April 16, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bayang-Bayang Kriminalisasi Sederet Pasal Kontroversial Dalam RKUHP

8 min read
Mahasiswa gabungan dari berbagai perguruan tinggi serta pelajar berunjuk rasa dengan menggelar aksi teatrikal di Alun-alun Serang, Banten, Jumat (27/9/2019). ANTARAFOTO/Weli Ayu Rejeki

Mahasiswa gabungan dari berbagai perguruan tinggi serta pelajar berunjuk rasa dengan menggelar aksi teatrikal di Alun-alun Serang, Banten, Jumat (27/9/2019). ANTARAFOTO/Weli Ayu Rejeki

JAKARTA – Gelombang unjuk rasa yang dimotori para mahasiswa telah berimbas pada penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rancangan beleid itu banyak menuai kritik karena bertabur pasal yang kontroversial.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan sepaham soal pasal kontroversial ini. Seperti yang disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung kepada sejumlah media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 0(2/10/2019). Presiden telah meminta pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengeluarkan pasal-pasal kontroversial dari RKUHP. Jokowi tak ingin ada pasal multitafsir.

Ini menguatkan pernyataan Jokowi sebelumnya, Jumat (20/09/2019) lalu di Istana Bogor. Saat itu, Jokowi tak hanya menyerukan penundaan, tapi juga ingin ada pengkajian ulang setidaknya terhadap 14 pasal yang dianggap bermasalah.

Keberadaan RKUHP sejak awal memang sudah ditentang masyarakat. Walau memiliki semangat memurnikan KUHP dari unsur kolonial, nyatanya sejumlah pasal RKUHP dinilai masih rawan kriminalisasi, mengancam kebebasan berpendapat, hingga dianggap terlalu jauh mencampuri ranah pribadi.

Salah satu pasal yang terlalu dalam masuk ranah pribadi disebut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati adalah terkait pasal perzinaan dan kohabitasi atau yang biasa disebut kumpul kebo.

Pasal yang tercantum dalam BAB XV Tindak Pidana Kesusilaan RKUHP itu, kata dia, dapat memicu penegakan moral individu yang harusnya tak perlu diatur Negara.

Dalam Pasal 417 ayat 1 yang mengatur soal perzinaan, misalnya, disebutkan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda Kategori II (Rp10 juta seperti yang diatur dalam Pasal 79 RKUHP).

Sementara dalam ayat di Pasal 419 yang mengatur soal kohabitasi tertulis, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami dan istri di luar perkawinan, dipidana dengan penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

“Ini kan sudah masuk ranah pribadi. Kenapa Negara harus lagi memasukan ke pasal pidana,” katanya, Rabu (03/10/2019).

Hal lain yang perlu disoroti dari Pasal 419 adalah perluasan delik aduan. Pengaduan kumpul kebo kini bisa diajukan oleh kepala desa atau pejabat sejenis lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang diadukan.

“Sebelumnya kan aduan perilaku ini hanya boleh dilakukan oleh suami, istri, dan orang tua. Sekarang justru diperluas dengan diperbolehkannya kepala desa. Perluasan ini bisa menimbulkan kesewenang-wenangan atau over-kriminalisasi,” ucap Asfinawati.

 

Pendidikan Seks

Dirinya tak menyanggah kalau perbuatan zina berdasarkan norma sosial dan agama merupakan perbuatan tercela. Meski demikian, pihak berpendapat, tak semua perbuatan tercela perlu dikategorikan sebagai tindak pidana.

Menurutnya, hukum pidana tidak bisa diposisikan sebagai solusi dalam membenahi persoalan sosial. Melainkan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir, jika institusi sosial seperti lembaga pendidikan tak lagi berfungsi.

“Cara mengatasinya tak perlu pakai pasal, tapi dapat melalui pendidikan seks yang memadai. Sedangkan untuk bidang moral dan etika, pemuka-pemuka agama dapat memberikan penyuluhan dengan cara masing-masing,” tuturnya.

