December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Agar Selalu Terarah Saat Marah

4 min read

ApakabarOnline.com – “Braaannggg … !!!” Sebuah motor lewat dengan kecepatan melampaui ambang batas melewati sebuah mobil yang sedang dikendarai seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun. Spion mobil laki-laki tua itu pun jadi korban “senggolan” pengendara motor yang sudah terlanjur berlalu. Refleks, dengan emosi negatif yang menguasai dirinya di tengah kemacetan, klakson ditekan hingga mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring. Beruntung, sebelum sempat sumpah serapah mengiringi amarahnya, anak perempuannya yang duduk di bangku penumpang mengusap pundaknya seraya membujuknya untuk bersabar. “Untung lagi puasa…” ujarnya kemudian.

Amarah jadi salah satu bentuk ekspresi yang menjangkiti seseorang ketika terlibat dalam keadaan yang kurang menyenangkan atau tidak sesuai harapan. Seiring euforia Ramadan yang baru saja disambut umat Islam, amarah jadi hal yang cukup dihindari, selain nafsu untuk makan dan minum, selama menjalankan ibadah puasa. Di sisi lain, banyak pendapat yang menyatakan bahwa menyalurkan amarah sah-sah saja. Bila dipendam, hal itu malahan berakibat buruk bagi kesehatan.

 

Rentang Respons Amarah

Sebenarnya pada kondisi tertentu, marah dapat dikaitkan sebagai bentuk penyaluran energi negatif. Logika tentang amarah yang harus selalu dicegah dan dihindari adalah hasil dari stigma bahwa kemarahan selalu terkait dan berujung kekerasan. Nyatanya, tidak selalu demikian.

Menurut Safaria dan Saputra (2012), marah dapat dikategorikan sebagai suatu emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas saraf simpatik yang tinggi. Pengalaman emosional dari keadaan amarah tidak selamanya mengerucut kepada respons yang antagonis dan bahkan menimbulkan tindakan vandalistis.

Tindakan yang mengandung unsur kekerasan hanya salah satu bentuk respons emosi kemarahan yang maladaptif. Tindakan maladaptif sendiri merupakan kebalikan dari tindakan adaptif. Perilaku adaptif ditunjukkan seseorang ketika ia dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan lingkungan sosialnya. Sementara itu, tindakan maladaptif ditunjukkan saat ia tidak dapat berperilaku sesuai tuntutan lingkungan, dalam hal ini tidak mampu mengelola emosi dengan baik.

Bagaimanapun, seseorang yang diliputi perasaan marah dapat merasa tidak nyaman, jengkel, memiliki rasa permusuhan, sakit hati, menyalahkan, mudah tersinggung, memiliki euforia berlebih yang tidak tepat, hingga rasa ingin berkelahi (Stuart dan Laraia, 2001). Karena itulah, respons kemarahan bersifat fluktuatif dalam rentang adaptif hingga maladaptif, dengan amuk (atau tindakan vandalistis) dan agresif ada di rentang maladaptif. Hal tersebut tergambar dalam rentang respons marah menurut Stuart dan Sundeen (dalam Yunere, 2015) yang dapat dilihat dalam infografik feature image  diatas.

Respons yang paling adaptif ditunjukkan dalam perilaku asertif, yang merupakan ungkapan rasa tidak setuju maupun kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti pihak lain. Tindakan ini memberikan rasa lega pada hal yang berpotensi menimbulkan amarah sehingga tidak menimbulkan masalah. Ketika seseorang berperilaku asertif, seseorang menyampaikan perasaan tidak nyaman yang dialaminya dengan rasa menghargai orang lain.

Rentang selanjutnya setelah asertif adalah pasif, yakni ketika seseorang menanggapi emosinya dengan mengesampingkan hak sendiri dari persepsinya terhadap hak orang lain. Saat seseorang bertindak pasif ketika marah, ia akan berupaya menutupi emosinya sehingga meningkatkan tekanan dalam dirinya. Karena melibatkan pembendungan emosi dalam diri, tindakan pasif dapat mengganggu perkembangan dan kesehatan.

