December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Keuntungan Adu Pencitraan (?) di Tengah Wabah Corona

4 min read

ApakabarOnline.com – Pilpres 2024 memang masih jauh, masih empat tahun empat bulan lagi. Namun pergerakannya, sudah terasa sejak saat ini. Ibarat lari maraton. Masa pandemi saat ini, merupakan masa pemanasan, untuk membangun pencitraan bagi tokoh-tokoh yang ingin bertarung di Pilpres 2024.

Di era industri pencitraan seperti saat ini. Terkadang yang buruk, terlihat baik. Begitu juga sebaliknya. Barang yang tak bagus pun, jika dikemas dengan apik dan bagus, maka seolah-olah telah menjadi “barang” bagus.

Industri pencitraan inilah, yang telah menumbuhkan setiap individu atau kelompok, untuk berpacu membuat kemasan yang apik dan baik. Substansi sengaja dilewati, demi hanya ingin memunculkan konten bohong. Dan cangkang lebih diutamakan daripada isi.

Dalam industri pencitraan itu pula, telah terjadi pergeseran nilai-nilai. Nilai kebohongan akan ditonjolkan daripada nilai kejujuran. Loyalitas hampir-hampir tak ada, karena loyalitas hanya diukur berdasarkan kepentingan. Tak akan loyal seseorang, jika tak ada kepentingan. Akan selalu ada udang dibalik batu.

Industri pencitraan telah mengubah sesuatu, yang tadinya berwajah bopeng, terlihat halus. Yang tadinya penjahat, menjadi terlihat alim. Yang tadinya koruptor, akan dipersepsikan sebagai dewa penolong. Yang tadinya kampret dan cebong, akan terlihat bagai kupu-kupu indah.

Tak ada politisi, yang tak memainkan dan memanfaatkan industri pencitraan, untuk menguntungkan dirinya. Bagi politisi handal, semua momentum, termasuk momentum pandemi Covid-19, akan digunakan untuk membangun pencitraan.

Membangun pencitraan di tengah pandemi tak ada yang salah. Selama pencitraan tersebut berbasis kinerja baik. Ukuran dan standarnya kinerja. Jika dia seorang bupati, walikota, atau gubernur, maka ukuran pencitraannya, berbasis hasil kerja yang telah dilakukannya. Begitu juga jika dia seorang menteri.

Namun yang menjadi persoalan dan yang menjadi perdebatan, ketika standar kinerja tersebut diabaikan. Maka yang terjadi adalah, standar subjektif yang akan muncul, seperti like and dislike atas kepemimpinan seseorang.

Setidaknya ada empat klaster, para capres pada Pilpres 2024 nanti. Klaster pertama, para capres bisa muncul dari para kepala daerah. Terutama para gubernur. Oleh karena itu, para gubernur, berlomba untuk bekerja dengan baik, dalam menangani pandemi Covid-19, di daerahnya masing-masing.

Ada yang dianggap sukses, ada pula yang dianggap gagal. Bahkan salah satu lembaga survey telah merilis hasil temuanya, terkait kenaikan elektabilitas para gubernur, menteri, dan tokoh lain di masa pandemi.

Survey tersebut harus kita hargai, untuk memotret peta kekuatan para capres dari klaster kepala daerah sejak dini. Namun perlu juga ada survey pembanding. Agar terjadi adu data secara objektif. Karena jika tak ada survey pembanding yang objektif, maka bisa saja gubernur yang tak bagus kinerjanya. Tapi naik elektabilitasnya.

Klaster capres yang kedua, datang dari para menteri. Para menteri yang saat ini menjabat, memiliki berkeinginan menjadi capres. Para menteri juga sibuk membangun pencitraan di tengah pandemi. Namun ada yang muncul, ada juga yang tenggelam.

Masa pandemi saat ini memang tidak menguntungkan Prabowo sebagai Menhan. Karena penanganan Covid-19, bukanlah leading sektornya. Oleh karena itu, survey terkait dengan elektabiltasnya menurun jauh. Walaupun masih diposisi teratas.

