Agar Masyarakat Indonesia “Tergoda” Menggunakan Kendaraan Listrik, Begini Upaya yang Dilakukan Pemerintah
JAKARTA – Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan pada Agustus 2019 lalu.
Dalam beleid ini, kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai dikelompokkan menjadi dua jenis yakni KBL roda dua dan roda tiga serta KBL roda empat atau lebih.
Aturan ini jadi salah satu aksi komitmen pemerintah Indonesia mengatasi perubahan iklim setelah menandatangani Perjanjian Paris (Paris Agreement) di New York pada 2006. Selanjutnya, diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2006.
Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK). Tujuannya, agar semua negara terlibat melakukan langkah nyata agar pada abad ini suhu bumi tidak meningkat lebih dari 1,5%.
Setiap negara yang menandatangani Paris Agreement wajib menyampaikan nationally determined contributions (NDC) yang berisi langkah-langkah penurunan emisi GRK masing-masing. Jika berhasil, dalam NDC Tahap I (2020-2030) Indonesia bisa menurunkan emisi GRK sebesar 29% secara mandiri atau 41% jika mendapat bantuan internasional.
Indonesia juga mencanangkan net zero emission atau target nol emisi paling lambat pada 2060. Salah satu caranya dengan menggencarkan penggunaan kendaraan listrik di Tanah Air. Realita di lapangan, berbagai kampanye penggunaan kendaraan listrik mulai marak.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, setiap tahun penjualan mobil listrik terus meningkat. Penjualan tertinggi terjadi pada 2021. Hingga pertengahan tahun ini, sudah ada sekitar 2.000 unit mobil listrik yang terjual. Jumlah ini terdiri atas model hybrid, plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) dan mobil listrik baterai (BEV).
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Industri (Kemenperin), Sony Sulaksono juga mengamini. Dia menyampaikan, peminat kendaraan listrik memang kian meroket. Terutama, secara global meskipun di tengah pandemi covid-19.
Juga, ada kesan kuat bahwa pemerintah ingin membangun industri kendaraan listrik di Tanah Air. Bahkan, kendaraan listrik seakan memiliki privilege alias hak istimewa, misalnya bebas biaya parkir dan kebal pembatasan peredaran kendaraan seperti ganjil genap.
Menggoda Konsumen
Untuk Indonesia, berdasarkan dari Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah kendaraan listrik berbasis baterai dari jenis roda empat atau lebih atau BEV tercatat ada sekira 950 unit. Data tersebut merupakan jumlah yang terdaftar dari tahun 2015 sampai Juli 2021.
“Dan pemerintah menargetkan jumlah produksi kendaraan listrik di Indonesia pada tahun 2025 sebanyak 400.000 unit dan pada tahun 2030 mencapai 600.000 unit,” ujar Sony, Selasa (19/10).
Agar target menjadikan kendaraan listrik sebagai primadona di Tanah Air tercapai, pemerintah berupaya menggoda para konsumen dengan promo-promo menarik. Mulai dari pajak 0%, kredit khusus kendaraan bermotor listrik dengan bunga sebesar 3,8% per tahun dan tenor sampai enam tahun.
Pembeli juga diberikan keistimewaan uang muka minimum sebesar 0% yang berlaku efektif 1 Oktober 2020. Sekaligus, mereka mendapat biaya penyambungan daya listrik bagi pemilik KBLBB R2 & R4 dan promo unit charger secara gratis dan jaminan asuransi secara cuma-cuma selama 1 tahun.
“Itu promo ada yang dari bank dan perusahaan otomotifnya juga. Promo ini untuk menunjang pemenuhan target tersebut. Jadi, pemerintah memberikan beberapa insentif fiskal dan non-fiskal bagi konsumen electric vehicle (EV),” jelasnya.
Pemerintah juga berencana mempersiapkan infrastruktur agar tidak kaget dengan meningkatnya jumlah kendaraan listrik nantinya. Misalnya, dengan menyediakan sarana stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Tahun 2021 ini, pemerintah menargetkan tersedianya 390 unit SPKLU. Kemudian di 2022 rencananya ada 693 unit. Pada tahun 2023, ada 1.030 unit dan tahun 2024 ada 1.558 unit.
Sejatinya, meningkatnya minat pada kendaraan listrik memang menumbuhkan harapan bisa memperbaiki iklim lingkungan. Namun, sebagai karya manusia, kendaraan listrik juga punya masa tertentu. Kemudian, ada saatnya tak lagi bisa digunakan. Seperti sumber listrik dari baterai lithium yang digunakan untuk kendaraan listrik.
Meski demikian, pemerintah tidak melihat urusan itu sebagai kerikil besar kendaraan listrik. Justru, limbah baterai lithium dinilai bisa dikelola menjadi new business model. Karena, nantinya akan tercipta industri pengelolaan daur ulang baterai bekas guna diproses menjadi bahan baku baterai baru.
“Terkait industri pengelolaan limbah baterai baru ini pemerintah memberikan full support pada industri ini guna penciptaan circular economy pada ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai,” imbuh Sony.
