Waspada, Begini Ciri Ciri Riya yang Terselubung
JAKARTA – Kata riya berasal dari bahasa Arab Arriyaa’u yang berarti memperlihatkan atau pamer, yaitu memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, baik barang maupun perbuatan baik yang dilakukan, dengan maksud agar orang lain dapat melihatnya dan akhirnya memujinya.
Riya adalah melakukan amal bukan karena mengharap ridha Allah, tetapi mencari pujian dan memasyhurkan di mata manusia. Riya merupakan bentuk syirik kecil yang dapat merusak dan membuat ibadah serta kebaikan yang dilakukan tidak bernilai di hadapan Allah.
Sikap ini muncul karena orang tak paham tujuan ibadah dan amal yang dilakukan. Dalam Islam, setiap ibadah, amal, dan aktivitas lainnya harus dilakukan demi mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Riya muncul akibat kurang iman kepada Allah dan hari akhirat serta ketidakjujuran menjalankan agama. Ia beribadah karena ingin dipandang sebagai orang taat dan saleh. Sikap riya sangat merugikan karena kebaikan dan ketaatan yang dilakukan tidak bernilai di sisi Allah SWT.
Dikutip dari merdeka.com, menurut istilah, Imam Al-Ghazali mendefinisikan Riya sebagai amal yang dilakukan untuk disaksikan orang lain agar mendapatkan kedudukan dan popularitas. Aktivitas riya seperti ini, dapat dilakukan dengan amal ibadah maupun non-ibadah.
Bahasa sederhana dari definisi riya, jika ada orang yang melihat kemudian dia merasa senang, maka hal tersebut sangat mendorong semangatnya untuk melakukan hal baik, namun jika tidak ada yang melihatnya, maka merasa berat untuk melakukannya.
Dikutip dari republika.co.id, menurut Habib, seseorang yang tertambat riya biasanya adalah mereka yang mengupayakan kebaikan, menahan syahwatnya dari perbuatan-perbuatan buruk, bertutur baik, beribadah dengan rajin, berupaya melakukan 1001 kebaikan, namun dia tidak menyadari tumbuhnya suatu kebanggan ‘halus akan upayanya dalam hal-hal tersebut. “Jika suatu amalan terkotori riya dari asal niatnya maka batallah amalan tersebut,” katanya.
Namun, bila asal amalannya karena Allah SWT, kemudian perasaaan riya muncul di tengah-tengah amalannya, apabila dia berusaha menolaknya, maka hal itu tidak membahayakan. Tetapi bila dia malah senang dengan riya, maka ulama berselisih akan hukumnya.
Imam Ahmad dan Ibnu Jarir ath-Thabari menguatkan pendapat bahwa amalannya tidak terhapus, dia akan dibalas sesuai dengan niatnya yang pertama tadi. Pendapat ini diriwayatkan dari Hasan al-Basri dan selainnya.
Bila seorang beramal ikhlas karena Allah, kemudian Allah memberikan rasa cinta dan pujian hingga manusia memujinya dan diapun senang akan karunia dan rahmat-Nya kemudian bergembira, maka hal tersebut tidak membahayakan dan sah-sah saja.
Dasarnya adalah hadis Abu Dzar r.a bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang seorang yang beramal karena Allah kemudian manusia memujinya. Rasulullah menjawab: “Itu adalah berita gembira seorang mukmin yang didahulukan.” (HR Muslim 2642, Jami’ul Ulum wal Hikam: 1/79-84).
Tentang bahaya riya pernah ditegaskan Rasulullah pada hadis Dari Muadz bin Jabal r.a Nabi bersabda:
“Tidaklah seorang hamba di dunia ini mengerjakan sumah dan riya melainkan Allah akan membeberkan aib riya dan sumahnya di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.” (HR al-Hakim 4/127, ath-Thabarani 2803).
Sebagai terapi, agar tidak berada pada kubangan riya maka ingatlah firman Allah dalam QS. al-Kahfi 110:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Beribadah dengan cara ini, hanya mampu dilakukan oleh orang-orang jujur dalam keimanannya. Dia adalah bukti keimanan dan kecintaan mereka yang sangat dalam kepada Allah. Dan Nabi SAW pun berpesan:
“Manusia yang paling utama kedudukannya di sisi Allah dan paling dekat hubungannya dengan Allah adalah orang yang berbuat baik yang menutupi kebaikannya.”