Namun menteri lain, seperti Tito, Mendagri memanfaatkan isu Covid-19 dan Pilkada menjadi panggungnya. Walaupun tidak menaikan elektabilitasnya secara drastis. Paling tidak masuk bursa capres.

Klaster ketiga, akan muncul dari para ketua-ketua partai politik. Ada sebagian ketum partai yang menjadi menteri. Sebagian lainnya menjadi pimpinan MPR dan DPR RI. Dan ada juga yang ada di luar arena eksekutif dan legislatif, seperti presiden PKS, ketum PDIP, dan ketum Nasdem.

Jika pun mereka para ketum partai akan maju menjadi capres, pandemi Covid-19 sejatinya harus menjadi momentum untuk membangun pencitraan positif. Jangan merasa sebagai pemilik partai, lalu tidak melakukan langkah-langkah hebat untuk membangun pencitraan. Dan tidak mau bekerja untuk membantu rakyat.

Disaat kepercayaan rakyat terhadap partai politik rendah, harusnya momentum Covid-19 menjadi momentum terbaik untuk membantu rakyat yang kesulitan dan kesusahan yang diakibatkan virus Covid-19.

Klaster keempat capres, akan muncul dari pengusaha. Ini mungkin saja. Dan sangat mungkin. Lihat Pilpres 2019 yang lalu, kemunculan Sandiaga Uno, menjadi cawapresnya Prabowo. Itu membuktikan pengusaha akan bisa masuk menjadi capres atau cawapres kapanpun. Karena mereka punya uang.

Atau juga biasanya para pengusaha itu mendukung capres dan cawapres yang kuat. Yang akan menang. Sehingga ketika mereka menyumbang dana untuk capres dan cawapres, dan kandidat yang didukungnya tersebut menang, maka dikemudian hari akan mendapatkan privillage dari presiden dan wapres terpilih.

Adu citra para capres di empat klaster di atas, menjadikan penanganan Covid-19 menjadi lahan dan panggung adu kekuatan pencitraan. Selama pencitraan tersebut dilakukan dengan objektif dan berbasis kinerja ya sah-sah saja.

Namun jika adu pencitraannya, berdasarkan hal-hal subjektif, dan menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politik, maka inilah yang kita sayangkan. Karena jangan sampai gubernur yang kinerjanya baik, namun elektabilitasnya rendah. Namun sebaliknya, gubernur yang berkinerja biasa-biasa saja, elektabilitanya naik. Inikan jadi lucu.

Di zaman yang penuh pencitraan ini. Masyarakat mesti jeli dan cerdas dalam menilai hal yang baik dan buruk dari para capres mendatang. Jangan karena kita tak teliti, maka kita memilih cangkang. Jangan karena kita tak paham, lalu mengabaikan isi.

Biarkan mereka beradu pencitraan di tengah pandemi. Siapapun mereka. Seleksi alamlah yang akan berlaku. Siapa yang berprestasi dan bekerja terbaik di tengah pandemi, cinta rakyat, dan mampu bertahan di tengah serangan lawan, merekalah yang akan unggul. Merekalah yang akan sampai hingga garis finish.

Melakukan pencitraan silahkan. Tapi perhatikan isi dan substansi. Jangan hanya asesoris yang dijual. Jangan hanya cangkang dan kemasan yang dilihat. Tetapi isi-nya lah yang harus diperdagangkan. Jangan gara-gara kita memilih cangkang dan kemasan yang bagus, kita lupa melihat isinya.

Jika politik hanya berbasiskan pada pencitraan, maka yang akan muncul adalah tokoh-tokoh yang bertopeng dan penuh kemunafikan. Oleh karena itu, tak aneh dan tak heran jika bangsa ini terlihat sakit. Karena salah kelola. Bukankah begitu! [.]

Advertisement
Advertisement