December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Antara Mengedepankan Protokol Kesehatan, Atau Tancap Gas Mengirim Pekerja Migran

2 min read

JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk terus tancap gas mengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara-negara alternatif dianggap sebagai langkah yang berisiko.

Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah menilai rencana pemberangkatan PMI mesti menunggu saat yang tepat mengingat belum pulihnya kondisi dunia akibat Covid-19.

Pemberangkatan PMI di tengah situasi pandemi, ujarnya, justru berisiko bagi keselamatan pekerja migran dari Indonesia. Menurutnya, pemerintah mesti memberikan alternatif lain bagi PMI selama masa pandemi Covid-19 alih-alih kembali memberangkatkan mereka ke luar negeri.

Sejak Maret hingga Juni 2020, kata Anis, jumlah PMI yang pulang ke Tanah Air mencapai 179.000 orang. Kemudian, PMI yang gagal diberangkatkan 33.000, dan masih terdapat ribuan PMI yang kehilangan pekerjaan tapi belum bisa pulang, termasuk para anak buah kapal (ABK).

Alih-alih memberangkatkan kembali PMI tersebut ke luar negeri demi meningkatkan nilai pengiriman remitansi, Anis menilai lebih baik pemerintah mengeluarkan bantuan, baik tunai maupun sosial, yang disebut-sebut belum banyak diterima oleh PMI terdampak Covid-19.

“Harus memiliki alternatif ekonomi yang dibangun oleh pemerintah untuk membantu PMI terdampak Covid-19 tersebut,” ujar Anis dikutip dari Bisnis.com.

Berdasarkan sampel penelitian yang dilakukan oleh Migrant Care terhadap 1.800 PMI di 9 kabupaten/kota di Tanah Air,  terdapat 35-40 persen dari ratusan ribu PMI terdampak Covid-19 yang alih upaya dengan membuka usaha mikro.

Langkah tersebut diambil oleh para PMI berbekal literasi ekonomi yang dipelajari selama menjalani tugas di luar negeri. Beragam produk yang dijual, di antaranya produk pangan, batik, dan kopi.

“Daripada memberangkatkan mereka kembali di tengah pandemi demi menambah nilai remitansi, Kemenaker lebih baik bekerja sama dengan sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian UKM, Kementerian Desa, dan Kemeterian Perekonomian untuk mendukung usaha yang digerakkan komunitas PMI ini,” kata Anis.

Namun, pakar ketenagakerjaan Universitas Airlangga Hadi Subhan menilai upaya yang dilakukan oleh PMI terdampak Covid-19 tersebut tidak akan banyak mengubah situasi, terutama perihal daya beli.

“Anggaplah mereka mendirikan usaha baru. Namun, di situasi seperti saat ini hal itu tidak akan banyak menolong. Usaha yang sudah ada saja pada mati, apalagi yang baru? Sehingga tumpukan-tumpukan PMI itu akan jadi masalah sendiri di dalam negeri,” kata Subhan kepada Bisnis.

Menurutnya, pemerintah mesti melibatkan swasta sebagai delegator PMI guna menjamin fasilitas yang terjamin. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, jelas Hadi, dinilai masih mempersulit lantaran negara tidak melibatkan pihak swasta dalam pendelegasian PMI.

“Kapasitas pemerintah dalam hal perekrutan serta penempatan PMI sangat terbatas, sehingga harus melibatkan pihak lain. Jika tidak demikian, tidak ada pandemi pun pengiriman remitansi cenderung akan terus turun,” jelasnya.

Hadi menambahkan, masalah lain terkait dengan urusan PMI adalah lemahnya supervisi negara. Hal tersebut dinilai akan mengorbankan hak normatif ataupun konstitutif PMI.

Oleh karena itu, lanjut Hadi, pengawasan terhadap tata laksana PMI mesti diketatkan. Selain itu, harus ada pembinaan yang bertujuan mendorong hadirnya lapangan kerja yang lebih banyak serta dapat membantu pemulihan hak-hak PMI yang terganggu akibat Covid-19. []

Sumber Majalah Bisnis

Advertisement
Advertisement