April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bisa Menjadi “Silent Killer”, Tiga Kategori OTG (Orang Tanpa Gejala) COVID-19 yang Membahayakan Sekitar

3 min read

JAKARTA – Orang tanpa Gejala (OTG) COVID-19 sejatinya orang yang telah membawa virus COVID-19 namun tidak dengan secara langsung bisa diketahui lantaran yang bersangkutan tidak menunjukkan gejala apapun. Orang seperti ini diklaim bisa menularkan virus yang dia bawa terhadap kelompok-kelompok rentan berdaya tahan tubuh lemah.

Berbeda dengan orang yang memiliki gejala dan tanda, orang tanpa gejala sebenarnya bukan sama sekali tidak memiliki gejala atau zero gejala. Yang terjadi pada kasus demikian, gejala yang terjadi sangat minim dan samar.

Dokter Paru Rumah Sakit Persahabatan, Andika Chandra Putra, mengklasifikasi tiga kelompok orang tanpa gejala (OTG) virus corona alias COVID-19 yang perlu masyarakat ketahui, untuk bisa melakukan tindakan pencegahan.

“Jadi secara definisi, orang tanpa gejala ini kan orang tanpa gejala berdasarkan definisi Kemenkes (Kementerian Kesehatan) atau Gugus Tugas. (Mereka) itu berisiko terpapar dari orang-orang yang terkonfirmasi positif, atau orang-orang yang punya kontak erat dengan yang poisitif,” katanya.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah orang yang memiliki kontak fisik dalam jarak 1 meter selama sekitar 10-15 menit di dalam satu ruangan. Orang-orang yang pernah memiliki kontak erat dengan orang lain yang terkonfirmasi positif berisiko tertular, dengan sebagian menunjukkan gejala dan sebagian besar lainnya tidak menunjukkan gejala.

“Bahkan kasus COVID-19 itu secara global, bukan hanya di Indonesia saja, 80-81 persen sifatnya tanpa gejala atau keluhannya ringan,” katanya.

Terkait orang tanpa gejala, ia mengatakan ada kesalahpahaman masyarakat terkait definisi orang tanpa gejala tersebut. Menurut dia, masyarakat pada umumnya berpikir bahwa orang tanpa gejala adalah orang-orang yang sudah terkonfirmasi positif tetapi tidak menunjukkan gejala.

“Sebenarnya kalau kita secara harfiah, dilihat dari kata-kata saja memang orang tanpa gejala itu (seolah) terkonfirmasi positif,” katanya.

Namun, ia mengatakan bahwa orang tanpa gejala sebenarnya memiliki tiga klasifikasi. Klasifikasi pertama dari orang-orang tanpa gejala adalah orang tanpa gejala yang asimtomatik, yaitu orang yang tidak memiliki keluhan sama sekali. “Jadi dia positif COVID-19, tapi tidak ada gejala atau keluhan,” katanya.

Klasifikasi berikutnya adalah orang tanpa gejala yang presimtomatik, yaitu orang yang terinfeksi COVID-19 pada minggu-minggu pertama.

“Jadi perlu diketahui bahwa fase infeksi COVID-19 ini ada tiga fase (yaitu awal, pertengahan dan akhir). Nah, pada fase awal infeksi ini, sekitar 2-3 minggu, keluhan umumnya sangat ringan, atau keluhannya sifatnya lokal,” katanya.

“Misalkan kadang sakit tenggorokan saja, atau badan meriang-meriang saja, atau kadang batuk-batuk sedikit. Bahkan pada fase ini, bisa saja tanpa gejala,” kata dia lebih lanjut.

Fase presimtomatik disebut juga fase infeksius. Fase tersebut, menurut dia, sebenarnya adalah fase yang berbahaya bagi seseorang yang terinfeksi, karena dapat menginfeksi orang lain tanpa sadar.

Sementara itu, klasifikasi ketiga dari orang-orang tanpa gejala adalah orang tanpa gejala simtomatik sangat ringan. “(Simtomatik) sangat ringan itu dia mengeluh ada demam-demam, meriang, batuk-batuk, tetapi kita anggap seperti flu biasa. Dan masyarakat sering kali tidak aware dengan gejala tersebut,” katanya.

Padahal ketiga kelompok tersebut, kata Andika, sebenarnya berisiko untuk menular ke orang lain.

“Jadi yang kita maksud dengan terkonfirmasi positif itu kalau sudah diperiksa (dan ada hasilnya). Tapi kalau orang-orang ini tanpa gejala dan mereka enggak sadar, jadi enggak bisa kita konfirmasi. Tapi sebenarnya orang-orang ini sudah mengandung virus yang bisa menulari ke orang lain. Ini bahaya sebenarnya,” kata dia.

Oleh kerana itu, ia menekankan pentingnya penelusuran. “Jadi selama ini kan kita deteksi dininya hanya melalui gejala genesis atau melalui pengukuran suhu,” katanya.

Ke depan, ia menyarankan surveilans yang lebih ketat berdasarkan tes PCR agar masyarakat jadi lebih sadar. “Misalnya si A positif. Harusnya sekitar A ini anggota keluarganya harus di-tracing, harus diperiksa juga dengan PCR. Teman-temannya, kontak-kontaknya, harus diperiksa juga. Itu yang kita sebut dengan tracing aktif,” katanya. []

 

Advertisement
Advertisement