten Karawang tercatat sebesar Rp 4.234.010. Sementara, kota dan kabupaten Bekasi masing-masing memiliki upah minimum sebesar Rp 4.229.756 dan Rp 4.146.126. Besaran UMK ini ditetapkan Gubernur Jawa Barat lewat Keputusan Nomor 561/kep.1220-Yanbangsos/2018 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2019.
Kenaikan besaran UMK ditetapkan seusai dengan penghitungan yang telah ditetapkan pemerintah yakni sebesar 8,03%, dihitung dari angka inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Kesejahteraan Pekerja
Karena kalah besar, sebagai solusi, Krisna mengatakan, Pemprov DKI Jakarta membuat program-program kesejahteraan pekerja. Tujuan dari program ini adalah untuk membuat kehidupan pekerja lebih sejahtera, tanpa harus menunggu kenaikan upah. Beberapa programnya yakni kartu pekerja dan gerai pangan bersubsidi bagi serikat pekerja.
Selain itu, untuk mengukur kebutuhan hidup di Jakarta, pihak Disnakertrans juga melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL). Sudah dua tahun dilakukan survei di lima pasar di lima wilayah kota, hasilnya angka UMP berada di atas KHL. Jeda antara UMP dan KHL yakni Rp200 ribu untuk hitungan satu orang.
Untuk program kartu pekerja, disnakertrans menilai animo para pekerja sangat tinggi. Namun yang menjadi kendala adalah, informasi tersebut tidak sampai ke seluruh pekerja di Jakarta.
“Terkadang masih ada pekerja yang masih belum tahu betul terkait hal ini,” tambahnya.
Tak hanya bagi pekerja di Jakarta, sebenarnya ada juga wacana berlakunya kartu pekerja bagi pekerja non-DKI. “Karena para pekerja yang berdomisili di luar Jakarta, mereka setor pajaknya ke ibu kota. Hal itu sampai saat ini masih menjadi pembicaraan di level pimpinan,” kata Krisna.
Tahun 2018 dengan target pembagian 3.000 kartu, dikatakan Krisna, sudah terpenuhi. Untuk tahun ini, Jakarta memiliki target pembagian 20.000 kartu pekerja. Untuk tiga bulan pertama, target distribusi 5.000 kartu bisa dipenuhi. Lalu untuk tiga bulan berikutnya sebanyak 4.000 kartu juga terpenuhi.
Uniknya, dengan pindahnya perusahaan dari Jakarta, Krisna mengatakan hal itu belum tentu membuat orang juga ikut berpindah domisili dan tinggal di sekitar perusahaan tempat dia bekerja. Keinginan orang untuk tinggal di daerah kota besar maupun kota penyangga, dikatakan Krisna masih cukup besar.
Menurutnya, benefit yang diberikan ibu kota, sampai saat ini masih menjadi nilai tawar yang sangat baik. Fasilitas maupun program-program yang diberikan pemerintah, seperti KJP Plus, kartu pekerja dan sebagainya, dianggap masih menjadi daya tarik yang sulit diindahklan begitu saja oleh para pekerja.
Hanya saja, ia mengakui, ada dilema tersendiri dengan besaran UMP Jakarta 2019 yang sebesar Rp3,9 juta. “Misalkan kantor pusatnya ada di Jakarta, namun pabriknya ada di daerah penyangga yang UMP-nya lebih tinggi seperti di Karawang,” jelas Krisna.
Siasatnya, jika ada perusahaan yang memiliki dua lokasi berbeda dengan UMP yang berbeda, pemerintah akan menetapkan, gaji akan ditentukan berdasarkan UMP yang lebih tinggi. Saat ini sudah beberapa perusahaan yang menerapkan hal itu, khususnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang otomotif. [GMP]