Untuk Menjaga Dari Penyalahgunaan, Perempuan di Korea Selatan Ramai-Ramai Hapus Foto di Sosial Media
JAKARTA – Buntut dari wabah konten porno rekayasa buatan kecerdasan buatan (AI) yang disebut sebagai deepfake sedang melanda Korea Selatan. Perempuan Korea ketakutan oleh berbagai konten deepfake yang bersumber dari Telegram, mereka beramai ramai menghapus foto dan video unggahan mereka dari sosial media.
CEO sekaligus pendiri Telegram Pavel Durov ditangkap di Prancis. Setelah penangkapan tersebut Telegram sekarang kembali menghadapi masalah hukum di Korea Selatan.
Kepolisian di Korea Selatan telah mengumumkan penyelidikan awal atas dugaan peran platform pesan instan tersebut dalam kejahatan seks.
Menurut laporan dari kantor berita Yonhap, penyelidikan ini menjadi langkah Korea Selatan untuk mengatasi penyebaran pornografi palsu atau deepfake yang telah menargetkan wanita muda, termasuk remaja, di negara ini.
Kepala Kantor Investigasi Nasional Korea Selatam Woo Jong-soo mengatakan, mereka berencana untuk bekerja sama dengan kepolisian di Prancis dan lembaga internasional lain terkait persoalan Telegram.
Penyelidikan ini kemungkinan rumit karena Telegram tak secara langsung menyediakan data investigasi, seperti informasi akun, ke badan investigasi negara manapun, termasuk yang ada di AS, demikian dikutip dari CNBC Internasional, Kamis (5/9/2024).
Penolakan Telegram untuk berbagi informasi dengan penyelidik ketika diwajibkan oleh hukum juga telah dicatat dalam penyelidikan Prancis.
Video porno palsu di telegram
Pornografi deepfake sedang mewabah di Korea Selatan dan membuat wanita di sana ketakutan. Mereka bahkan sampai menghapus foto-foto selfie di Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya karena takut menjadi korban.
“Rasanya seperti apa yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi kita, kehidupan rutin kita, telah dilanggar”, kata seorang wanita berusia 27 tahun, dikutip dari Korea Times.
Masalah deepfake seksual menjadi sorotan ketika lulusan Universitas Nasional Seoul berusia 40-an diduga berkonspirasi dengan tiga pria lain untuk membuat gambar dan video seksual eksplisit dari korban menggunakan teknologi deepfake, dan membagikannya di Telegram.
Sejauh ini sudah 61 korban diidentifikasi, termasuk 12 alumni sekolah yang sama dengan pelaku.
Dalam waktu singkat, laporan media berkembang dari kasus serupa lainnya terkait kejahatan seks deepfake, dengan beberapa ruang chat di Telegram yang menargetkan anak di bawah umur.
Satu saluran Telegram dilaporkan memiliki lebih dari 220.000 anggota dan dilengkapi dengan program yang langsung mengubah foto menjadi telanjang. Parahnya lagi para pelaku mendorong anggota saluran tersebut untuk berbagi foto orang yang mereka kenal.
Bae Sang-hoon, seorang profesor dari departemen administrasi polisi di Universitas Woosuk, mengatakan pelaku dalam kejahatan ini didorong oleh faktor-faktor seperti rasa rendah diri, hiburan dan kadang-kadang hanya untuk melecehkan atau membalas dendam pada seseorang secara online ketika itu tidak dapat dilakukan secara fisik.
“Bentuk paling awal dari menghina seseorang yang Anda kenal dimulai ketika, sebagai anak-anak, orang-orang menggambar kumis di foto yang digantung di kamar mandi umum, atau merobek mata dari foto dalam album kelulusan”, kata Bae.
Perbedaannya saat ini adalah bahwa dengan perpaduan Telegram, yang banyak digunakan oleh remaja dan generasi muda, dan kecerdasan buatan, hal itu telah menyebabkan kerusakan eksplosif di seluruh negeri. []