April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Melodramatisme Kemiskinan yang Menjadi Tontonan

5 min read

Hidup kita hari ini dikepung oleh drama. Lebih tepatnya, melodrama. Televisi dan media sosial adalah jendela yang pas untuk melihat semua itu.

Dalam sinetron berseri yang seakan tak berujung itu kita dihidangkan karakter-karakter yang bertugas mengaduk-aduk perasaan kita. Kita mendapatkan bukan lagi tokoh-tokoh yang wajar dan berkembang, tetapi mereka yang didudukkan dalam serangkaian stereotipe.

Jika ia seorang miskin, hidupnya harus benar-benar menderita, terhinakan, hingga akhirnya ia hidup bahagia di akhir cerita. Sebaliknya, jika orang kaya, ia harus kaya sekali–tanpa kita tahu dari mana asal kekayaannya. Ia harus jadi antagonis yang bengis–sebagaimana peran ibu tiri–tetapi kelak akan ditumbangkan oleh si miskin yang semula terhinakan.

Segalanya mesti hitam-putih. Tidak boleh abu-abu. Konfrontasi di antara mereka harus habis-habisan. Harus ada perang kelas sosial.

Cerita yang menggulung mereka boleh tidak masuk akal atau berlarut-larut, tetapi penghayatan peran mesti total–jika perlu laku lajak (overacting). Jika marah, gigi si tokoh mesti bergemeletuk dan bibirnya ditarik sedemikian rupa untuk mendukung jiwa yang marah itu. Ditambah: vokal yang keras atau tangis yang tak terperikan sedihnya.

Kini, apa yang melodramatik tidak melulu milik sinetron berseri, tetapi juga bagian dari acara “pentas realitas” (reality show). Tengoklah bagaimana acara ini memperlakukan orang miskin.

Tentu saja ada yang bagus dari acara ini. Misalnya, bagaimana tenaga karitatif yang menggebu-gebu tengah mendongkel dan mencoba menghapuskan kemiskinan di sekitar kita. Ia seakan-akan menjadi alternatif–atau hanya sekadar olesan balsam?–dari kegagalan negara atau pemerintah kota dalam mengentaskan kemiskinan.

Namun, realitas (baca: kemiskinan) di situ telah dipentaskan sedemikian rupa sehingga kadar kefaktaannya perlahan-lahan mengabur dan menguatlah kadar kefiksiannya. Kemiskinan tidak semata-mata soal orang yang berpenghasilan Rp10.000 per hari, tetapi juga soal perjuangannya meraih kehidupan yang lebih baik yang karenanya kelak ia mendapatkan anugerah karitatif tadi. Sebuah riwayat hidup yang punya struktur dramatik Aristotelian.

Dunia orang miskin, kehidupan kita hari ini–jika saya boleh mengutip lagu God Bless–benar-benar “panggung sandiwara”.

Demikianlah, pada suatu siang yang teramat terik seseorang bersetelan jas dan pantalon hitam, dengan topi fedora dan kacamata yang juga hitam, datang ke sebuah kampung. Dikawal dua orang, lelaki ganteng dan perempuan cantik, ia mencari sebuah keluarga yang layak diselamatkan dari rundungan kemiskinan.

Langkahnya gagah-pongah, tapi juga bisa menggelikan, seperti disalin secara kurang berhasil dari film-film mafia produksi Hollywood.

Ada yang aneh. Lelaki bertubuh sedang dan sedikit gemuk itu mengenakan jas di siang yang teramat terik, di tengah orang-orang kampung yang tidak akan pernah mengenakannya seumur hidup mereka, kecuali jika lelaki di antara mereka akan menghadap penghulu.

Juga, lelaki itu memakai misai dan janggut palsu. Selama ini, apa-apa yang palsu ini adalah bagian dari pementasan teater. Dengan ciri-ciri seperti ini ia seperti hendak menegaskan invasi teater ke dalam kehidupan keseharian kita. Karena itu, marilah kita bermain dengan penuh penghayatan.

Jika sudah mendapatkan sasarannya, tokoh yang kerap berlaku lajak ini–sebutlah ia si “Tuan Uang”–akan memberikan segepok uang asli dan menantang si orang miskin terpilih untuk membelanjakan uang itu hanya dalam tempo setengah jam.

Maka drama bermula. Si suami bersujud syukur, sementara istrinya pingsan. Orang-orang di sekeliling mereka panik, tetapi si Tuan Uang terlihat makin menikmati perannya sebagai pembawa keajaiban.

Lalu struktur dramatik bergerak menanjak. Bagaimana misalnya si suami lari tergopoh-gopoh menuju pasar untuk berbelanja, sementara perempuan yang menemaninya selalu mengingatkan waktu yang kian habis. “Tinggal dua puluh menit lagi,” si perempuan berkata sambil menunjukkan layar tablet bertuliskan “20:46”.

Kita dibuat tegang oleh kepolosan si miskin dan kecerewetan si pendamping. Juga, waktu belanja yang kian habis. Suspens tercapai. Apalagi ketika orang-orang di pasar ikut bertepuk tangan dan memberikan semangat.

