April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Para Pencari Kambing

9 min read

Lapangan Asem sepi hari ini. Ke manakah gerangan Kapten Musa periang itu? Aku menyusuri gang-gang di samping lapangan. Namun, tak jua kutemukan sosok idaman para bocah di desa ini. Meski usia Musa lebih muda dariku, tidak ada yang lebih pantas menjadi kapten kesebelasan selain dia.

Ah, iya…perkenalkan namaku Yunus. Lengkapnya Ahmad Yunus. Saat ini masih sekolah di SDN I Gondowangi, kelas enam. Kapten Musa, Ibrahim, Yudhistira, Saiful, Ahmad Khudori, Wajekul Komar, Suprianto, dan Sunaji dari kelas lima, lalu Toni Wibowo dan Nurkholis dari kelas empat. Ditambah Agus Setia Budi dari kelas enam. Kami adalah tim sepak bola anak-anak dari Desa Gondowangi, Malang Raya. Sebutan keren kami, ”Anak Asem”. Ya, karena tiap sore kami berlatih sepak bola di Lapangan Asem, lapangan yang banyak ditumbuhi pohon asem.

”Dari mana saja, Kapten? Mencarimu dari bakda dhuhur sampai menjelang ashar tak juga nongol batang hidungmu…” Tiba-tiba aku melihat Musa melintas. Tubuhnya bersimbang keringat. Ada tambahan kerja rupanya?

”Kam…kam, kambingku hilang, Mas. Tadi pagi sebelum sekolah aku sudah menaruhnya di tempat biasa, tapi selepas dhuhur aku tak menemukannya.” Musa gelisah. Gaya bahasa yang biasa tegas saat latihan tak kutemukan. Yang kulihat hanya kegugupan dan was-was.

”Bapak pasti marah, haduh. Aku harus bisa menemukannya sebelum maghrib. Sudah ya, aku izin tidak latihan dulu… Maaf.” Tambahnya masih dengan gerak terburu-buru. Aku mengikutinya. Siapa tahu dengan bertambahnya orang yang mencari, kesempatan menemukan kambingnya semakin banyak. Bismillah

Di jalan aku bertemu Khudori. Ia juga ikut mencari kambing Musa. Ia tahu dari ibunya yang kebetulan mencuci baju di sungai. Biasanya di sebelah tempat mencuci baju digunakan para penggembala memandikan hewan-hewan gembalaannya. Termasuk Musa dan Wajekul.

”Mungkin ikut kambingnya Wajekul, Mas,” Khudori sumbang suara.

”Eh, mungkin juga ya? Mereka kan biasa bersama. Mandi, makan, minum, haha.” Aku bergegas ke rumah Wajekul.

***

Rumah bambu Pak Komar tampak asri dengan ragam tanaman. Kami langsung menuju kandang kambing milik beliau. ”Kalian kok masih di sini? Wajekul sudah pamit ke lapangan.” Suara Pak Komar mengagetkan kami.

”A…anu, Pak. Kami mencari kambing Musa. Siapa tahu ada di kandang ini.” Aku tergeragap. Kudhori sudah memilah-milah kambing yang barusan selesai mandi.

”Oh, tadi Bapak melihat ada seseorang yang menggiring paksa kambing Musa. Bapak kira itu saudara bapaknya Musa. Jadi, Bapak biarkan saja. Kambing-kambing ini juga rewel tadi. Wajekul sampai kepeleset di sungai,” Pak Komar menjelaskan. Kabar ini harus segera disampaikan ke Musa. Barangkali kambingnya sudah pulang.

Aku dan Kudhori bergegas ke lapangan. Anak-anak lain pasti sudah ngumpul. Benar saja. Sesampai kami di lapangan, teman-teman sudah mulai pemanasan. ”Amboi… Mas Yunus, kenapa pula telat?” Toni Sang Jaka Madura menyambut kami. Ia dan Nurkholis sedang mengayun-ayunkan tangan dan kaki ke kanan dan ke kiri.

”Saya sudah sampai sini sejak bakda dhuhur, Ton. Ikutan cari kambing Kapten Musa yang hilang,” kataku menjelaskan. Seketika teman-teman menghentikan pemanasan. Ikut nimbrung dalam obrolan.

”Hilaaang?! Ah, tadi saya melihatnya di perbatasan sungai. Tapi, yang menuntun bukan Kapten Musa maupun bapaknya. Sa…sa, saya juga baru kali ini melihatnya. Jangan-jangan kambingnya dicuri orang…” Yudhistira, yang rumahnya dekat sungai, menimpali.

”Kapten sekarang di mana?” tanya Saiful penasaran.