Apalagi saat ini pemerintah telah berkomitmen menghilangkan perkawinan usia dini, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Aturan ini meningkatkan batasan usia pernikahan berumur 21 tahun.

“Pasal-pasal itu dapat meningkatkan peningkatan jumlah perkawinan pada anak, karena daripada anaknya ditangkap akibat berzina atau kumpul kebo lebih baik dinikahkan,” tambahnya.

Selain itu, kedua pasal akan berdampak pada pasangan miskin ataupun masyarakat yang tidak memiliki dokumen resmi yang menyatakan keduanya pasangan suami istri. Di Indonesia, kata dia, masih banyak sekali terdapat perkawinan-perkawinan yang tidak tercatatkan.

Pasal-pasal yang mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, juga dinilai Asfinawati kontraproduktif dengan usaha penanggulangan penyakit HIV/AIDS. Menurutnya, transmisi HIV justru paling tinggi terjadi pada orang yang sudah menikah.

“Sedangkan dalam RKUHP yang dikriminalisasi justru persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dengan alasan mencegah risiko transmisi penyakit tersebut. Padahal, ikatan perkawinan tidak dapat menjamin bahwa perilaku berisiko (penularan HIV) tidak dilakukan,” ucapnya.

 

Penjara Penuh

Dirinya juga mengingatkan dampak yang akan terjadi jika RKHUP ini benar-benar diimplementasikan. Salah satunya adalah bertambahnya pidana pemenjaraan di RKHUP itu. Padahal saat ini banyak penjara atau lembaga pemasyarakatan banyak yang sudah penuh.

Menurut dia, sistem pemidanaan dengan memenjarakan, seharusnya tidak selalu dipakai dalam setiap perkara. Ini demi mengurangi jumlah warga binaan di lembaga pemasyarakatan.

“Kalau hal-hal yang receh kaya gini masuk ranah pidana, aparat penegak hukum bisa kewalahan dan berakibat semakin sesaknya penjara,” ungkapnya.

Asfinawati juga menilai banyak pasal dalam RKUHP yang mengganggu kebebasan sipil, berpendapat, dan beragama. Kebebasan pers juga terkekang oleh sejumlah pasal, seperti larangan merekam persidangan berlangsung, larangan menghina presiden, dan makar.

“Ini menghalang-halangi kebebasan sipil. Sejak 1998, Indonesia memilih jalur hak asasi manusia (HAM), demokrasi,” kata dia.

Untuk itu, pihaknya meminta kepada pemerintah dan DPR periode baru untuk melakukan penerjemahan secara resmi terhadap KUHP yang berlaku saat ini.  Kemudian, mengevaluasi naskah KUHP yang telah diterjemahkan secara resmi untuk memilah ketentuan mana yang dapat diprioritaskan untuk diubah atau dihapus berdasarkan hasil evaluasi tersebut.

“Melakukan pembahasan revisi KUHP dengan menetapkan isu-isu yang dianggap prioritas dan melibatkan ahli-ahli dan badan/lembaga pada seluruh bidang terkait termasuk ahli kesehatan dan mengadopsi pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy),” ucapnya.

Hal senada disampaikan Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Dia menilai Pasal 417 dan Pasal 419 dalam RKHUP jelas mengintervensi privasi warga negara.

Kedua pasal tersebut juga dapat membuat masyarakat menjadi leluasa untuk main hakim sendiri, apabila menemukan pasangan kumpul kebo ataupun berzina. Karena yang mereka tahu, perilaku tersebut adalah bentuk kesalahan.

Dikhawatirkan, masyarakat melupakan delik aduan. Padahal mereka yang melakukan intimidasi dengan menggerebek dan memasuki rumah atau pekarangan orang lain secara jelas bukan pihak yang berwenang untuk mengadukan kasus perzinaan. Jadi, mereka dapat dikenakan Pasal 277 ayat (1) RKUHP itu, karena telah mengganggu ketertiban dan ketenteraman umum.

