Yatim Sejak Kandungan dan Ditinggal Ibu Jadi PMI Sejak Bayi, Yoga Sukses Mengharumkan Bangsa
Masa 20 tahun bukan waktu yang pendek bagi Yoga P Lordason. Semasa itulah ia dibesarkan amat jauh dari belaian hangat ibu kandungnya. Sang ibu justru merawat, menimang, dan membesarkan anak-anak sang majikan. Yoga kecil pun hanya bisa berjumpa singkat dengan ibunya lima tahun sekali. Yaitu ketika ibunya dapat libur dan boleh mudik dari Singapura ke kampung halamannya di sebuah desa kecil di Tulungagung, Jawa Timur.
Di Negeri Singa itu, ibu Yoga, Sri Kunahari, bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Kisah perantauan Sri Kunahari pun juga penuh warna ketika merintis jalan dari Tulungagung. Setelah terpisahkan jarak dan waktu selama 20 tahun, Yoga pertengahan hingga akhir tahun lalu bisa berkumpul dengan ibu kandungnya di Singapura. Kesempatan datang ketika Yoga mendapatkan bea siswa kuliah satu semester di National University of Singapore.
Yoga saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris Universitas Indonesia (UI). Cerita sukses anak alumni SMA Ngunut, Tulungagung ini benar-benar mengagumkan.
“Ibu saya mulai kerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Singapura sejak saya berusia dua tahun (1997), sampai sekarang,” tulis Yoga lewat surat elektronik
“Ibu ditinggal suaminya ketika usia pernikahan mereka memasuki tiga bulan (sampai sekarang tidak pernah ketemu),” lanjutnya menyinggung sang ayah.
“Akhirnya sejak saya di dalam kandungan, ibu harus berjuang sendiri menghidupi saya. Setelah saya lahir dan berusia 30 hari, ibu mulai kerja di sebuah pabrik di Ngunut, Tulungagung, sementara saya dititipkan ke pakde dan budhe,” sambung Yoga.
“Saat itu pakdhe bekerja sebagai staf TU di SMA Negeri 1 Ngunut, sementara budhe bekerja di pabrik rokok Reco Pentung. Seringkali saya dibawa pakdhe ke tempat kerja karena di rumah tidak ada orang. Tapi di lain waktu saya dititipkan ke tetangga-tetangga,” ujar penyuka traveling dan sastra ini.
Setelah Yoga berusia dua tahun, pabrik tempat ibunya kerja, namanya Shanghai Gangsar, berangsur-angsur mulai sepi dan akhirnya bangkrut. Ibunya memutuskan berhenti memberikan ASI dan mendaftarkan diri untuk bekerja di Singapura. Tiga bulan di penampungan, akhirnya Sri Kunahari berangkat.
Tahun-tahun pertama kerja, menurut Yoga, ibunya mendapatkan banyak perlakuan tidak adil. Antara lain diberi makan satu kali sehari, disuruh kerja dari subuh hingga tengah malam, dipotong gajinya secara semena-mena, dan tidak diberikan hari libur untuk istirahat.
“Waktu saya kecil sampai SMP, ibu hanya pulang satu kali dalam lima tahun. Tapi sekarang, dengan majikan barunya yang lebih baik ini, alhamdulillah ibu diberi kelonggaran untuk pulang sekali dalam dua tahun,” bebernya.
“Di awal-awal kerja di rantau, komunikasi sangat terbatas. Jika ada kesempatan, Sri Kunahari menelepon Yoga lewat telepon rumah tetangga. Kadang juga berkirim surat,” aku Yoga.
Ketika saya masuk SMP, hape sudah marak, jadi komunikasi saya dengan ibu lebih intens. Walaupun terpisah jarak, kami selalu berkomunikasi dengan berbagai aplikasi, misalnya Skype dan Facebook,” lanjutnya. Keadaan seperti itu justru melecut Yoga agar bisa sukses meraih ilmu tinggi. Memasuki SMA, ibunya terus memotivasi dari jauh agar Yoga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Akhirnya saya memasang target untuk bisa masuk UI. Sampai waktu itu belum ada alumni sekolah saya (SMAN 1 Ngunut) yang pernah diterima di UI, jadi mimpi untuk masuk UI itu sepertinya terkesan mengada-ada sekali,” kenangnya.