Penampilan macam begini juga saya temukan pada wajah-wajah satu keluarga miskin yang digiring ke pasar di acara yang lain lagi. Oleh si host, yang cantik dan cenderung cerewet, mereka dibujuk untuk membeli ini-itu: baju, sepatu, tas yang serba-baru.

Saya lihat wajah si ibu kikuk sekali menghadapi nasib baik yang tiba-tiba. Ia belum siap untuk menjadi kaya, tampaknya. Sementara si suami hanya bisa cengar-cengir kuda, menyaksikan istrinya mencomot ini-itu dan memasukkan semua itu ke keranjang belanja.

Mereka sengaja digiring ke pasar dan diinapkan di hotel agar rumah mereka kosong dan pada saat yang bersamaan akan bekerja sebuah tim pemugar rumah. Kelak mereka akan pulang dengan kekaguman luar biasa menyaksikan rumah mereka yang reot dan hampir roboh itu menjadi baru hanya dalam beberapa hari.

Begitulah kita telah menikmati kemiskinan yang mengharu-biru perasaan kita. Mungkin akan timbul pertanyaan: Kenapa orang itu bisa menjadi begitu miskin? Kenapa pula ada orang yang teramat baik? Dari mana asal uang itu? Yang paling mendasar: Mengapa kita bisa gembira menonton kemiskinan orang lain?

Sampai di sini, kemiskinan tetaplah menjadi tontonan, menjadi peristiwa teater. Bawah sadar kita akan menerima bahwa sebagai peristiwa teater ia bukanlah peristiwa sehari-hari. Ia tidak benar-benar nyata. Yang nyata adalah saya miskin dan saya tidak mendapatkan rezeki nomplok uang belasan juta rupiah, meskipun saya sangat ingin mendapatkannya.

Apakah setelah menonton pentas realitas seperti itu hati kita akan tergerak untuk ikut membantu kaum duafa di sekitar kita? Bisa iya, bisa juga tidak. Jika pun kita melakukan kebajikan itu sendirian, ia tidak akan bisa semelodramatis yang ditampilkan oleh televisi. Amal saleh seperti itu akan segera kehilangan aspek performativitasnya.

Dalam drama, tangan kanan yang memberi sedekah akan terlihat oleh tangan kiri, atau tangan-tangan lainnya, oleh ribuan pasang mata penonton. Sementara ide dasar keikhlasan bersedekah adalah kita melakukan semua itu tanpa dilihat oleh siapa pun, termasuk oleh tangan kiri kita, tanpa mengharapkan apa pun–kecuali rida Allah.

Kemiskinan dalam pentas realitas seperti itu pada akhirnya adalah juga komoditas–jika bukan mistifikasi. Tanpa kemiskinan, bagaimana mungkin para penggagas acara karitatif itu bekerja; bagaimana kaum politikus mendulang suara menjelang pemilu dan pilkada; kepada siapa para juru dakwah menyiarkan nikmat sorga dan negeri akhirat.

Mistifikasi kemiskinan adalah bagian dari apa yang disebut Bertrand Russel sebagai “pemujaan kelompok manusia di mana pemujanya sendiri tidak termasuk.” Kita memuja orang miskin karena kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang miskin yang muliakan itu. Dalam pemujaan itu kita percaya akan adanya “kebajikan istimewa dari mereka yang tertindas”. Yakni, kepolosan, kejujuran, kerendahan hati, kepasrahan dan seterusnya.

Namun, kesimpulan itu kita dapatkan lewat “pembacaan jauh”, ketika kita bukanlah bagian dari kelompok yang kita puja dan muliakan tadi. Begitu kita masuk ke dalamnya–untuk melakukan “pembacaan dekat”–realitas sebenarnya mungkin tidaklah sesederhana itu. Bisa jadi gambaran utopis tentang dunia dan mentalitas orang miskin akan lenyap, berganti dengan apa yang sama sekali bertolak belakang dengan yang utopis tadi.

Jika gambaran utopis tadi tergantikan oleh yang sebenarnya, dan pentas realitas tidak mampu lagi membereskannya, maka mandat dasar keberadaan negara atau kota berlaku tanpa ada gugatan sama sekali. Adalah tugas negara atau pemerintah kota untuk membebaskan warganya dari kemiskinan dan kebodohan lewat pelbagai program pembangunan. Amanat Konstitusi mengenai hal ini sudah teramat jelasnya.

Retorika mesti digantikan dengan kerja nyata. Hasilnya harus bisa dirasakan, pertama-tama oleh mereka yang kerap menjadi obyek pentas realitas. Sebab jika masalah kemiskinan dan kebodohan ini teratasi, boleh dibilang separuh dari pekerjaan utama para pemegang amanat penderitaan rakyat telah terlaksana.

Tinggal separuh berikutnya. Dan itu bukan berarti akan lebih mudah.[Zen]

Advertisement
Advertisement