“Ini yang bahaya karena hukum pidana enggak boleh mengakomodasi kepentingan golongan tertentu, harus jelas apa yang hendak dilindungi. Kalau melindungi moralitas kan repot, karena moralitas akan sangat berbeda satu dengan yang lainnya,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, tindakan intimidasi terhadap dugaan kasus perzinaan sebenarnya juga telah terjadi sebelum adanya wacana dan pembahasan perluasan delik zina dalam RKUHP. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah membiarkan dengan sengaja kesalahan berpikir, baik dalam hal penegakan hukum ataupun persekusi.

Menurutnya, pengaturan pasal perzinaan dan kumpul kebo dalam RKUHP tanpa disertai pertimbangan yang matang bakal membahayakan 40 hingga 50 juta anggota masyarakat adat, serta 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin. Dia memandang itu sangat bisa terjadi, mengingat ada kesulitan untuk membuat pencatatan perkawinan bagi kalangan tertentu.

“Tanpa sosialisasi yang jelas, laporan dari kepala desa untuk tindak pidana kesusilaan seperti kohabitasi (hidup bersama di luar perkawinan) berpotensi memidanakan 40% remaja yang sudah melakukan aktivitas seksual,” ucapnya.

Kawin cepat, kata Eras, akhirnya akan menjadi pilihan rasional untuk menghindari penjara. Hal ini akan berdampak pada anak perempuan yang hamil di usia terlalu muda, meningkatkan risiko kematian ibu, kematian bayi, dan stunting.

Selain itu, jika pasal dalam RKUHP ini jadi diberlakukan, kriminalisasi terhadap perzinaan akan mengurangi efektivitas hukum terhadap kasus perkosaan. Ketika perempuan korban perkosaan sulit membuktikan tindak pidana yang dialaminya, perempuan tersebut dapat dituduh melakukan perzinaan.

Untuk itu, ICJR mendorong pemerintah dan DPR untuk kembali membahas secara terbuka, khususnya terkait pasal-pasal dalam RKUHP untuk menentukan perlu atau tidaknya pasal tersebut dalam RKHUP.

Bagi ICJR sendiri, pasal yang menyangkut privasi warga negara, tidak perlu dimasukan dalam RKHUP. Karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

 

Pasal Diskriminatif

Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus memandang, keberadaan Pasal 419 dalam RKUHP akan membuat kaum perempuan semakin terdesak. Sebab Indonesia masih kental dengan budaya patriarki, di mana bias gender terjadi dan perspektif soal perempuan adalah sumber kesalahan dan ‘bencana’.

“Di masyarakat itu kan masih banyak praktik diskriminatif. Kehadiran pasal ini lebih memperburuk praktik diskriminasi (terhadap perempuan),” sebutnya.

Magdalena menambahkan, perempuan-perempuan yang terikat dalam perkawinan adat ataupun penghayat kepercayaan juga berpotensi dikriminalisasi. Pasalnya, perkawinan mereka tak tercatat secara hukum.

Pasal lain yang akan memberatkan perempuan adalah soal larangan seorang ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anaknya atau aborsi. Magdalena menekankan, di sini perempuan menjadi fokus untuk dikenakan tindakan pidana jika menghentikan kehamilannya. Sementara pihak lain yang menyebabkan kehamilan, tak tersentuh hukum sama sekali.

Dalam pandangan Komnas Perempuan, aturan soal aborsi harus melihat titik persoalannya secara komprehensif. Misalnya terkait alasan pengguguran. Nah, yang jadi masalah, pasal RKUHP hanya mengasumsikan soal aborsi akibat hubungan yang tidak diinginkan.

“Dia menggugurkan kandungannya kenapa? Bisa juga karena korban perkosaan, bisa jadi dia dipaksa, atau dipaksa oleh pasangannya, atau pacarnya atau bagaimana. Tidak bisa dia digeneralisasi seseorang yang melakukan pengguguran kandungan,” ucapnya.

