Arti Kemerdekaan Indonesia bagi Pekerja Migran

JAKARTA – Setiap tahun peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia diperingati meriah mulai dari Istana Negara hingga ke kampung-kampung, bahkan hingga di luar negeri.
Perayaan disambut hangat oleh masyarakat Indonesia. Di luar negeri, peringatan HUT Kemerdekaan RI biasa dilakukan oleh perwakilan RI, termasuk di Konsulat RI Tawau, Sabah, Malaysia.
Pada Minggu 17 Agustus 2025, sejak pukul 06.00 pagi waktu Sabah masyarakat Indonesia yang tinggal di Tawau dan sekitarnya telah memenuhi jalanan di depan Konsulat RI menunggu diijinkan masuk ke halaman tempat upacara.
Mereka datang dengan busana terbaiknya laksana menyambut hari raya Idul Fitri. Bahkan banyak pula yang mengenakan busana adat dari daerah asalnya di Indonesia.
Seorang warga negara Indonesia asal Makassar, Agus, yang tinggal di Lahad Datu yang berjarak tiga jam perjalanan dari Tawau, menyatakan dirinya bersama keluarga selalu hadir dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI. Dia ingin merasakan kemeriahan peringatan tersebut bersama masyarakat Indonesia lainnya yang tinggal di Sabah.
Agus sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Lahad Datu, Sabah. Awalnya ia tinggal di Tawau untuk bekerja sebagai pekerja konstruksi atas ajakan saudaranya.
Dalam perkembangannya, ia pindah dari satu kota ke kota lain di Sabah Timur hingga akhirnya menetap di Lahad Datu. Ia menikah dengan seorang wanita yang juga berasal dari Makassar dan memiliki putra dan putri yang lahir dan besar di Lahad Datu.
Tetap mempertahankan status WNI-nya, Agus menetap di Lahad Datu dengan tanggungan dari istri yang sudah menjadi warga negara Malaysia. Dengan tanggungan istri, Agus tinggal memperpanjang izin tinggalnya di Sabah setiap tahun tanpa khawatir dianggap sebagai pendatang asing tanpa ijin (PATI).
Berkat kerja kerasnya, bahkan sekarang Agus bisa mendirikan tempat kegiatan belajar atau Community Learning Center (CLC) di luar ladang sawit bagi anak-anak pekerja migran Indonesia di Lahad Datu.
Sementara itu berbeda dengan Agus, WNI bernama Jumhar yang juga sudah puluhan tahun tinggal di Sabah, nasibnya tidak sebaik Agus. Jumhar harus berpindah dari satu majikan ke majikan lain sebagai PATI.
Menurut pengakuan Jumhar, ia pernah memiliki paspor Indonesia, namun hilang dan tidak pernah diurus dan dilaporkan ke Konsulat. Tanpa paspor dan dokumen lainnya, ia menetap dan bekerja di Sabah sebagai PATI.
Ia malu pulang ke kampung halamannya, selain karena akan dianggap gagal oleh keluarga dan lingkungannya, di kampungnya pun tidak ada lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, ia sebisa mungkin berupaya untuk menghindar dari kejaran petugas imigrasi Sabah yang kerap melakukan operasi keimigrasian. Ia tidak bisa merdeka untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain, termasuk ke Konsulat untuk menghadiri peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Di tempatnya bekerja, nasibnya sangat bergantung pada majikan yang memberikan pekerjaan. Tanpa paspor dan dokumen lainnya yang sah, tidak ada kemerdekaan di dalam diri Jumhar.
Posisi tawarnya sangat lemah dalam berunding dengan majikan, termasuk meminta upah minimum regional yang seharusnya diterima.
Di Tawau dan berbagai wilayah di Sabah lainnya, orang-orang yang tidak memiliki kemerdekaan seperti Jumhar yang menjadi PATI berjumlah ribuan. Selain alasan kehilangan paspor, para PATI ini masuk ke Sabah karena masuk melalui “jalan tikus”.
Bukan rahasia lagi, sepanjang perbatasan darat dan laut yang memisahkan Sabah dengan Provinsi Kalimantan Utara banyak jalan-jalan tikus yang dapat digunakan untuk masuk ke Sabah.
Mereka masuk ke Sabah tidak sendiri, tetapi kerap dibantu para agen tenaga kerja, baik dari Indonesia ataupun Malaysia sendiri. Mereka ingin masuk ke Sabah karena terdapat peluang untuk bekerja tanpa membutuhkan keahlian tertentu, khususnya di perkebunan sawit.
Sementara itu, pihak majikan, melalui agen tenaga kerja, membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar tanpa dipusingkan dengan urusan dokumen ketenagakerjaan.
Menyikapi hal seperti tersebut di atas, Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah meningkatnya jumlah PATI ke berbagai negara tujuan PMI, termasuk ke Sabah.
Selain meningkatkan pengawasan di perbatasan, upaya yang dilakukan antara lain melalui penggunaan sistem terintegrasi yaitu Sistem Penempatan Satu Kanal seperti yang disepakati Indonesia dan Malaysia tentang Penempatan dan Pelindungan PMI Sektor Domestik.
Melalui sistem penempatan satu kanal, semua penempatan PMI ke Malaysia dilakukan melalui agensi perekrutan Indonesia dan Malaysia yang terdaftar dalam sistem yang terintegrasi.
Di Perwakilan RI seperti di Konsulat RI Tawau, dilakukan upaya pelayanan terpadu bagi PMI seperti melakukan jemput bola penyelesaian masalah yang dihadapi PMI dan melakukan advokasi masalah ketenagakerjaan. Konsulat RI kerap mendatangi kantung-kantung PMI seperti di perkebunan sawit, antara lain untuk melakukan perpanjangan paspor dan pembuatan surat bukti pencatatan kelahiran bagi anak-anak PMI.
Namun demikian, harus diakui bahwa upaya tersebut tak serta merta menghapus akar masalah secara instan soal penempatan dan pelindungan PMI di rantau. Tetapi setidaknya dapat menyusun fondasi menuju kemerdekaan yang lebih kokoh, yang dimulai dari akar rumput hingga melewati batas negara.
Karena bagi PMI, terutama di Sabah, kemerdekaan itu sederhana yaitu bekerja tanpa rasa takut, dapat memperoleh hak-hak yang semestinya dan anak-anak mereka bisa bersekolah dengan baik.
Kemerdekaan sejati sendiri tidak boleh berhenti di batas administratif. Negara dituntut hadir nyata, menjadikan hak dan perlindungan dirasakan oleh seluruh warga negara.
Kemerdekaan harus harus dirasakan semua masyarakat Indonesia, bukan hanya bagi mereka yang tinggal perkotaan atau kampung-kampung di tanah air, tetapi juga hingga wilayah di luar perbatasan, termasuk masyarakat Indonesia yang tinggal di Sabah. []
Sumber ANTARA