April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

6 Tahap Ini Sering Di Salah Gunakan Saat Berproses Menjadi Pekerja Migran

2 min read

JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia melakukan kajian dengan mencermati proses pra penempatan pekerja migran Indonesia. Kajian dilakukan pada Juni sampai September 2017, dengan data dari wilayah pengirim dan juga wilayah transit pekerja migran yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.

Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, hasilnya ditemukan malaadministrasi pada proses pra penempatan pekerja buruh migran. Hasil kajian ini dipaparkan bertepatan dengan hari Migran Internasional yang diperingati setiap 18 Desember.

http://apakabaronline.com/jangan-ambil-resiko-dengan-data-palsu/

Malaadministrasi tersebut terdapat pada 6 tahap yaitu, perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan dan psikologis, perjanjian kerja, dan pembekalan akhir penempatan (PAP) buruh migran.

Bentuk malaadministrasi yang terjadi dari hasil temuan Ombudsman RI berupa penyimpangan prosedur, tidak kompeten, permintaan imbalan, tidak memberikan pelayanan, penyalahgunaan wewenang dan perilaku tidak patut terhadap migran.

Dalam hal penempatan ke luar negeri misalnya, lanjut Ninik, buruh migran tidak dibekali informasi yang tidak cukup mengenai bagaimana seseorang bekerja ke luar negeri.

Pekerja migran juga tidak dibekali tes kesehatan dan tes psikologis yang utuh.

“Padahal penting untuk siap lahir batin kerja jauh dari keluarga. Tantangannya enggak mudah, karena ada perbedaan budaya,” kata Ninik, dalam jumpa pers di kantor Ombudsman RI, Jalan Rasuna Said Kuningan, Jakarta, Selasa (19/12/2017).

Jenis pekerjaan, hak dan kewajiban migran, juga tidak jelas karena masih ditemukan buruh migran tidak membuat kontrak kerja.

 

Potensi Perdagangan Orang

Kondisi buruh migran yang berada di tempat penampungan dan pelatihan menurut dia menyulitkan pemerintah untuk memberikan perlindungan.

“Ombudsman pernah sidak tempat penampungan yang enggak lagi sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tentang pekerja migran. Dibuat seadanya bahkan terkesan seperti penjara. Mereka enggak punya akses ke luar, dibatasi,” ujar Ninik.

Akibat hal ini, lanjut Ninik, terdapat potensi tindak pidana perdagangan orang dalam pra penempatan pekerja migran.

AKU BUKAN DIRIKU : Pengakuan Korban Pemalsuan Data

“Hasil kajian di beberapa wilayah, korban banyak dari NTT, Jatim, ini wilayah proses rekruitmen yang tak terlindungi besar,” ujar Ninik.

Ninik menyatakan, penyebab malaadministrasi ini meliputi kurangnya pengawasan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, Pemerintah Daerah dan Disnaker.

Kemudian ketergantungan calon pekerja hanya kepada Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), dan tidak ada ruang intervensi dari pemerintah.

Dia mengakui pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah hal tersebut seperti mencabut izin PPTKIS, membuat sistem online untuk pendataan TKI dan pengurusan Surat Izin Pengerahan (SIP), transaksi non tunai pengurusan sertifikasi kompetensi, perbaikan regulasi dan sebagainya.

Kemudian untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, ada kerja sama antar stakeholder misalnya membentuk satgas tindak pidana perdagangan orang dan satgas pekerja migran dan lainnya.

“Tetapi, segala upaya dimaksud, faktanya sampai dengan bulan Oktober 2017, ketika dikonfirmasi terkait temuan, intinya instansi terkait Kemenaker, BNP2TKI menyadari bahwa temuan tersebut masih terjadi,” ujar Ninik. [Asa/Kompas]

Advertisement
Advertisement