UT Heboh (Lagi) di Hong Kong
7 min readHONG KONG – Penyelenggaraan Universitas Terbuka (UT) di Hong Kong kembali mengalami kehebohan. Pada tahun 2012 silam, penyelenggaraan kuliah jarak jauh itu heboh akibat dikeluarkannya beberapa mahasiswa dari GITC (Global Indonesia Training Centre), Kelompok Belajar (Pokjar) yang ditunjuk UT. Akibatnya, terbentuklah kelompok mahasiswa UT Non Sipas mandiri. Tahun lalu, UT di Hong Kong juga heboh akibat 7 mahasiswanya tidak bisa mengikuti ujian.
Tahun ini, UT heboh lagi di Negeri Beton. Kali ini, diawali oleh 47 PMI mahasiswa Non Sipas (Sistem Paket Semester) yang ditolak registrasi secara online dan mandiri. Berdasarkan Surat Edaran UT tertanggal 6 Juni 2016, mereka diharuskan bergabung dalam Pokjar yang kini bernama Campus Migrant Indonesian Community (CMIC) untuk registrasi. Karena hingga batas akhir pembayaran, 3 Agustus 2016, mereka keukeuh menolak bergabung dalam Pokjar, maka registrasi online mereka ditolak UT. Akibatnya, perkuliahan mereka pada semester 2016.2 ini berstatus pending.
Tidak terima, 47 mahasiswa UT Non Sipas mandiri ini mencoba meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan membantu mereka. Hal itu mereka lakukan lewat surat terbuka yang dipublikasikan di media sosial, sejak 4 Agustus 2016. Surat itu diatasnamakan 47 mahasiswa UT Non Sipas mandiri lama dan 9 calon mahasiswa. Heboh UT di Hong Kong edisi ketiga pun dimulai.
Di surat itu mereka mengeluh tentang “paksaan” masuk Pokjar. “Akan tetapi pada tanggal 6 Juni 2016 UPBJJ-UT LLN (Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka, Layanan Luar Negeri) mengeluarkan surat edaran bahwa kami diharuskan masuk kelompok belajar (Pokjar) Hong Kong yang dikelola oleh lembaga Campus Migrant Indonesian Community (CMIC), yakni sebuah lembaga swasta yang disupervisi oleh KJRI Hong Kong, jika kami ingin meneruskan kuliah,” kata mereka.
Ada 3 poin yang mereka persoalkan terkait “paksaan” tersebut. Pertama, mereka menilai mestinya UT dikelola oleh kantor perwakilan RI di luar negeri sebagai wadah dan koordinator UT, bukan oleh lembaga swasta. Kedua, mereka memahami bahwa sistem pendidikan di UT menggunakan metode online, dengan pelaksanaan ujian berkoordinasi dengan kantor perwakilan RI bagi mahasiswa di luar negeri. Yang mereka tidak terima, mengapa mereka justru diharuskan masuk Pokjar. Ketiga, soal penarikan “biaya tambahan” sebesar HK$500 per semester per mahasiswa oleh Pokjar. Mereka menolak dengan alasan alokasi dana tersebut tidak transparan dan tidak tercantum dalam katalog UT.
Mereka “terpaksa” menulis surat terbuka untuk Presiden karena upaya komunikasi resmi ke UT mengalami jalan buntu. Mereka juga mengklaim telah berkomunikasi dengan KJRI Hong Kong.
“Kami mohon kepada Bapak Presiden untuk membantu kami, TKI Hong Kong, yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Mohon kebijakan serta kebijaksanaan Bapak untuk kami selaku TKI sekaligus mahasiswa UT,” tulis mereka. [razak]
Heboh UT Hong Kong: “Kalau Lembaganya Bukan CMIC, Kami Welcome”
HONG KONG – Judy, salah satu mahasiswa Universitas Terbuka (UT) Non Sipas (Sistem Paket Semester) mandiri, mengaku meragukan kredibilitas CMIC (Campus Migrant Indonesian Community), kelompok belajar (Pokjar) yang ditunjuk UT. Persoalan kredibilitas itulah yang menjadi alasan utama Judy dan 46 orang temannya enggan bergabung dalam Pokjar yang dikelola oleh Emy itu.
Judy menjelaskan, UT Non Sipas mandiri sudah ada sejak 2012. Eksistensinya berawal dari kasus dikeluarkannya 5 mahasiswa UT dari Pokjar tersebut yang sebelumnya bernama GITC (Global Indonesia Training Centre) karena memprotes pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan Emy dan tim pengelola.
“Saat itu, terjadi pelanggaran kode etik berupa beredarnya soal-soal ujian. Saat mereka, dikeluarkan dari lembaga,” kata Judy kepada Apakabar Plus, Selasa (9/8).
Ia mempertanyakan, mengapa setelah beberapa semester berlalu sejak 2012 mahasiswa UT Non Sipas mandiri “dipaksa” masuk lagi ke lembaga itu. Apalagi, selama ini mereka merasa baik-baik saja mengikuti seluruh proses kuliah secara mandiri. Beberapa diantara mereka bahkan sudah ada yang lulus.
