Ayam Goreng Anti “Serik” di Tenggorokan
SRAGEN – “Harganya diatas yang biasanya pedagang kali lima jualan, tapi saya jamin ayam gorengnya tidak bikin serik di tenggorokan sebab menggorengnya dengan minyak yang berkualitas pabrikan, bukan curah” tutur Ahmad Turiyanto (34 tahun) combatan Negeri Jiran Malaysia asal Gondang Sragen Jawa Tengah saat mengawali percakapan dengan ApakabarOnline.com kemarin (01/10/2021).
Ditengah situasi pandemi, dengan daya beli masyarakat yang sempat mengalami penurunan lantaran roda perekonomian nyaris lambat berputar, Yanto, sapaan akrab bapak satu anak ini memilih optimis dengan usahanya meskipun sempat mengalami penurunan. Tentu hal tersebut berkaitan dengan situasi daya beli masyarakat dan kebijakan pembatasan sosial terutama diawal masa pandemi.
“Saya mulai jalankan usaha ini kan sejak tahun 17 (2017), jadi bagaimana rasanya sebelum ada corona, saya merasakan manisnya, lalu datang corona saya merasakan getirnya, dan alhamdulilah sekarang mulai ada peningkatan meskipun belum bisa seperti jaman sebelum corona” lanjutnya.
Saat sebelum pandemi Corona mendera Indonesia, tahun 2018-2019 bagi Yanto merupakan masa kejayaan usahanya. Dengan mengedepankan jargon “ayam goreng sehat” tanpa membuat serik di tenggorokan, setengah tahun dijalankan, omset penjualan Yanto rata-rata bisa menghabiskan 30 kilo sayap dan paha.
“Saya hanya menjual sayap dan paha saja” terangnya.
Dibanding dengan ayam goreng berselimutkan tepung atau yang populer disebut fried chicken lapak kaki lima lainnya, ayam goreng Yanto tergolong lebih tinggi banderol harganya.
“Awalnya banyak orang maido mas. Tapi ya biarlah, untuk mendapatkan rasa dan kualitas yang bagus, biaya produksinya kan juga lebih mahal, otomatis saya njualnya kan diatas rata-rata ayam goreng tepung kaki lima lainnya. “ imbuhnya.
Butuh 6 bulanan bagi Yanto mempenalkan ayam gorengnya sampai memiliki banyak pelanggan.
“Alhamdulilah mereka yang telah merasakan, peduli dengan kualitas makanan yang ramah untuk kesehatan serta terutama yang memiliki wawasan tentang nutrisi dan keamanan pangan, banyak yang kembali dan turut mempromosikan” lanjut Yanto.
Dengan omset rata-rata 30 kilo sayap dan paha sebelum pandemi, setiap lampu gerobaknya dimatikan pada pukul 10-an malam, Yanto bisa membawa pulang keuntungan bersih rata-rata 500 ribu rupiah.
Namun saat pandemi melanda, beberapa waktu lamanya Yanto terpaksa tidak bisa berjualan. Bahkan saat awal berjualanpun, Yanto justru merugi, sebab tidak semua dagangannya laku terjual.
“Padahal awal jualan saya hanya bawa 5 kilo saja. Itupun pas pulang, masih banyak sisanya, dan uangnya tidak bisa menutup modal. Kan jam 8 malam sudah harus kukut dan pulang mas” terangnya.
Jika teman-teman Yanto mendatangi bank pemerintah karena mendapat uang bantuan, berbeda dengan Yanto, mendatangi bank pemerintah untuk mencari pinjaman modal, karena selama tiga bulan sama sekali tidak berjualan, 5 bulan berjualan tidak menguntungkan, perekonomian rumah tangganya sampai kembang kempis meskipun hanya sekedar untuk membayar tagihan listrik bulanan.
“Ngenesnya mas, saya beberapa kali daftar bantuan, tapi tidak pernah dapat. Akhirnya saya ke BRI ngutang KUR itu, dikasih 20 juta. Teman-teman saya pada dapat beberapa kali, sejak bantuan nilainya 2,4 juta dulu serumah dapat 3, tahun ini dapat lagi. Gimana ya pemerintah itu ngatur penentuan mana yang memerlukan mana yang tidak” lanjutnya.
Dengan kucuran modal 20 juta, kini Yanto kembali membangkitkan usahanya. Yanto menyebut, usahanya saat ini merupakan tahap kedua setelah tahap pertama yang dia rintis sejak tahun 2017 telah dianggap runtuh.
Di tahap kedua ini, Yanto mengaku melakukan beberapa inovasi.
“Dulu saya jualan hanya dengan mangkal disini saja. Sekarang saya jualannya selain mangkal disini, juga lewat online mas.” Terang Yanto.
Tiga bulan menjalankan usaha dengan memadukan metode offline dan online, Yanto mengaku mulai menemukan titik terang.
“Alhamdulilah, usaha saya mulai menggeliat mas. Sekarang, dengan dijual offline mangkal disini dan online lewat facebook, setiap hari rata-rata saya kembali menghabiskan 30 kilo lagi. Bahkan pernah sampai lebih dari 50 kilo pas banyak pesanan dari ormas, dari parpol. “ aku Yanto.
“Jadi saya lebih banyak melibatkan istri saya. Jika ada pesanan, yang ngantar istri saya, saya yang jaga disini untuk menggoreng. Lha wong istri saya tidak mau disuruh jaga dan handle masakan, katanya tidak bisa dan takut rasanya tidak enak” lanjutnya
Mengakhiri pertemuan dengan Yanto, saat diminta untuk membagikan tips dan trik menjalankan wira usaha agar bukan sekedar bisa bertahan, tetapi juga bisa berkembang, yanto dengan spontan menyatakan “inovatif” sebagai kunci utama setelah sikap dan sifat tidak mudah menyerah menjadi semangatnya. []