April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bahaya Laten Era Kebebasan Informasi Hingga Lompatan Teknologi

4 min read

JAKARTA – Secara fisik Putu Wijaya kini memang tak seperti dulu, kursi roda sudah menjadi temannya dalam keseharian, akan tetapi jiwanya justru makin muda. Geloranya dalam berkarya tak diragukan lagi. Meski Putu dikenal sebagai sastrawan, novelis hingga sutradara teater, siapa nyana, jika sebenarnya Putu bergelar Sarjana Hukum.

Jelang pemilu 2024, Putu berharap elite bertanggung jawab membina rakyat dari muda hingga tua di era kemajuan teknologi saat ini, bahaya laten dari kebebasan informasi dan lompatan teknologi adalah tidak semua orang siap seperti orang yang berpendidikan rendah dan rakyat Indonesia yang tinggal di wilayah terluar Indonesia, yang tidak siap akan menghadapi kekacauan, munculnya aliran sesat, bunuh diri, banyak orang yang tidak bermoral, dan yang paling bahaya adalah disintergarasi bangsa, munculnya perpecahan hingga pemberontakan.

“Jangan musuhi mereka yang tak siap dengan lompatan teknologi, rangkul mereka agar mereka merasa disayangi dan dilindungi, ini menjadi peran bersama, kita harus punya kesadaran, apalagi mereka yang sudah dipilih oleh rakyat, para elite anggota DPR hingga eksekutif juga harus punya tanggung jawab mengayomi mereka,” jelasnya dinukil dari Law-Juctice, Rabu (4/01/2023).

”Saya bukan pengamat politik, tapi ada isu besar yang kadang tidak menjadi sorotan dari elite dan kaum intelektual, salah satunya tanggung jawab terhadap orang-orang yang tak siap menghadapi kemajuan teknologi, semua orang memegang ponsel dan mudah dalam menerima informasi, ada orang yang bisa menyaring tapi ada orang yang menelan mentah-mentah informasi, kita harus bantu mereka untuk memilah dan memilih infomasi yang tepat untuk mereka,” katanya.

Putu mengungkap tidak semua orang siap menerima lompatan teknologi saat ini. “Bagi yang siap dengan lompatan teknologi luar biasa ini akan merasa tertolong karena kemudahan yang bisa dinikmati, tapi tidak bagi mereka yang belum siap, mereka akan kebingungan, efek dari lompatan teknologi bisa membuat terbentuknya aliran-aliran sesat,” ujarnya.

“Dulu informasi untuk masyarakat dibatasi, saat ini informasi begitu deras, membabi buta, bertubi-tubi tanpa halangan diterima masyakat, hal ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk membantu mereka yang belum siap dengan kemajuan teknologi, jangan musuhi mereka, mereka harus ditemani dan di bimbing,” tukasnya.

Putu mengingatkan, agar media tak sembarangan dalam menyampaikan informasi, pikirkan efek baik dan buruk yang terjadi dengan informasi yang disampaikan ke masyarakat.” Dulu hanya media yang bisa bikin berita, sekarang semua orang bisa dbikin berita, hati-hati dalam menyampaikan informasi agar tidak menyesatkan,” jelas dia.

Putu menyebut ada jebakan dalam menerima kebebasan informasi, dalam informasi ada yang baik dan tidak baik, ada hukum, dan kepatutan. “Informasi yang tidak benar akan merusak moral rakyat, sebab semua orang sekarang mabuk viral, mengejar traffic agar banyak pembaca, tapi banyak yang tidak punya tanggung jawab dalam memberi informasi,” ucap Seniman Bergelar Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Gajahmada.

Tak pelak, perhatiannya pada dunia hukum Indonesia juga tak lepas dari sorot Putu, sebagai lulusan Fakultas hukum sekaligus wartawan senior, putu merasa kebasan pers saat ini tetap harus dalam pengawasan dan tidak kebablasan. “ Ini era dimana media sudah sangat terbuka, sudah sepantasnya hukum melindungi semua orang dan juga harus menghargai kemerdekaan orang, undang-undang ada untuk masyarakat, untuk itu keadilan harus dirasakan oleh masyarakat, bukan tajam kebawah tumpul keatas,” tukasnya.

Perlu diketahui, Sebelum meraih gelar SH Putu juga belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama satu tahun, yaitu tahun 1964, meski bergelar SH nyatanya Putu justru memelintir nasibnya menjadi budayawan, dan menjadi piawai di bidang susastraan.

Tak perlu ditanya kecintaannya dalam berteater, Putu memulai debut pentas teaternya sejak 1967 naskah Putu Wijaya yang berjudul Lautan Bernyanyi mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon.

Pria kelahiran 11 April 1944 memang piawai dalam dalam melakukan dekonstruksi dalam setiap karyanya, karyanya kerap membanjiri kepala penikmatnya dengan hal yang terduga, kadang tema yang kurang popular dan asing di telinga. Alih-alih aneh dan Ajaib sebagian karya-karya Putu menggambarkan dunia yang jungkir balik. Siluet menjadi media imajinasi Putu yang tak mudah diterka.

Putu Wijaya dikenal sebagai dramawan, novelis, cerpenis, dan wartawan. Menulis bagi Putu adalah cara untuk mengenang siapapun yang telah memberi kontribusi bagi hidup dan karya-karyanya. Sebab bagi Putu, menulis bukan hanya sekedar bercerita, tetapi juga mengemukakan pendapat dengan strategi yang diperhitungkan namun tanpa kehilangan rasa dan spontanitas.

Seabrek karya teater Putu Wijaya, antara lain, Lautan Bernyanyi (1967), Aduh (1973), Anu (1974), Dag Dig Dug (1976), Edan (1977), dan Gerr (1986). Ia juga menulis buku berisi kumpulan puisi yang berjudul Dadaku adalah Perisaiku, terbit pada tahun 1974.

Judul cerita pendek Putu Wijaya, diantaranya Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), dan Klop (2010). Ia juga menulis banyak novel yang mendapat sambutan luas. Novel-novel tersebut ialah Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Ms (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Nyali (1983), Pol (1987), Perang (1995), dan Mala Tetralogi Dangdut (2008).

Ini yang mungkin tak dilakukan banyak orang, meski punya gelar Ningrat dengan kasta tertinggi di Bali, Pra bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya ogah menepuk dadanya dan menunjukkan diri kalau dirinya ‘berdarah biru’, Putu merasa memakai gelar kebangsawanan kurang egaliter, Putu khawatir dirinya merasa lebih baik dari orang lain.[]

Sumber Putu Wijaya, Budayawan

 

 

Advertisement
Advertisement