Ia mengklaim, baterai bekas dari kendaraan listrik sejatinya tidak dianggap sebagai limbah. Baterai bekas diasumsikan sebagai bahan baku industri yang dapat diolah lagi menjadi bahan baku baterai baru.
Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati juga memastikan limbah baterai lithium bekas dari kendaraan listrik tidak berbahaya. Syaratnya, baterai dalam keadaan utuh dan tidak ada intervensi.
Namun, akan berbahaya jika dilakukan proses daur ulang secara sembarangan. Serta, tidak menerapkan prinsip pengelolaan limbah dengan baik dan teknologi yang digunakan tidak ramah lingkungan.
Untuk mencegah hal itu, KLHK mendorong pembangunan industri daur ulang baterai lithium. Kemudian diurai menjadi komponen-komponen logam seperti nikel, mangan, cobalt, besi dan lithium yang sangat diperlukan dalam pembuatan produk baterai lithium kembali.
“Teknologi daur ulang yang digunakan ini dilakukan melalui ekstraksi atau recovery logam dengan cara kimia maupun thermal,” jelas Vivien, Selasa (19/10/2021).
Soal limbah ini, Perpres 55 Tahun 2019 juga menorehkan amanat daur ulang. Ini wajib dilaksanakan oleh industri KBL (Kendaraan Bermotor Listrik) dan/atau industri komponen KBL. KLHK mendukung industri KBL yang mengelola limbah baterai lithium. Saat ini sudah ada investasi pengelolaan baterai lithium di Indonesia dan sedang dalam proses pembangunan.
Vivien menerangkan, investasi teknologi daur ulang baterai lithium sedang dalam tahap pembangunan di Indonesia yang berlokasi di Morowali, Sulawesi Tengah.
Teknologi tersebut akan dapat mengekstraksi logam-logam nikel, mangan, cobalt, besi, lithium yang terkandung dalam limbah baterai lithium dengan prosentasi pengambilan hingga lebih dari 90%.
“Sedangkan untuk teknologi thermal memerlukan tingkat pembakaran dengan suhu tinggi dan hasilnya masih memerlukan ekstraksi dan pemisahan logam lebih lanjut,” papar dia.
Ia menambahkan, sejak tahun 2019 KLHK sejatinya sudah mengantisipasi timbulan baterai lithium dari KBL. Diperkirakan limbah baterai lithium akan melimpah untuk masa 8 sampai 10 tahun mendatang. Harus diingat, baterai lithium akan menjadi limbah setelah berumur lebih dari 8 tahun, dan tak bisa lagi dipergunakan.
Pengelolaan limbah baterai kendaraan listrik juga hukumnya wajib. Karena, baterai lithium mengandung komponen yang sangat berharga seperti nikel, mangan, cobalt, besi dan lithium. Bahkan, hampir 98% komponen dalam limbah baterai lithium dapat dimanfaatkan.
“Sehingga proses daur ulang menjadi alternatif utama dalam pengelolaan limbah baterai lithium. Hingga saat ini, hampir di seluruh negara limbah baterai lithium dikelola dengan cara dimanfaatkan kembali (daur ulang),” tegas dia.
Nilai Tinggi
Akademisi dan Pengamat Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menganalisa lebih jauh. Dia menekankan, 95–98% komponen dari baterai lithium merupakan barang berharga dan bernilai mahal, meskipun termasuk limbah B3.
Ia memprediksi limbah tersebut baru terasa dalam waktu lima tahun mendatang. Karena, kemampuan baterai lithium di kendaraan listrik bisa bertahan sampai 8 tahun. Jadi, dalam lima tahun dari sekarang, menurutnya akan banyak pemanfaatan limbah baterai lithium, salah satunya solar panel.
“Sebenarnya kalau pemakaian standar 45-60km per hari baterai itu masih bisa digunakan (setelah 8 tahun), tapi daya penyimpanannya berkurang jadi 70–80% maka itu bisa dimanfaatkan untuk solar panel 10 tahun, baru didaur ulang” urai Yannes, Selasa (19/10/2021).
Namun, ia menyayangkan Indonesia belum bisa berkembang jauh soal kendaraan listrik. Padahal, Indonesia sejatinya memiliki sumber nikel terbesar di dunia yang merupakan bahan baterai lithium.
Menurut data Badan Geologi Kementerian ESDM, pada tahun 2019 lalu, total produksi nikel dunia mencapai 2.668.000 ton Ni. Dari jumlah itu, sebanyak 800.000 ton Ni berasal dari Indonesia dan menjadi yang terbesar di dunia. Cadangan nikel Indonesia juga diprediksi tidak akan habis selama 200 tahun ke depan.
Menurut penilaian Yannes, kekhawatiran akan dampak buruk dari baterai kendaraan listrik lebih disuarakan mereka yang tidak senang dengan kehadiran kendaraan jenis ini. Karena kendaraan listrik ini hanya membutuhkan empat komponen utama, yaitu baterai, controller, battery management system dan dinamo atau electric dry train.
