April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menilik Kekerasan Anak di Indonesia dari Kasus Pengeroyokan Siswi SMP

3 min read

Kasus pengeroyokan siswi SMP, Audrey yang selanjutnya diinisialkan dengan AY (14), oleh sekelompok siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat, membuat geram banyak masyarakat Indonesia. Hal itu juga mengingatkan bahwa kekerasan oleh dan terhadap anak masih menjadi masalah yang mengkhawatirkan di negara ini.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada periode 2011-2017 ada 4.576 laporan terkait kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuk. Mulai dari kekerasan seksual, kekerasan di sekolah (bullying), kekerasan fisik, hingga kekerasan psikis.

Sementara, menurut data KPAI yang dikutip detikcom (10/4), sepanjang tahun 2018 ada 661 anak yang berhadapan dengan hukum. Dari jumlah tersebut, ada 107 anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku kekerasan fisik (penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, dan sebagainya).

Sementara jumlah anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun lalu mencapai 766 orang, lebih banyak dibandingkan 552 anak pada 2017. Mereka yang mengalami kekerasan fisik mencapai 167 anak (97 lelaki dan 69 perempuan), sedangkan korban kekerasan psikis berjumlah 51 anak.

Angka-angka tersebut terbilang mengkhawatirkan. Apalagi kemungkinan adanya kasus-kasus kekerasan terhadap anak lainnya yang belum terungkap karena berbagai alasan. Ketakutan akan ancaman si pelaku jika korban bercerita, menjadi salah satunya.

Contohnya, kasus di Pontianak ini. Perisakan dan pengeroyokan terhadap AY baru terbongkar lebih dari sepekan setelah peristiwa terjadi. Sang anak menutupi kejadian itu karena diancam, tetapi kondisi fisiknya yang melemah, kemudian muntah-muntah membuat ia akhirnya bercerita kepada ibunya.

Sang ibu kemudian melapor kepada kepolisian dan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Pontianak pada pekan lalu, Jumat (5/4). Kasus pun terbongkar.

Apa yang sebenarnya dialami AY? Merangkum kronologi dari berbagai media, insiden tersebut berawal masalah percintaan remaja dan adu komentar di media sosial. Tak terima dengan komentar di medsos, kemarahan dikobarkan di dunia nyata.

AY dijemput dari rumahnya oleh para pelaku dengan alasan ingin ngobrol, tetapi yang terjadi kemudian adalah pengeroyokan di dua tempat, yakni Jl. Sulawesi dan Taman Akcaya.

Tindak kekerasan, menurut korban, dilakukan oleh tiga orang berinisial NE, TP, dan FZ, serta disaksikan oleh sembilan orang rekan mereka. Ke-12 perempuan itu berasal dari berbagai SMA di Pontianak.

Korban mengaku dipukuli, ditendang, bahkan kepalanya dihantamkan ke aspal jalan. Sempat beredar kabar yang membuat warganet makin meradang; kemaluan AY dilukai. Kabar tersebut kemudian dibantah oleh ibunda korban dan polisi.

AY kini masih menjalani perawatan di RS Mitra Medika, sementara polisi baru menginterogasi ketiga orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan.

Kisah pengeroyokan tersebut kemudian viral di media sosial. Masyarakat terkejut dan tak sedikit yang kemudian mengutuk kekejaman yang terjadi. Sebuah petisi yang mendesak agar polisi mengusut tuntas kasus tersebut muncul di Change.org dan hingga tulisan ini diterbitkan sudah ditandatangani lebih dari 3 juta warganet.

Desakan agar polisi mengusut tuntas tersebut menguat setelah beredar kabar bahwa KPPAD dan kepolisian ingin agar kasus diselesaikan secara damai. Kabar tersebut segera dibantah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong agar pengusutan secara tuntas dilakukan. Namun, penyelesaian kasus tersebut harus mengacu kepada Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasalnya pihak-pihak yang terlibat masih termasuk usia anak-anak (di bawah 18 tahun).

Ketua KPAI, Susanto, dalam Liputan6 menyatakan bahwa tidak ada istilah “damai” dalam kasus ini. Maka dari itu, mereka meminta agar masalah ini tidak diselesaikan hanya dengan berdamai.

Bahkan Presiden RI, Joko “Jokowi” Widodo di Jakarta (10/4), menyatakan telah memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk tegas menangani masalah ini sesuai prosedur hukum.

Jokowi lalu mengingatkan bahwa media sosial telah mengubah pola interaksi sosial antarmasyarakat. Oleh karena itu, menurutnya, semua orang harus hati-hati.

“Ini adalah masa transisi yang kita semua harus hati-hati. Terutama, awasi betul anak-anak kita. Jangan sampai terjebak pada pola interaksi sosial yang sudah berubah tetapi kita belum siap,” ujar Presiden.

“Karena pola interaksi yang sudah berubah sehingga orang tua, guru, masyarakat, itu juga bersama-sama merespons perubahan yang ada, meluruskan hal yang tidak betul di lapangan.”

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yambise, mengaku geram mendengar peristiwa tersebut, terutama karena korban dan pelaku masih berusia anak-anak.

“Boleh jadi kasus ini terjadi karena luputnya pengawasan orang dewasa. Ada yang keliru pada sikap anak-anak kita ini, berarti juga ada yang keliru pada kita sebagai orang dewasa yang merupakan contoh bagi anak-anak,” ujar Yohana dalam siaran pers (10/4).

Ia meminta agar semua pihak yang berkepentingan mengawal penyelesaian kasus tersebut dan menemukan penyelesaian yang baik bagi kedua pihak.

“Saya harap keduanya bisa diberikan pendampingan. Korban didampingi proses trauma healing-nya, sedangkan pelaku didampingi untuk pemulihan pola pikir atas tindakan yang telah dilakukan,” tutur Yohana.

“Paling penting, kita harus memastikan pemenuhan hak-hak mereka. Sebagai korban ataupun pelaku, mereka tetap anak-anak kita. Sudah seharusnya kita lindungi dan kita luruskan jika mereka berbuat salah.” []

Advertisement
Advertisement