Waspada, Jumlah BMI Terjangkit HIV Terus Meningkat
3 min readKUPANG – Merujuk pada tabulasi data Dinas Kesehatan Provinsi NTT, sampai bulan Agustus tahun ini, tercatat sebanyak 5.000 warga NTT terjangkit virus HIV/Aids. Jumlah ini meningkat tajam jika dibanding dengan tahun 2016 yang jumlahnya hanya 3.700 orang.
Menanggapi hal ini, sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nusa Tenggara Timur (NTT), dr Husein Pancratius menyatakan fakta ini sangat mencemaskan. Pihaknya akan terus bekerja keras melakukan penanggulangan dengan mendekati kelompok paling rentan. Disamping itu, Husein menambahkan bahwa dia meyakini masih banyaknya jumlah pengidap HIV/AIDS di NTT yang belum terdata melebihi jumlah yang terdata, menjadi fenomena gunung es yang terus mencemaskan.
Di Provinsi ini, yang oleh KPA yakini menjadi kelompok paling rentan adalah kelompok buruh migran. Keyakinan ini didasarkan pada fakta, dari seluruh penderita HIV/Aids didominasi oleh kelompok yang berlatar buruh migran.
Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara, disamping ada peningkatan jumlah penderita yang signifikan pada semester pertama tahun ini, temuan dominasi komunitas buruh migran juga menjadi hal yang mencemaskan.
Sebagaimana dilansir dari harian Kupang Post, Sekretaris KPA Kabupaten TTU, dr. Rienarmy Satriany Usfinit, MPH menyatakan sampai dengan bulan Agustus 2017, pihaknya telah mencatat sebanyak 340 orang warga TTU terinfeksi HIV/Aids. Jumlah ini meningkat tajam jika dibanding pada tahun 2016 yang tercatat sebanyak 256 oraang penderita.
Dari riwayat penderita HIV/AIDS yang pernah ditangani KPAD TTU selama ini menunjukan sebagian besar penderita HIV/AIDS adalah orang yang pernah menjadi BMI di luar negeri. Para BMI purna yang kembali ke TTU tidak dilakukan pemeriksaan awal sehingga sulit mendeteksi HIV/AIDS.
“Begitu ketahuan, kondisinya sudah pada stadium Aids. Jika sudah dalam stadium Aids, komplikasi itu sudah menyerang pasien. Kekebalan tubuh turun secara drastis, dan segala penyakit bisa masuk. Terutama TBC, diare, malaria, jamur kulit, demam tinggi, dan lain-lain” terang Usfinit.
Usfinit menambahkan, penyebaran HIV saat masih bekerja di luar negeri itu sangat sulit dikontrol. Hal ini diperparah dengan kesadaran yang masih rendah untuk melakukan tes HIV bagi yang merasa telah melakukan sebab-sebab seseorang bisa tertular HIV.
“Serba salah juga, kita nggak bisa maksa orang untuk tes. Semua kembali ke kesadaran masing-masing” imbuhnya.
Mengimbangi informasi KPA NTT dan TTU, Maria Remigia, salah seorang aktifis NGO Pemerhati Buruh M igran di provinsi NTT menambahkan, bahwa temuan KPA baik di tingkat provinsi NTT maupun KPA Kabupaten TTU menurutnya masih rendah angkanya dari angka sebenarnya.
Maria menemukan fakta, banyak warga NTT yang menjalani tes HIV bukan di wilayah NTT. Dan meskipun hasil tes yang dilakukan diluar NTT tersebut menyatakan hasilnya positif terinfeksi HIV, mereka tetap tidak terhitung dalam data KPA NTT lantaran mereka cenderung menutup diri.
“Mereka ini kebanyakan calon buruh migran yang akan berangkat ke luar negeri, atau mantan buruh migran yang bermasalah di luar negeri” tutur Maria.
Calon BMI NTT, selama ini menjalani tes kesehatan di pulau Jawa lantaran proses penyiapan dan penempatan mereka dilakukan oleh PPTKIS yang induknya di Pulau Jawa.
“Banyak kok yang gagal ke luar negeri karena ketahuan kena HIV” lanjutnya.
Menyiasati fakta yang demikian, Maria melihat, penyelesaian HIV di provinsinya harus dilakukan lintas daerah dan lintas provinsi.
“Malahan sehaarusnya juga lin tas kementrian” sambungnya.
Pasalnya, Maria melihat, calon BMI maupun BMI yang terinfeksi HIV, datanya cenderung hanya dicatat oleh kementrian tenaga kerja tanpa pernah sharing data dengan kementrian kesehatan dan kementrian sosial.
“selama belum terwujud dengan ideal pola kerja kolegial sektoral, saya kok pesimis, masalah HIV terutama pada BMI akan bisa diselesaikan” pungkasnya. [Asa/ Teni]