“Kalau satu mobil biasa itu ada 700-3000 komponen. Jadi banyak yang terganggu kepentingannya dengan konsep kendaraan listrik ini,” cetus dia.
Sementara, Peneliti BRIN sekaligus Kepala Program Pengembangan Charging Station dan KBL, B2TKE BRIN, Ganesha Tri Chandrasa menyampaikan, pengelolaan limbah memang belum terlalu penting untuk saat ini.
Dia beranggapan, jumlah pengguna kendaraan listrik juga masih sedikit di Tanah Air. Menurut dia, setidaknya harus ada peningkatan pengguna sekitar 100.000 sampai 200.000, baru mengurusi limbah baterai lithium. Justru lebih relevan adalah pemerintah harus memikirkan storage room untuk penyimpanan baterai bekas saat ini.
“Bicara limbah kendaraan listrik masih panjang. Bahayanya hanya satu, jika terbakar saja. Asapnya bahaya. Tapi kalau didiamkan tidak ada bahayanya,” ungkap Ganesh, Selasa (19/10/2021).
Ia menyarankan, untuk jangka pendek perlu diperbanyak charging station di rumah dan umum. Lantaran, sampai saat ini baru tersedia 200 charging station di seluruh Indonesia.
Untuk urusan limbah, Ganesha menilai sejatinya itu merupakan tanggung jawab produsen kendaraan listrik. Karena membuat sarana pengolahan limbah mahal dan lama. Seharusnya produsen yang memilih bahan yang lebih ramah lingkungan dan mudah terurai.
“Kalau seperti Tesla dan Hyundai kan sudah dipikirkan komponennya benar-benar. Jadi konsumen paham bagaimana limbahnya nanti,” tutur Ganesha.
Sayangnya, menurut Ketua Gaikindo, Yongkie D Sugiarto belum ada perusahaan dalam negeri yang memikirkan limbah kendaraan listriknya. Pasalnya, belum banyak juga produsen dalam negeri yang membuat kendaraan listrik.
Ia menjelaskan, selama ini konsumen masih memilih impor untuk mendatangkan kendaraan listrik. Beberapa pabrikan asing juga rencananya akan membangun pabrik di Tanah Air untuk serius membangun industri kendaraan listrik, Hyundai salah satunya.
“Sebelum penggunaan mobil listrik semakin banyak, pemerintah harus memikirkan bagaimana pengelolaan limbah yang baik, dengan mencontoh banyak negara maju yang sudah menggunakannya dalam beberapa tahun,” papar Yongkie, Rabu (20/10/2021).
Di sisi lain, meski peminatnya banyak, untuk jangka dekat ia memprediksi belum akan ada lonjakan pengguna kendaraan listrik yang tinggi. Sejauh ini menurut dua, daya beli masyarakat Indonesia masih di harga mobil Rp250 juta ke bawah.
Sementara kendaraan listrik, khususnya mobil listrik dibandrol dengan cukup mahal yaitu Rp500 jutaan. Jadi, menurut dia fenomena kendaraan listrik menjadi primadona di Tanah Air masih perlu waktu beberapa tahun ke depan.
“Jadi bisa dikatakan saat ini tidak semua masyarakat bisa beli mobil listrik. Sebenarnya potensinya sangat besar, tetapi harganya harus bisa ditekan terlebih dulu,” tandas Yongkie.
Belum lagi, ada keraguan fasilitas pengisian daya ulang baterai yang masih terbatas. Meskipun belakangan ini berbagai perusahaan termasuk pabrikan mobil tengah gencar membangun tempat mobil listrik bisa ngecas.
Di sisi lain, andalnya fasilitas charging di rumah juga masih diragukan banyak pihak. Mobil tanpa emisi tersebut kebanyakan dipasarkan memiliki kapasitas baterai lebih dari 30 kWh atau 30.000 Wh. Sementara berdasarkan riset Institut Teknologi Bandung (ITB), kebanyakan rumah di Indonesia merupakan pelanggan listrik berdaya 450 dan 900 VA.
Hanya delapan jutaan dari total konsumen PLN memasang daya listrik 1.300 VA dan dua jutaan lainnya adalah rumah berdaya 2.200 VA.
Sisanya 900 ribuan lebih adalah pelanggan listrik 3.500 hingga 5.500 VA. Lalu, 200 ribu selebihnya adalah golongan masyarakat yang punya rumah berdaya listrik besar di atas 6.600 VA. Ini artinya mobil listrik baru bisa dinikmati segelintir orang.
Rekomendasi ITB, mobil listrik bisa diisi ulang di rumah dengan konsumen menaikkan daya hingga 2.200 VA. Di bawah itu, misalnya rumah 1.300 VA dinilai mustahil. Karena, hanya bisa mengisi baterai motor listrik karena kapasitasnya kecil dan menyedot daya paling besar 450 watt. Jadi daya listrik rumah paling kecil untuk ngecas motor listrik adalah 900 VA.
Pilihan lainnya, saat mengisi ulang baterai mobil listrik, semua alat elektronik lain harus tak digunakan, agar listrik tidak padam. []