”Kita harus segera atur strategi untuk menangkap pencuri itu. Setujuu?!” Agus yang baru datang memberikan ide.

”Betul, kita harus membantu Kapten Musa menemukan kambing-kambingnya…” Ibrahim memompa semangat kami. Kesetiakawanan yang muncul secara alami.

”Baik, kalian tetap di sini. Saya dan Kudhori mencari Kapten Musa, lalu menentukan langkah selanjutnya.” Aku sigap menggandeng Kudhori menuju tempat Musa biasa merumputkan kambing-kambingnya.

***

Dari jauh aku melihat sosok Kapten Musa sedang melakukan shalat ashar di bawah pohon mangga, dekat pekarangan Pak Hasan, ayah Sunaji. Aku dan Kudhori numpang wudhu di padasan milik beliau, lalu menegakkan shalat di belakang Musa. Entah dia sudah rakaat keberapa, kami tetap berniat menjadi makmumnya.

Ah, ternyata sudah rakaat ketiga. Tak masalah, yang penting ada nilai jamaah dalam shalat kami. ”Cukup dengan menepuk bahu kanan sang imam, kalian sudah dianggap berjamaah.” Suara Haji Anwar menggema di telingaku. Haji Anwar adalah guru ngaji kami di mushala Nurul Huda. Beliau biasa mengajar bakda maghrib. Setelah berdoa, kami bersalaman. Musa nampak sedikit tenang, mungkin inilah perasaan orang habis shalat. Sejuk, tenang, dan bersemangat.

”Kapten… Yudhis bilang kambing-kambingnya dibawa seseorang.” Kudhori mendahuluiku. Musa tersenyum mendengarnya.

”Ya, tadi Pak Hasan juga memberitahuku. Sepertinya bapak juga sudah tahu.” Musa mendesah, memandang langit yang mulai gelap. Matahari sudah bersiap tenggelam. Sebentar lagi maghrib.

”Teman-teman menunggu kita di lapangan, Kapten.” Aku mengingatkan agar tak berlama-lama di sini. Kami harus segera bertindak sebelum hari kian gelap. ”Baiklah… sekarang kita ke sana!” Tanpa komando dua kali, kami sudah berlarian menuju Lapangan Asem.

***

Gunung Katu di seberang sana masih terlihat, meski gelap mengintai. Teman-teman bermain bola sambil memikirkan sesuatu. Kegiatan itu terhenti saat kami bertiga datang dengan napas terengah-engah. ”Langsung siaga saja, Kapten…!” Suara Agus lantang. Kami segera membentuk lingkaran, menyiapkan pikiran dan strategi layaknya pasukan Tentara Nasional Indonesia.

”Setelah shalat isya’ kita bergerak!” Musa mengawali. Ia langsung tanggap dengan pikiran kami yang seolah terbaca: ”Segera tangkap pencurinya!”

”Tapi, kita harus minta izin bapak dan ibu dulu… Ingat, yang akan kita lakukan berasa nyaman ketika orangtua mengizinkan.” Musa mengingatkan.

”Saya sangat berterima kasih atas kesediaan teman-teman membantu mencari kambing-kambing bapak. Insyaallah kebaikan akan berbuah kebajikan.” Kapten periang itu mengepalkan tangan tanda semangat.

”Siaaap!!” Teriak kami serentak. Kami bubar, berlarian menuju rumah masing-masing. Bersiap menghadap Allah swt di mushala dan belajar mengaji.

”Anak-anak…saya dengar kambing Musa hilang dan kalian ingin mencarinya di desa sebelah. Apa benar begitu?” tanya Haji Anwar setelah kami selesai setoran hapalan. Alhamdulillah aku hapal surat An-Nas, lancar tiada geragap.

”Iya, Bapak… Semoga kambing-kambing itu ketemu sebelum si pencuri menjualnya ke pasar ternak esok pagi.” Agus menjawab pertanyaan Haji Anwar. Aku dan yang lain mengangguk bersamaan.

”Baiklah… Hati-hati, ya! Warga desa sebelah itu kurang ramah dengan kita. Sekiranya ada yang berbahaya, segera kembali ke sini dan beritahu orangtua kalian. Awali dengan bismillah, agar Allah swt selalu bersama kita. Allahu Akbar!” Haji Anwar memompa semangat kami.

***

Cahaya bulan menerangi malam di desa kami dan sekitarnya. Berbekal sarung dan senter, kami berjalan menyusuri tempat yang biasa digunakan menyembunyikan barang curian. Wajekul dan Yudhis seringkali memergoki pencuri-pencuri itu. Terkadang mereka juga menemukan beberapa dompet yang sudah tak ada isinya.

”Emang muat, ya? Enam kambing dimasukkan gudang itu.” Supri berbisik.