“Persiapan sudah saya lakukan sejak kelas 10. Saya mulai ikut lomba ini itu agar mendapatkan piagam kejuaraan yang bisa dipakai untuk daftar SNMPTN Undangan,” ujar Yoga.
Di penghujung studi SMA, Yoga sudah mengantongi banyak penghargaan dan prestasi di bidang bahasa Inggris. Antara lain juara 1 tingkat kabupaten, juara 2 tingkat eks-Karesidenan Kediri, juara 1 tingkat eks-Karesidenan Kediri, dan finalis olimpiade nasional. Mei 2013, Yoga menerima informasi pengumuman penerimaan perguruan tinggi, dan benar-benar diterima di Program Studi Sastra Inggris UI.
Semangat belajarnya terus membara. “Alhamdulillah, di semester-semester awal saya dapat beasiswa PPA dan bea siswa dari Lotte Foundation,” akunya.
Di semester 3, Yoga diterima untuk pertukaran pelajar di Sciences Po, Perancis, tapi sayang ia tidak bisa berangkat karena program ini tidak menanggung biaya hidup. Di semester 4 setelah melalui berbagai tahap seleksi Yoga akhirnya mewakili UI dengan satu mahasiswa lain untuk program UnS–Indonesia Partnership Program di 5 negara bagian AS selama satu bulan.
Semua biaya ditanggung program. Di semester 5 masa studinya di UI, ketekunan Yoga kembali membuahkan hasil. Ia mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ASEAN University Network untuk studi selama satu semester di National University of Singapore.
“Melalui kesempatan ini pula akhirnya saya bisa berkumpul kembali dengan ibu setelah belasan tahun berpisah, walaupun hanya untuk lima bulan di Singapura, tempat ibu saya bekerja,” katanya.
Menurut Yoga, ibunya sejak pertama merantau ke luar negeri, hanya bekerja di Singapura saja, tidak pernah di negara lain. Dari tahun 1997 sampai sekarang. Tentang suka duka hidup dibesarkan saudara sejak usia 2 tahun, kata Yoga banyak. “Dukanya banyak, tapi sukanya juga banyak,” sambungnya.
“Ibu pernah cerita dulu tiap malam menangis karena tidak bisa mengurus anaknya sendiri sementara beliau tiap hari menimang-nimang anak majikan dan merawatnya. Tapi berkat kerja keras ibu, keluarga besar saya juga terbantu,” ungkap Yoga.
Tahu tak mampu mengasuh anak kandungnya sejak batita, dan menitipkan ke kakaknya, ibu Yoga selalu menyisihkan hasil kerja kerasnya untuk membantu pendidikan keponakan-keponakannya. Yoga berharap pengalaman hidupnya ini bisa membantu banyak anak-anak dan para pemuda untuk tidak kenal lelah mengukir prestasi.
Keterbatasan tidak akan menghalangi seseorang meraih pendidikan tinggi, yang bahkan belum seorangpun di sekolahnya yang mampu menembus ke kamus bergengsi seperti di UI.
“Kalau memang berguna, silakan saja mas disebarluaskan,” kata Yoga via Messenger ketika pertama kali Tribun mengutarakan niat mempublikasikan kisah hidupnya.
Tentang nama Lordason yang terkesan asing atau mirip-mirip nama orang Swedia, Yoga menyebut itu panggilan di lingkungannya sejak kecil.
“Lordason itu artinya lelaki anak Tuhan. Nama asli saya Yoga Prasetyo….hahahahahaha,” kata Yoga menutup percakapan.[Tribunjogja.com/ Setya Krisna Sumarga]