Untuk itu, Komnas Perempuan mengharapkan agar ada pembahasan menyeluruh di setiap pasal. Khususnya yang berpotensi tinggi merugikan perempuan dan kaum rentan lainnya seperti kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat kelompok adat, serta penghayat kepercayaan.

Di sisi lain, pasal-pasal itu memang diperlukan. Hanya saja, pembahasan ulang RKUHP itu juga mesti dikaitkan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RKUHP, kata Magdalena, harus disinkronkan dan harmonis dengan rancangan yang mencakup 9 bentuk kekerasan seksual itu.

Adapun 9 bentuk kekerasan seksual itu, kata dia, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

Begitu pula dengan pasal soal pengguguran kehamilan. Harus ada sinkronisasi perlindungan pemerkosaan, sebagaimana yang termaktub dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 

Aturan Konyol

Anggota DPR Arsul Sani justru menanggapi santai penilaian masyarakat terhadap RKUHP. Menurutnya, masyarakat hanya belum memahami secara saksama pasal-pasal yang dinilai mereka memicu kontroversi.

Arsul mencontohkan, salah satu pasal yang dianggap bernilai kontroversial yaitu pada Pasal 419 yang mengatur soal kumpul kebo tanpa adanya status pernikahan. Pada ayat 1 memang menyatakan, jika setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan, maka akan dikenakan tindak pidana pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak kategori II.

Namun, hal yang patut dicermati masyarakat, ucapnya, di ayat 2 dalam pasal tersebut sudah diterangkan ihwal bagaimana mekanisme secara rinci agar tindakan pidana tersebut bisa diproses. Arsul menjelaskan, agar pasal di atas bisa diproses hukum pidana, syarat di ayat itu harus terpenuhi.

Hal ini bisa ditindaklanjuti jika ada pengaduan dari suami, istri, orang tua atau anak dari terduga pelaku. Bahkan dalam pasal 3, pengaduan ini juga bisa dilakukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lain.

“Ini bisa, sepanjang tidak ada keberatan dari suami, istri, orang tua atau anaknya tadi,” kata Arsul.

Dia juga ikut mencontohkan Pasal 278 tentang unggas di pekarangan orang lain. Pasal tersebut menyebutkan, bahwa setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berkeliaran tanpa pengawasan, akan dikenakan denda. Untuk ini pemiliknya tersebut akan diancam dengan tindak pidana berupa denda sebesar Rp10 juta.

Pengaturan unggas ini diamati Arsul justru dianggap banyak masyarakat konyol dan nyeleneh. Padahal kalau mau dicermati lagi, pasal ini perlu karena lebih menyoroti jenis hewan ternak yang memasuki lahan atau kebun masyarakat yang ditaburi benih atau tanaman.

“Bukan semua hewan ke pekarangan juga, tapi yang mengganggu. Jadi ini yang harus dipahami betul,” kata dia.

Dia mengingatkan, RKHUP ini terdiri dari dua buku yakni buku I dan buku II. Untuk buku I jelas dia harus diikuti penyesuaian dari undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Penyesuaian ini berupa hal-hal yang menyangkut aturan terkait pemberlakukan hukum pidana dari masing-masing aturan.

“Jadi kita sepakat bahwa buku I ini menjadi konstitusinya hukum pidana di Indonesia. UU yang lain itu yah harus menyesuaikan pelaksanaannya,” terang dia.

Arsul mengatakan bahwa jika buku I ini akan menjadi rujukan bagi pelaksanaan undang-undang lain. Sementara di buku II kata dia, berisi penjelasan soal ancaman pidana yang lebih terperinci lagi.

“Kalau nanti ada UU lain yang tidak sesuai, ya, harus menyesuaikan besarannya itu,” tegasnya.

Sayangnya, RKUHP yang tadinya akan disahkan pada 24 September lalu batal karena banyaknya penolakan. Sebagai solusi lanjut, Arsul pihak DPR bersama pemerintah ke depannya akan membahas penyesuaian ini. [] (Fuad Rizky, Yatti Febri Ningsih, Shanies Tri Pinasthi)

Advertisement
Advertisement