“Padahal, kami semua tahu kredibilitas lembaga itu,” ujarnya.
Keengganan 47 mahasiswa UT mandiri itu bergabung dalam Pokjar yang ditunjuk UT, kata Judy, juga dipicu karena testimoni “alumni” Pokjar yang mengaku sering diintimidasi dan banyaknya pungutan liar di Pokjar. “Maka kami merasa tak nyaman jika harus masuk ke lembaga dengan kredibilitas seperti itu,” ujarnya.
“Kalau lembaganya bukan yang itu (CMIC), kami welcome saja,” tegas Judy.
Emy Bantah Tuduhan
Emy, pengelola Pokjar CMIC yang namanya disebut Judy, membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan, lembaga yang dikelolanya tidak pernah membocorkan soal ujian UT.
“Tuduhan mereka tentang soal bocor jelas-jelas tidak terbukti karena soal itu berada di KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong).Bagaimana kami bisa bocorkan?” ujarnya.
Ia juga membantah tuduhan intimidasi. “Intimidasi bagaimana? Ujian, mereka ikut. Tatap muka, mereka ikut. Soal tingkat kepuasan, tergantung mereka. Yang jelas saya dan tim saya berusaha maksimal memberikan pelayanan. Tidak ada yang kami beda-bedakan,” kata Emy.
Saat ini tergabung 272 mahasiswa UT Sipas dan Non Sipas di Pokjar CMIC. Untuk mahasiswa Non Sipas, dikenakan biaya HK$500 per semester.
“Biaya HK$500 dan tata tertib untuk mahasiswa Non Sipas bukan buat mereka (mahasiswa Non Sipas mandiri), tapi untuk mahasiswa Non Sipas yang tergabung dalam Pokjar,” ujar Emy.
Ia menjelaskan, biaya HK$500 yang dikenakan kepada mahasiswa UT Non Sipas yang bergabung dalam Pokjar untuk pengiriman modul, biaya ujian, orientasi (OSMB), sosialisasi, promosi, dan lainnya. Sedangkan tata tertib yang sempat menjadi persoalan di kalangan mahasiswa UT Non Sipas mandiri, tegas Emy, sudah dibuat sejak 2015. [razak]
Konsul Helena V. Tuanakotta: Kami Fasilitasi Mediasi Mahasiswa-UT
HONG KONG – Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong mengaku tidak tinggal diam atas persoalan yang terjadi antara pihak UT dengan 47 mahasiswa Non Sipasnya. Termasuk mediasi yang terjadi pada 7 Agustus 2016, merupakan saah satu upaya KJRI.
Berikut keterangan Helena V. Tuanakotta, Konsul Penerangan dan Sosial Budaya KJRI terkait kisruh UT di Hong Kong.
“Sebenarnya, sebelum ada surat terbuka unutk Presiden, saya sudah rencanakan pertemuan dengan mereka. Agar, kita bisa berkomunikasi dengan semua mahasiswa Non Sipas, tidak hanya pengurusnya saja. KJRI juga mengupayakan agar pihak UT juga datang, karena permasalahan mereka adalah masalah teknis antara mahasiswa dengan UT. Inisiasi pertemuan sudah sampaikan ke Siti (Siti Sundari), koordinator mahasiswa UT Non Sipas Mandiri, (pertemuannya) tanggal 7 Agustus. Mereka mintanya lebih awal, 31 Juli. Sayanya tak bisa. Tanggal 3 Agustus, batas akhir pembayaran registrasi, maka mereka ngotot sebelum itu sudah ada pertemuan.
Setelah saya cek, Ketua UPBJJ-LN diundang OSMB (Orientasi Studi Mahasiswa Baru) di Pokjar Hong Kong, CMIM, tanggal 7 Agustus. Maka saya minta, tanggal 7 itu juga dilakukan pertemuan, agar mereka mendapatkan penjelasan langsung. Kebetulan, pak Gorky (Maximus Gorky Sembiring) sebagai Ketua UPBJJ-LN tidak bisa datang karena kuota tugas ke luar negerinya sudah habis. Maka kami membuat surat ke UT, memohon agar pak Gorky bisa hadir. Itu salah satu yang dilakukan KJRI, memfasilitasi agar pertemuan bisa dilakukan. Syukur, pak Gorky diberikan izin oleh UT.
Akhirnya, terjadilah pertemuan mediasi tersebut, tanggal 7 Agustus lalu.
