Undang-Undang Malaysia Tidak Pernah Mengakui PRT sebagai Profesi Pekerja
KUALA LUMPUR – Organisasi pemantau pekerja wanita Tenaganita menyatakan Undang-Undang Ketenagakerjaan Malaysia tidak mengakui pembantu sebagai pekerja. Aturan di Malaysia sebatas mengakui pembantu hanya sebagai pembantu rumah tangga serta mengecualikan dari banyak ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan 1955.
Mengutip Antara, Direktur Tenaganita Sdn Bhd Glorene A Das mengemukakan hal itu memperingati Hari Migran Internasional di sekretariat Tenaganita, Rabu (18/12/2019). Menurut Asosiasi Pengusaha Pembantu Malaysia (MAMA) pada 2018 terdapat lebih dari 250.000 pekerja rumah tangga terdaftar di Malaysia yang semuanya adalah pekerja migran.
“Pekerja rumah tangga memberikan layanan yang tak ternilai di rumah dengan merawat anak-anak, orang tua dan lemah, dan mengelola rumah tangga. Sehingga memungkinkan orang Malaysia menikmati standar hidup yang jauh lebih tinggi dan pada saat yang sama memungkinkan bagi banyak ibu untuk bergabung dengan angkatan kerja,” katanya.
Dalam pandangan Tenaganita Perayaan Hari Migran Internasional akan tetap tidak berarti bagi ribuan pekerja rumah tangga yang bekerja keras untuk waktu yang lama. Mereka juga sering tidak dilindungi dengan pengaturan kerja, sering dibayar rendah atau tidak dibayar, kehilangan makanan yang layak, tempat yang layak untuk beristirahat dan sebagainya.
“Kami juga mengakui bahwa banyak majikan memperlakukan pekerja rumah tangga mereka dengan bermartabat dan adil. Sejumlah kasus yang ditangani oleh Tenaganita menyoroti fakta bahwa pelecehan terhadap pekerja rumah tangga di Malaysia tidak jarang terjadi,” katanya.
Sebagai contoh, ujar dia, kasus Adelina Sau yang meninggal dua tahun lalu akibat cedera yang diderita saat bekerja di rumah majikannya. Adelina Jerima Sau (21) adalah PRT asal Kupang yang meninggal dunia akibat kegagalan organ tubuh setelah dianiaya majikannya di sebuah rumah di di Taman Kota Permai, Bukit Mertajam, Penang.
Namun tidak banyak yang mengetahui kasus baru-baru ini yang ditangani oleh Tenaganita yang melibatkan pekerja rumah tangga yang secara teratur dilecehkan oleh majikannya. Akibat pelecehan pembantu rumah tangga itu telah dibutakan di kedua matanya.
Tenaganita berpendapat pekerja rumah tangga sepenuhnya dikecualikan dari Orde Upah Minimum sejak awal (2012) hingga amandemen terakhir (2018). “Kami secara teratur menangani kasus-kasus pekerja rumah tangga yang tidak dibayar sama sekali selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun,” katanya.
Dalam kasus terbaru Tenaganita memperoleh data terdapat lebih dari 70 ribu ringgit Malaysia atau Rp 236,4 juta upah yang belum dibayar selama hampir sembilan tahun (2011-2019) dari seorang majikan. Jumlah tersebut lebih rendah dari upah minimum.
“Saat ini kami juga sedang menangani kasus lain yang melibatkan lebih dari klaim upah 250 ribu ringgit yang belum dibayar untuk pekerjaan ganda antara 2013 hingga 2019 sebagai pekerja rumah tangga dan pekerja umum di tempat bisnis majikannya,” katanya.
Dalam hal ini, ujar dia, pekerja rumah tangga bekerja tidak hanya sebagai pekerja rumah tangga. Ia juga merangkap pekerja komersial di toko majikannya.
Hingga September 2019 Tenaganita telah menangani kasus 55 wanita dan 45 pria di Lembah Klang (Kuala Lumpur dan sekitarnya) dan 48 wanita serta 28 pria) di Penang. Hal ini termasuk kasus tahun lalu yang masih dikelola pada 2019.
