April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Perempuan Bersuami Hamil Dengan Pria HTSnya, Bagaimana Status Nasab Anak Tersebut ?

3 min read

ApakabarOnline.com – Ilustrasi : Seorang PMI Hong Kong sebut saja E, menikah dengan M. Saat perjalanan pulang cuti, saat baru turun dari pesawat, E bertemu dengan pak Satpam yang memang memiliki hubungan HTS .

Kemudian E ber’hoho hihe’ terlebih dahulu dengan pak Satpam beberapa kali selama beberapa hari.

Saat pulang ke rumah tempat tinggal suaminya, E sama sekali tidak ber’hoho hihe’ dengan M suaminya.

Setelah kembali ke Hong Kong, E tiba-tiba menyadari kalau dirinya hamil. Kemudian E teringat, hanya bibit yang ditanam pak Satpam lah yang masuk selama dia cuti.

Pertanyaannya, E dan pak Satpam bukan pasangan suami istri. Namun E dengan M merupakan pasangan suami istri. Lantas, janin yang ada dalam kandungan E dari hasil ‘hoho hihe’ dengan pak Satpam, bagaimana status dan kedudukan nasabnya ? Apakah dia bisa disebut anak haram ?

Para ulama telah berijma’ bahwa wanita yang berzina jika sudah menikah dan akhirnya mempunyai anak, namun suaminya tidak menolaknya dengan li’an (fiqih melaknat) , maka anak tersebut dinisbahkan kepadanya, tidak kepada laki-laki yang berzina dengannya.

Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ) رواه البخاري ( 1948 ) ومسلم ( 1457(.

“Anak seorang ibu (hasil zina dengan laki-laki lain), maka berada pada tanggungannya. Dan pezina terhalangi (dari nasabnya).””. (HR. Bukhori: 1948 dan Muslim: 1457)

Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata: “Pada saat datangnya Islam, maka Rasulullah –shallallahu ‘alai wa sallam- menyatakan bahwa zina adalah bathil; karena Allah telah mengharamkannya dan beliau pun bersabda:

: ( لِلْعَاهِرِ الحَجَرُ )

“Pezina terhalangi (dari nasabnya).”

Maka tidak ada di dalam Islam anak zina, semua para ulama juga menyatakan ijma’ akan hal tersebut, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadikan anak yang dilahirkan dari zina dinisbahkan kepada suaminya, sampai ia tolak dengan proses li’an (fiqih melaknat).

Ibnu Abdil Bar juga berkata:

“Banyak para ulama telah berijma’ bahwa wanita merdeka adalah tempat tidur setelah berlangsungnya akad nikah; karena memungkinkan untuk digauli dan hamil. Dan jika dengan akad nikah memungkinkan untuk digauli dan hamil, maka anak yang dihasilkan adalah miliki suami sahnya dan tidak bisa ditolak dengan klaim orang lain kecuali dengan cara fiqih li’an”. (At Tamhid lima fil Muatha’ minal Ma’anii wal Asaniid: 8/183)

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Mereka semua melakukan ijma’ jika anak firasy (hasil jima’) itu lahir, kemudian ada yang mengklaimnya maka klaim tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang terjadi perbedaan di antara para ulama adalah jika dilahirkan dari wanita yang tidak berstatus sebagai istri”. (Al Mughni: 7/130)

Atas dasar itu maka kehamilan ibu anda yang diketahui oleh bapak anda setelah pulangnya tetap dinisbahkan kepadanya, dan tidak dinisbahkan kepada laki-laki yang berzina tersebut, meskipun ibu anda memastikan bahwa anak tersebut adalah anak hasil zina, kecuali jika bapak anda tidak mengakui anak tersebut dengan cara fiqih li’an. Karena tidak ada penolakan dari bapak anda dengan li’an, maka anak perempuan tersebut adalah anaknya dan dinisbahkan kepadanya, ia juga menjadi saudari anda senasab, hal ini masalah ijma’ seperti yang anda lihat yang kami nukil dari pendapat para imam.

Saudari anda tidak dinisbahkan kepada laki- laki yang berzina dengan ibu anda tersebut, berarti dia juga bukan bapaknya, namun tetap ada konsekuensi hukum kepadanya, yaitu; laki-laki tersebut diharamkan menikah dengan saudari anda, ia juga tidak berhak memanggilnya bapak, dia juga tidak wajib menafkahinya, juga tidak saling mewarisi satu sama lain.

Maka, tidak ada perubahan dalam kehidupan anda, karena wanita tersebut adalah saudari anda, baginya semua hukum dan hak sesuai syari’at dan tidak ada kaitannya dengan pemerintahan dan masyarakat dengan apa yang telah terjadi. Kejadian tersebut adalah urusan ibu anda dengan Allah, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. []

Advertisement
Advertisement