(Mediasi) berjalan positif. Berakhir dengan adanya jalan keluar. Ada 3 opsi sebagai solusi. Pertama, buka Pokjar baru. Kedua, pindah UPBJJ. Mereka pending, menungu hingga kembali ke Indonesia dan pindah UPBJJ ke dalam negeri. Ketiga, mengikuti Pokjar yang ada, dengan opsi biayanya dinego atau biayanya diminta bantuan dari UT. Di kesempatan itu, UT menjelaskan tentang ketentuan Pokjar berdasarkan aturan yang dikeluarkan UT sejak Oktober 2015. Bahwa mahasiswa UT yang ada di luar negeri harus mendaftar lewat Pokjar. Itu sudah by system. Toleransinya setahun, hingga semester kemarin (2016.1).
Yang saya dengar kemarin, UT di luar negeri bisa dengan 2 cara. Lewat KBRI atau KJRI yang mempunyai atase pendidikan dan sekolah Indonesia. Itu bisa menjadi Pokjar. Hong Kong tidak punya itu. Cara kedua, Pokjar yang ditunjuk oleh UT di organisasi masyarakat, atau organisasi dan komunbitas yang terdaftar dan ditunjuk UT.
Ada yang meminta agar kami, KJRI, selalu tebuka untuk mereka berkonsultasi. Hal itu saya clear-kan. Saya kan komunikasi terus dengan ketuanya, Siti. Saya kapan saja bisa dihubungi. Jalur komiunikasi selalu kami buka seluas-luasnya.” [razak]
Paska Mediasi: “Bola” di Tangan Mahasiswa UT Non Sipas Mandiri
HONG KONG | INDONESIA – Mediasi sudah dilakukan, Minggu (7/8), di ruang Ramayana Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong. Mediasi menghadirkan Kepala Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka Layanan Luar Negeri (UPBJJ-UT LLN) Maximus Gorky Sembiring, Konsul Penerangan dan Sosial Budaya Helena V. Tuanakotta, Konsul Muda Pangky Saputra, dan puluhan mahasiswa Non Sipas mandiri. Bahkan, Konsul Jenderal Chalief Akbar pun sempat hadir memberikan dukungan kepada mahaiswa.
Paska mediasi, “bola” diserahkan kepada para mahasiswa untuk memilih salah satu dari 3 opsi yang mengemuka dan disepakati saat mediasi. “Terserah teman-teman mahasiswa. Initnya, mereka akan berembuk. Hasil rembukannya apa, dikasih tahu ke saya, nanti saya kerjakan,” kata Gorky saat dihubungi Apakabar Plus via telepon Rabu (10/8).
Gorky menegaskan, semua opsi yang memungkinkan sudah dia sampaikan di hadapan para mahasiswa. Termasuk, prosedur pembentukan Pokjar baru. “Sudah saya sampaikan ke teman-teman kemarin. Tinggal, konfirmasi saja ke mereka. Saya posisikan diri di pihak mahasiswa sepanjang wewenang ada di UPBJJ-LN,” ujarnya.
Tidak Puas
Dikonfirmasi paska mediasi, Judy mengaku tidak puas. Ia menegaskan, apapun opsi yang dipilih puluhan mahasiswa UT Non Sipas mandiri tetap dirugikan.
“Saya tidak puas, karena ujung-ujungnya kami tetap tak bisa kuliah di semester ini,” ujarnya.
Awalnya, kata Judy, dia dan teman-temannya berharap mediasi 7 Agustus menumbuhkan asa mereka untuk tetap bisa terregistrasi di semester 2016.2 yang saat ini berjalan. “Kami kan sudah menjadi mahasiswa UT sejak lama. Kenapa dibuang dan dipending begitu saja? Di mana tanggung jawab UT terhadap mahasiswa yang sudah berjalan ini?” keluhnya.
Judy menyampaikan 3 opsi yang mengemuka saat mediasi, sedikit berbeda dari yang disampaikan Konsul Helena. “Pertama, kami tidak akan pernah masuk lembaga CMIC pimpinan Emy. Kedua, kami akan coba bentuk Pokjar baru. Ketiga, pahit-pahitnya kami tidak bisa bentuk Pokjar sendiri, kami akan pindah UPPJJ di dalam negeri. Kapan kami pulang, kami teruskan. Ini pilihan paling pahit. Kemarin saya sudah bilang ke pak Pangky, bu Helena, dan pak Gorky, kami akan berusaha membentuk Pokjar baru. Kami minta mereka jamin supervisi seperti yang diberikan ke Pokjar (yang dikelola) Emy. Bu Helena dan pak Pangky berjanji akan supervisi, begitu juga pak Gorky, setelah Pokjar kami di-acc (dikabulkan) UT,” ujarnya.
“Pak Gorky janji, bahkan berani jamin cap jempol darah: jika ingin pindah UPPJJ dalam negeri, akan langsung difasilitasi,” ujar Judy.
Setelah mengadakan rapat internal, para mahasiswa Non Sipas mandiri memastikan bahwa mereka tidak akan bergabung Pokjar CMIC. Selanjutnya, mereka akan berusaha membentuk Pokjar baru.
“Semester ini kami sudah pasti pending. Semester depan kami targetkan sudah bisa registrasi lewat Pokjar baru,” ujarnya. [razak]