“Jika kami hanya menghitung kasus baru, ada sekitar 77 kasus pekerja rumah tangga yang diterima oleh Tenaganita pada 2019,” katanya.
Glorene mendesak pemerintah untuk mengambil langkah segera untuk memastikan bahwa pekerja rumah tangga diberikan perlindungan hukum yang layak mereka dapatkan sebagai pekerja. Selain itu agar memungkinkan pembantu rumah tangga memperoleh hak-hak dasar mereka seperti jam kerja yang diatur, upah minimum, perlindungan sosial, kebebasan bergerak, kebebasan berserikat dan akses ke mekanisme pengaduan yang efektif untuk mendapatkan ganti rugi.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, Malaysia masih menjadi negara tujuan utama pekerja migran Indonesia (PMI). Di tahun 2018 sekitar 90 ribu PMI tercatat bekerja di Malaysia. Sekitar 47 persen di antaranya bekerja di sektor informal. Salah satunya sebagai pembantu rumah tangga.
Kasus yang melibatkan pembantu rumah tangga Indonesia di Malaysia juga terus ada. Setidaknya tahun ini ada kasus dugaan pemerkosaan pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia yang melibatkan anggota Dewan Eksekutif Negara Bagian Perak Paul Yong Choo Kiong.
Ada pula kasus tiga pembantu rumah tangga asal Indonesia yang kabur dari wilayah Country Heights, Kajang, 23 kilometer dari Kuala Lumpur. Mereka kerap dipukul dan ditampar, ditahan gaji serta paspornya.
Perlindungan Tenaga Kerja
Dari Jakarta, anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayat meminta Pemerintah meningkatkan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) di tahun 2020. Salah satu yang perlu diperhatikan yaitu jaminan mendapatkan hak untuk beribadah dan memperoleh makanan halal untuk para PMI.
“Hak beribadah dan memperoleh makanan halal di negara tempatnya bekerja, ini salah satu hal penting yang perlu mendapatkan jaminan dari pemerintah dalam hal ini Kemenaker,” kata Kurniasih dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Republika, Rabu (18/12/2019).
Mufida menilai, banyak masalah dalam tata kelola tenaga kerja migran. Sejak sebelum keberangkatan para pekerja migran juga kurang mendapatkan pembinaan sesuai kebutuhan di negara penempatan. Akibatnya, mereka tak memiliki persiapan menghadapi gegar budaya.
“Ditambah lagi, sistem kontrak banyak yang tidak sesuai dengan janji kepada TKI. Sistem pengiriman amburadul, banyak yang ilegal higga pembayaran gaji masih banyak temuan masalah, bahkan hingga kasus-kasus tidak dibayar,” terang Mufida.
Sementara sistem perlindungan bagi para PMI juga dinilai belum optimal. Akibatnya, banyak PMI menjadi korban penipuan. Bahkan saat sakit dan meninggal dunia pun harus menanggung biaya sendiri.
Mufida juga mengingatkan Kemenaker bahwa Pemerintah RI belum meratifikasi konvensi ILO tentang Perlindungan Migran dan keluarganya. Padahal, perlindungan keluarga tenaga kerja Indonesia masih rentan.
“Banyak keluarga TKI bermasalah dan angka perceraian tinggi,” ucap Mufida.
Mufida mendorong Kemenaker dan Badan Nasional Perlindungan dan Penempatakan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan semua stakeholder untuk konsisten dan sungguh-sungguh menjalankan UU 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sementara terkait kondisi ketenagakerjaan di dalam negeri, Mufida mengingatkan Pemerintah untuk tidak berpuas diri dengan capaian penurunan tingkat pengangguran terbuka. Pasalnya, PR pemerintah untuk membenahi tata kelola bidang ketenagakerjaan masih sangat banyak.
“Tantangan masa depan masih sangat berat. Salah satunya adalah tentang angka pengangguran dari penduduk berpendidikan SMA/SMK ke atas masih tinggi,” ungkap Mufida. []