Bergelar Kampung Tanpa Ibu, Mayoritas Anak-Anak di Kampung PMI ini Tumbuh dan Berkembang Tanpa Sentuhan Ibu
MATARAM – Sulitnya sumber perekonomian di kampung halaman dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan terlihat jelas dari semakin banyaknya warga yang memilih bekerja ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak sesuai dengan target dan kebutuhan setiap pekerja.
Lambat laun, kondisi tersebut membuat penduduk berusia produktif, terutama ibu-ibu dan generasi muda, sulit ditemukan di kawasan-kawasan tertentu lantaran mereka merantau ke luar negeri menjadi PMI dengan agenda cuti setiap beberapa tahun sekali.
Fenomena demikian lazim terjadi di kantong pekerja migran. Salah satunya yang terjadi di kawasan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.
Fenomena unik di kampung itu membuat gelar “Kampung Tanpa Ibu” disematkan lantaran mayoritas warga yang merantau keluar negeri menjadi PMI didominasi kaum perempuan dan ibu yang di rumah masing-masing mereka meninggalkan anak-anak dan suami.
Kenyataan tersebut menjadi sorotan Internasional, setelah sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh BBC selesai diproduksi dan ditayangkan diajang film dokumenter di benua Eropa.
Bahkan, BBC juga menurunkan artikel mendalam tentang suasana kampung tanpa ibu tersebut dalam sebuah judul The children growing up in a ‘motherless village’, beberapa waktu yang lalu.
Dalam artikel tersebut, Ely Susiawati yang tinggal di Wanasaba, Lombok Timur, mengatakan dia harus diasuh neneknya karena ditinggal ibunya saat usianya masih 11 tahun.
Ibu Ely merantau untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi demi menghidupi keluarga setelah bercerai dengan suaminya.
“Ketika saya melihat teman-teman dengan orangtua di sekolah, itu membuat saya sangat pahit. Aku ingin ibuku pulang, “kata Ely.
Lebih pilu dari Ely Susiawati, Karimatul Adibia mengatakan bahwa dia telah ditinggalkan ibunya sejak usia satu tahun.
Dia dijaga oleh Nurjanah, bibinya dan baru berkesempatan untuk bertemu dengan ibunya saat ia lulus sekolah dasar.
“Aku agak bingung. Saya masih ingat ibu itu menangis ketika dia bertanya kepada bibi Nurjanah mengapa saya tidak mengenalinya?” katanya.
Meski kini ia dan ibunya dapat berkomunikasi lewat video call, menurut Karimatul hal tersebut tetap sebuah hubungan yang sulit bagi seorang ibu dan anak.
“Bahkan jika dia pulang untuk liburan, aku lebih suka tinggal dengan bibi Nurjanah. Dia mengundang saya ke sana, tetapi saya mengatakan mungkin nanti,” katanya.
Menjadi hal yang biasa bagi para ibu muda untuk bekerja di luar negeri untuk memastikan anak-anak mereka dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.
Lebih dari dua pertiga pekerja migran Indonesia terdiri dari perempuan dan uang yang dikirim ke desa asal mereka untuk memberi anak-anak mereka kesempatan hidup yang lebih layak. []