Angin Segar Bagi Pelaku UMKM dari Menguatnya Rupiah
JOGJAKARTA—Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mencapai di bawah Rp14.300 pada Jumat (04/01/2019) lalu menunjukkan perbaikan. Selain terhadap dolar AS, rupiah juga menguat terhadap mata uang asing. Kondisi ini menjadi udara segar bagi pelaku usaha kecil di Indonesia, utamanya di bidang kerajinan yang sudah mempunyai pasar internasional.
Menukil pemberitaan Harian Jogja, Pemilik usaha kerajinan tas anyaman serat alam berlabel Jogjavanesia, Indri Wijiyanti menjelaskan menguatnya rupiah membuat keuntungan yang diperoleh semakin besar. Jika dulu ia hanya menjual tas dengan harga di bawah Rp200.000 per buah, sekarang ia bisa meningkatkan harga sampai Rp400.000.
“Buyer [pembeli] juga manut saja untuk harga dan mereka tidak menawar berlebihan,” katanya, Senin (07/01/2019).
Namun kerugian dari menguatnya rupiah adalah harga bahan penunjang pembuatan tas seperti H2O2, cairan antijamur, dan lem menjadi naik drastis. Kenaikannya bisa mencapai 30% dari sebelumnya.
Kendati demikian, perempuan yang menjabat sebagai Koordinator Daerah Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Kulonprogo ini mengatakan jika perajin mau menghitung harga pokok penjualan (HPP) dengan benar, maka pengrajin mendapatkan keuntungan yang besar. Sayangnya selama ini banyak perajin yang menghitung hanya dengan perkiraan.
Sebenarnya, lanjut Indri, penguatan nilai rupiah menjadi kesempatan bagi perajin untuk melakukan inovasi dan memperbarui model produk kerajinan agar semakin dilirik pasar dunia. Terlebih satu buyer luar negeri selalu memesan 200 buah per itemnya. Namun saat ini ia mengalami kesulitan untuk mencari tenaga anyam sehingga tidak semua permintaan dapat dipenuhi.
“Misal pesan 3.000 pieces, kita hanya ambil 1.500 pieces,” katanya.
Bayu Ratna Dhini, perajin tas kulit jumputan air dengan label DB Leather mengatakan penguatan nilai tukar rupiah sangat menguntungkan pemain ekspor yang masih memiliki tunggakan bayar dari buyer. “Plus-nya dari penguatan rupiah ini perajin akan menerima keuntungan tetapi tidak berjalan lama plus-nya ini karena ke minus [kekurangannya] juga ada bahan baku naik sehingga otomatis HPP naik,” kata anggota Perkumpulan Perempuan Wirausaha Indonesia (Perwira) Kota Jogja ini.
Dengan harga bahan baku yang meningkat membuat harga jual semakin tinggi. Untuk sekelas pasar lokal, kondisi ini sangat merugikan sehingga produk perajin tidak banyak diminati pasar lokal.
“Makanya UMKM harus bisa scale up di semua lini. Harus bisa merambah dunia online jadi market lebih besar lagi dan tidak cuma lokal saja. Kuncinya harus konsisten produknya dan kerja keras,” katanya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mengatakan Ardhito Binadi mengatakan dampak positif dari kondisi ini adalah beban impor dan pembayaran utang menjadi berkurang ketika nilai tukar menguat. Defisit neraca transaksi berjalan juga akan berkurang. Menguatnya nilai tukar rupiah seharusnya juga diikuti turunnya harga BBM.
“Minusnya, harga komoditas ekspor akan meningkat. Antisipasinya adalah UMKM harus bijak mengambil keuntungan dari menguatnya nilai tukar rupiah ini untuk efisiensi produksi. Adanya efisiensi produksi ini diharapkan dapat mendorong peningkatan ekspor karena harga komoditas ekspor masih lebih murah,” katanya. []