”Tempat kosong itu luas, Man… Aku sering melihat teman-teman sebaya Mas Yunus main petak umpet di sana.” Yudhis menjelaskan dengan berbisik pula. Kami berduabelas berpencar, sesuai strategi yang disusun di lapangan tadi.

”Sampai bertemu di jembatan dekat sungai Deres, ya?” Kata Musa setelah memanjatkan doa selamat. Sungai Deres adalah nama sungai perbatasan antara desa satu dengan desa lain. Aku bersama Khudori dan Agus bertugas di bagian rumah kosong, mengendap-endap ala ninja mengintai mangsa.

 ”Eitt… Ada orang di sana.” Agus berbisik.

”Baik, kamu ke kanan. Kudhori ke kiri, aku langsung ke tengah. Kita saling menjaga komunikasi dengan kode lima jari.” Kami langsung bergerak, menata ancang-ancang bak detektif kancil.

”Kambingnya kan ada enam. Kalau tiap ekor laku delapan ratus ribu saja, kita akan mendapatkan empat juta delapan ratus ribu. Cukuplah buat berangkat ke Jakarta. Di sana kita akan kayaa, haha…” Seorang lelaki berkumis lebat bicara lantang, seperti sudah tahu kalau di tempat ini aman.

”Warga Gondowangi itu parah… Masak kambing enam hilang dibiarkan saja! Jangan-jangan mereka percaya kambingnya digondol wewe gombel, haha…” Lelaki yang bertopi ikut tertawa. Ya, warga desa kami memang kolot, tapi fitnah kalau kami percaya wewe gombel. Tuhan kami satu, Gusti Allah swt.

Kudhori dan Agus mengepalkan tangannya ke atas, menandakan siap menyerang. ”Ayo ke ladang, kita harus bersiap menjualnya di pasar ternak pagi-pagi sekali, biar tak dicurigai.” Ajak lelaki bertopi. Kami menguntit mereka dari belakang, melepas sandal agar langkah tak terdengar. ”Kasih tahu Kapten kalau kita menuju ladang jagung.” Perintahku pada Kudhori. Ia langsung sigap, menyelinap di antara kebun tembakau dan tebu.

Aku dan Agus terus membuntuti pencuri-pencuri itu. Mereka terlihat santai dan tak berhenti merokok. Betul dugaanku, mereka ke ladang jagung yang selesai dipanen. Di sana sudah terikat enam kambing milik Musa yang sedang makan batang daun jagung. Tak kusangka, Kapten gesit itu sudah di sana, padahal tugas dia menyusuri kandang kosong di sebelah pemakaman umum.

”Mau kalian apakan kambing-kambing itu, bocah ingusan?!” Bentak si kumis lebat pada Musa, Sunaji, dan Yudhis. Mereka tak gentar meski lelaki bertopi mengeluarkan sebilah celurit yang dari kejauhan terlihat mengkilat karena tajam.

”Mau saya bawa pulanglah, Pak… Ini kan kambing saya. Bapak sudah menunggunya di kandang rumah,” jawab Musa tegas.

”Kalau sudah di sini, ya bukan punyamu lagi, bocah bandel.” Si Kumis masih menghina kami yang memang masih kanak-kanak.

”Lapor ke Haji Anwar dan warga lain, Gus…” Kali ini Agus langsung berlari. Sepertinya Anak Asem sudah komplit. Ibrahim, Saiful, dan Wajekul langsung melempari si kumis lebat dengan buah mangga yang berjatuhan karena banyak ulat. Suprianto, Toni dan Nurkholis pun membawa banyak batang tebu untuk dipukulkan ke lelaki bertopi dan bercelurit.

”Serbuuu!!!” Kudhori datang bersama bapaknya Musa dan dua orang warga. Aku tak mau kalah, serbuuu…! Kesebelas Anak Asem melawan dua pencuri kambing. Gaya kami tak jauh beda dengan latihan sepak bola: menyerang, menendang, menyundul, dan menangkis. Karena ada orang dewasa yang membantu, kami pun makin merasa aman.

Celurit dan topi orang itu berhasil dirampas Yudhis. Ia mengerang kesakitan saat Sunaji menginjak kakinya. Setelah puas mengerjai kedua pencuri, Agus datang bersama Haji Anwar dan aparat desa. Legaaaa… Rasanya seperti menang pertandingan sepak bola di kecamatan. Kami serentak sujud syukur. Musa terharu. Kami dipeluknya satu-satu. ”Ternyata teori pramuka di sekolah ada gunanya, ya?” Musa mengingatkan betapa malasnya aku dulu saat mengikuti kegiatan pramuka.