Dilansir dari Obsessionnews.com, setan tidak berhenti berusaha menjadikan amalan anak Adam tidak bernilai di sisi Allah SWT. Di antara cara jitu setan adalah menjerumuskan anak Adam dalam berbagai model riya’. Sehingga sebagian orang “kreatif” dalam melakukan riya, yaitu riya yang sangat halus dan terselubung. Di antara contoh kreatif riya tersebut adalah:
Pertama: Seseorang menceritakan keburukan orang lain, seperti pelitnya orang lain, atau malas salat malamnya, tidak rajin menuntut ilmu, dengan maksud agar para pendengar paham bahwa ia tidaklah demikian. Ia adalah seorang yang dermawan, rajin salat malam, dan rajin menuntut ilmu. Secara tersirat ia ingin para pendengar mengetahui akan amal ibadahnya.
Model yang pertama ini adalah model riya terselubung yang terburuk, di mana ia telah terjerumus dalam dua dosa, yaitu menggibahi saudaranya dan riya, dan keduanya merupakan dosa besar. Selain itu, ia telah menjadikan saudaranya yang ia gibahi menjadi korban demi memamerkan amalan salehnya.
Kedua: Seseorang menceritakan nikmat dan karunia yang banyak yang telah Allah berikan kepadanya, akan tetapi dengan maksud agar para pendengar paham bahwa ia adalah seorang yang saleh, karenanya ia berhak untuk dimuliakan oleh Allah dengan memberikan banyak karunia kepadanya.
Ketiga: Memuji gurunya dengan pujian setinggi langit agar ia juga terkena imbas pujian tersebut, karena ia adalah murid sang guru yang ia puji setinggi langit tersebut. Pada hakikatnya, ia sedang berusaha untuk memuji dirinya sendiri, bahkan terkadang ia memuji secara langsung tanpa ia sadari. Seperti ia mengatakan, “Syaikh Fulan / Ustadz Fulan…luar biasa ilmunya…, sangat tinggi ilmunya mengalahkan syaikh-syaikh/ustad-ustad yang lain. Alhamdulillah saya telah menimba ilmunya tersebut selama sekian tahun…”
Keempat : Merendahkan diri tapi dalam rangka untuk riya agar dipuji bahwa ia adalah seorang yang low profile. Inilah yang disebut dengan “Merendahkan diri demi meninggikan mutu”
Kelima: Menyatakan kegembiraan akan keberhasilan dakwah, seperti banyaknya orang yang menghadiri pengajian, atau banyaknya orang yang mendapatkan hidayah dan sadar, akan tetapi, dengan niat untuk menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut karena kepintaran dia dalam berdakwah.
Keenam: Ia menyebutkan bahwa orang-orang yang menyelisihinya mendapatkan musibah. Ia ingin menjelaskan bahwasanya, ia adalah seorang wali Allah yang barang siapa yang mengganggunya akan disiksa atau diazab oleh Allah SWT.
Ini adalah bentuk tazkiyah (merekomendasi) diri sendiri yang terselubung.
Ketujuh: Ia menunjukkan dan memamerkan kedekatannya terhadap para dai/ustaz, seakan-akan bahwa dengan dekatnya dia dengan para ustaz menunjukkan, ia adalah orang yang saleh dan disenangi para ustaz. Padahal kemuliaan di sisi Allah bukan diukur dari dekatnya seseorang terhadap ustaz atau syaikh, akan tetapi dari ketakwaan. Ternyata, kedekatan terhadap ustaz juga bisa menjadi ajang pamer dan persaingan.
Kedelapan: Seseorang yang berpoligami lalu ia memamerkan poligaminya tersebut. Jika ia berkenalan dengan orang lain, serta merta ia sebutkan bahwa istrinya ada 2 atau 3 atau 4. Ia berdalih ingin menyiarkan sunnah, akan tetapi ternyata dalam hatinya ingin pamer. Poligami merupakan ibadah, maka memamerkan ibadah juga termasuk dalam riya.
Semoga kita terhindar dari niat-niat, yang tidak baik atau yang tidak kita inginkan yang dapat merusak amalan kita kepada Allah SWT. Semoga, apa yang kita lakukan atau kerjakan amalan kebaikan hanya semata-mata karena Allah SWT. Dan terus berdoa agar kita di jauhkan dari sifat riya agar niat kita tetap lurus hanya semata karena Allah dan hati kita tetap dilindungi oleh Allah SWT. []