Di tingkat selanjutnya ada respons frustrasi, yang akan terjadi akibat gagalnya pencapaian tujuan seseorang. Keadaan frustrasi akan bertambah berat  apabila keinginan yang tidak berhasil dicapai merupakan hal yang dianggap memiliki nilai tinggi atas kehidupan individu tersebut.

Setelah frustrasi, level yang lebih maladaptif adalah agresif. Seseorang yang agresif merasa harus melakukan persaingan untuk meraih apa yang diinginkannya dan cenderung kurang menghargai orang lain. Perilaku ini cukup berbahaya karena memiliki kecenderungan mengarah kepada kekerasan, baik fisik maupun verbal.

Terakhir, tingkat yang paling bersifat maladaptif dalam rentang respons kemarahan adalah amuk. Dalam tindakan ini, amarah dan rasa bermusuhan terjalin kuat, diiringi hilangnya kontrol diri. Selanjutnya, hal ini akan mengakibatkan seseorang dapat melakukan perusakan, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan.

 

Redam Amarah Supaya Tak Bermasalah

Meskipun memiliki rentang respons tertentu, dengan beberapa tingkat tidak bersifat maladaptif, kemarahan tetap dinilai sebagai sesuatu yang negatif oleh filsuf Lucius Annaeus Seneca. Melalui esainya yang berjudul “De Ira” (“Dalam Kemarahan”), Seneca mendefinisikan amarah sebagai kegilaan yang bersifat sementara. Ia juga mengatakan amarah merupakan emosi paling mengerikan yang dapat mengakibatkan individu kehilangan kontrol diri, kesusilaan, maupun rasa terikat akan sesuatu. Meskipun amarah dapat dibenarkan, tapi sebuah tindakan tidak pernah dilakukan atas dasar amarah.

Alasan kemarahan didasari ketidakpuasan seseorang akan sesuatu, sedangkan menurut Seneca tidak ada manusia yang sempurna sehingga kita tidak seharusnya marah pada kesalahan yang dilakukan diri kita sendiri maupun orang lain karena hal tersebut sangat mungkin terjadi.

Untuk mengalahkan amarah, teknik utama yang disarankan Seneca adalah dengan memalsukan atau menyembunyikan emosi tersebut. Cara ini memang bukan perkara mudah. Namun, kegigihan untuk berfokus kepada energi dalam diri untuk bertindak secara lembut, tenang, atau melangkah dengan pelan dan hati-hati dapat memengaruhi emosi dalam diri seseorang.

Di luar penilaian negatif Seneca tentang amarah, Beck (dalam Yunere 2015) juga memandang amarah secara lebih buruk karena dinilai dapat merangsang kemarahan orang lain di luar diri kita. Bila dikaitkan dengan rentang respons amarah, perilaku marah yang maladaptif cenderung dilakukan dengan penilaian dan kritik terhadap orang lain yang pada akhirnya menyinggung orang tersebut. Rasa sakit hati itu akhirnya membuat target amarah menarik diri dan merasakan munculnya amarah baru dalam dirinya yang akan mengganggu hubungan intrapersonalnya dengan orang yang sebelumnya mengungkapkan amarah.

Pada akhirnya, kemarahan tidak dapat dikatakan sepenuhnya baik atau pun buruk. Hasil riset yang dilakukan Institute for Mental Health Initiative (dalam Safaria dan Saputra, 2012) menjelaskan bahwa amarah bisa juga mendorong kesehatan, setidaknya lebih sehat dibandingkan bila seseorang memendam amarahnya (anger in). Namun, agar tetap sehat, terhadap amarah tersebut tetap harus dilakukan pengendalian sehingga tetap terjaga dan tidak menimbulkan masalah baru. Sudahkah kita bisa mengontrolnya? [Novelia]

Advertisement
Advertisement