Kedua pencuri itu langsung dibawa ke kantor polisi di kecamatan, naik mobil bapak si Toni yang baru pulang dari Banyuwangi. Kami bubar menuju rumah masing-masing untuk beristirahat agar esok bisa bangun pagi dan berangkat sekolah. Rutinitas kami, anak kampung, tidaklah jauh berbeda dengan anak kota. Yang membedakan mungkin hanya tempat tinggal. Aku senang dengan pengalaman menangkap pencuri tadi. Ada pelajaran berharga di sana. Kesetiakawanan, solidaritas, dan keberanian adalah tiga hal yang membuat persahabatan di antara kami kian erat.

***

Lapangan Sidorahayu ramai hari ini. Banyak umbul-umbul. Yel-yel pun disusun untuk menyambut kedatangan kami, tim sepak bola SDN Gondowangi I. Ya, hari ini kami akan bertanding dengan tim sepak bola SDN Sidorahayu II dalam rangkaian pekan olahraga di desa kami. Sudah hadir supporter kami, para orangtua, warga Gondowangi, siswa-siswi, dan bapak ibu guru. Duhai… inikah rasanya bertanding? Kapten kami sudah mewanti-wanti, jangan ada di antara kita yang terlena dengan prestasi ataupun wibawa. Bila kita terlena, pertahanan akan runtuh dan fokus bertanding pun jadi berkurang.

”Hajaaarr!!” Seru supporter. Baik, mari kita hajar mereka dengan bola.

”Anggap aja kita sedang latihan, Nur…” Tutur Musa pada Nurkholis yang mendadak gugup.

Hap…hap… Kita bersebelas, tidak berdua atau bertiga. Kita bisa menjerat pencuri kambing, kita pun harus bisa menjerat kesebelasan Sidorahayu. Okeyy…?!” Suara Ibrahim membahana.

”Apaan sih hap hap, emangnya mau berenang?” Nurkholis bingung sambil tersenyum. Aku pun penasaran dengan hap hap ala Ibrahim.

Laa haula walaa huwata ilaabillahil aliyil adziim. Tiada daya upaya dan tempat berpasrah diri selain hanya pada Allah swt, Yang Maha Kuat… Ngerti kan?” Ibrahim menjelaskan. Ya Rabbi…ternyata teman yang satu ini makin bijak. Selain Musa, ada Ibrahim yang sering memotivasi kekuatan tim.

Alhamdulillah Aku makin mencintai tim ini. Bagiku, Anak Asem tidak kecil, tapi luar biasa. Aku jadi ingat nasehat guru agama di sekolah: ”Pandanglah apa yang dikatakannya, bukan memandang siapa yang mengatakannya.” Jadi, di mana pun kita, belajar dari kehidupan adalah wajib. Apalagi tahun depan aku sudah masuk SMP. Maka, hari ini aku harus memanfaatkan kebersamaan yang entah kapan bisa terulang lagi. Bertanding beda dengan berlatih, bukan? ”Ooooo….” Mereka berlima ber-”o” bersama sambil manggut-manggut. Setelah berdoa, kami turun ke lapangan. Mengambil posisi masing-masing dan satu sama lain saling menyemangati. Satu, dua, tigaa… go!!

Pertandingan makin seru. Pihak lawan sudah mengganti dua pemain, tapi Anak Asem masih terlihat bugar. Bahkan makin bersemangat. Skor 2:0 di menit ketigapuluh, dua puluh menit lagi pertandingan berakhir. ”Biarkan mereka bertelur, Kul…” Seru Sunaji dari arah pertahanan. Sundulan bola Wajekul memang keren, makin mirip Ronaldo.

Benar saja, di akhir pertandingan kami berhasil mengumpulkan tiga gol. Serangan Yudhis mirip pula dengan Lionel Messi. Ya, begitulah kami. Berlatih dengan tokoh idola lewat televisi, lalu dipraktekkan bersama saat di lapangan.

***

Semenjak kemenangan tim dan keberhasilan kami menangkap pencuri, Anak Asem menjadi idola di desa kami. Meski piala besar itu ditaruh di sekolah, kami tetap kebanjiran hadiah dari guru dan teman-teman, juga warga desa yang bangga pada kami. Tetap ramah dan tidak sombong adalah senjata penting dalam mengemban amanah masyarakat.

Kegiatan poskamling jadi makin riuh dengan dibolehkannya Anak Asem ikut ronda malam. Bergantian dengan ayah masing-masing. Aku berharap Ibu segera kembali pulang dari Hong Kong, berkumpul dengan kami setelah melihat prestasi dan kemajuan desa ini. Aamiin.

**Gondowangi, 260618

Cerpen: Anna Ilham

 

Advertisement
Advertisement