April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Belajar Mengatasi Kesulitan Hidup, Kunci Sukses Kuliah di UTHK

5 min read
Mahasiswi UTHK (foto Wijiati - ApakabarOnline.com)

Mahasiswi UTHK (foto Wijiati - ApakabarOnline.com)

HONG KONG – Cara pandang setiap orang tentang idealnya menuntut ilmu memang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tentu tidak bisa lepas dari konsep diri (Self Concept) yang dimiliki setiap orang serta self esteem masing-masing. Kedua, tempaan pengalaman sekaligus pengetahuan yang berkesan dan menjadi pegangan dalam hidup sehari-hari, juga tidak kalah kuat mewarnai pilihan serta pandangan seseorang dalam memandang apa serta bagaimana  menuntut ilmu.

Namun andaikan kembali pada pandangan ideal yang ditanamkan sejak kecil, sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak, seseorang telah dibangun sekaligus dibentuk konsep dirinya dalam memandang masa depan. Minimal dengan nasehat “sekolah yang tinggi ya, sekolah yang rajin ya” hingga terbangunnya sebuah cita-cita “nanti kalau besar saya mau menjadi guru, kalau besar saya mau menjadi dokter, tentara, wartawan” yang berkonotasi pada bukan sekedar profesi, melainkan peran ideal dari hasil menuntut ilmu dalam kehidupan seseorang.

Setelah dewasa, apakah tetap seideal saat masih dibangun di bangku sekolah dasar atau TK ?

Tidak semuanya bisa memiliki kesempatan untuk melaluinya dengan ideal. Kenyataan hidup sehari-hari, lebih menjadi penentu apakah seseorang masih tetap berminat dengan kata-kata menuntut ilmu, bagaimana dan ke arah mana proses menuntut ilmu dilakukan.

Penulis merupakan salah satunya, mengalami perjalanan tidak ideal sebagaimana teman-teman yang menjadi pekerja migran harus menggantungkan cita-citanya di langit-langit kehidupan sehari-harinya.

Setamat Madrasah Aliyah, mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri, lolos diterima di jurusan Komunikasi Universitas Gajah Mada. Namun kenyataan hidup serta keinginan bagaimana menjalani hidup lebih menentukan. Ketiadaan biaya, memaksa penulis untuk melakoni kuliah sambil bekerja. Dan tentu saja hijaunya pengalaman penulis, membuat terlempar dari almamater di Kota Gudeg tersebut.

Setahun berselang, setelah mempersiapkan diri secara lahir dan batin, penulis kembali merajut harap, memasuki bangku perguruan tinggi di Kota Malang. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang menjadi pilihan. Dan alhamdulilah, melihat nilai yang tertera di Danem dan Ijazah, penulis diterima tanpa tes.

Di kota Malang inilah perjuangan berlangsung. Kuliah di universitas swasta tentu besar biayanya. Namun hal tersebut telah menjadi pilihan. Dengan alasan, waktu kuliah bisa disesuaikan dengan rutinitas pekerjaan, menjadi pengemudi angkutan kota alias mikrolet. Gak keren kan ? “Mahasiswa kok nyopir mikrolet” kalimat tersebut akrab sekali terlantun di telinga penulis hampir setiap hari.

Dua tahun lamanya penulis melakoni sebelum akhirnya terjadi pergeseran dari menjadi sopir dalam mendapatkan uang, beralih menjadi penulis dan penterjemah untuk membiayai kuliah dan biaya hidup Kota Malang sehari-hari. Hingga akhirnya Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Prof. A. Malik Fajar Msc pada saat itu menggeser tali di topi toga penulis sebagai tanda telah berhasil lulus meraih gelar Sarjana Psikologi lima tahun kemudian dengan IPK 3.2 saja.

 

Sari Narulita, Alumi Mahasiswa UTHK Sukses Jadi Pengajar di Indonesia

 

Secara mental, penulis berjuang menghadapi dua hal utama. Pertama harus siap  bekerja sambil kuliah dengan berbagai konsekwensinya, terkait dengan perkembangan usia dengan kebutuhan psikologis yang menyertai, serta kedua kesiapan mental untuk berbagi waktu antara bekerja dengan study.

Bagi teman-teman pekerja migran di negara penempatan manapun, kondisi yang dialami penulis tentu memiliki persamaan dengan yang dilakoni para pekerja migran yang menyempatkan waktunya untuk melakukan upgrading capacity dengan melanjutkan study di bangku perguruan tinggi.

Banyak keistimewaan-keistimewaan yang tidak didapatkan oleh mereka-mereka yang menempuh pendidikan tinggi secara konvensional di tanah air. Terbatasnya waktu, tekanan beban study, hingga tekanan sosial dari teman dan lingkungan yang tidak sepaham dalam memandang apa itu menuntut ilmu sejatinya merupakan tempaan yang apabila kita mampu menyelesaikan, kualitas diri yang luar biasa akan kalian dapatkan.

Sebab, faktanya sebagaimana disampaikan oleh Heru Budi Setyawan, seorang pengamat pendidikan, dengan tegas menyatakan bahwa kunci keberhasilan kuliah di UT adalah kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Dan ketika lulus, sudah barang tentu terbekali dengan kelebihan mampu mengatasi persoalan hidup.

Tidak seperti mahasiswa perguruan tinggi konvensional, untuk menjadi mahasiswa UT memang dibutuhkan mental baja bin pantang menyerah, jangan harap mahasiswa model anak mama yang bermental suka mengeluh dan mudah menyerah menjadi mahasiswa UT, mahasiswa model begini akan sulit belajar mandiri di UT.

Heru mengemukakan, setidaknya kuliah di UT itu memiliki lima keuntungan yang tidak didapatkan di perguruan tinggi konvensional. Keuntungan tersebut adalah :

Pertama, kuliah di UT itu nyaman, karena belajar bisa kapan saja dan dimana saja (seperti slogan salah satu iklan minuman soft drink) tidak seperti kuliah di universitas konvensional yang harus membutuhkan tatap muka dengan dosen, membutuhkan pentingnya daftar kehadiran dan memerlukan ruang belajar. Dan UT ini sangat cocok bagi mereka yang bekerja sambil kuliah.

Kedua, kuliah di UT itu tidak mengganggu aktivitas kerja kita, karena waktu Ujian Akhir Semester (UAS) dilaksanakan pada hari minggu, sedang untuk Tugas Akhir Program (TAP) dilaksanakan pada hari sabtu. Selama penulis kuliah di UT tidak per­nah ijin, kecuali sewaktu wisuda. Dengan kuliah di UT, kita tidak membuat repot pimpinan kita, karena kita tidak pernah ijin.

 

Tanpa Diduga, Mahasiswi Asal Hong Kong Teman Kuliah Hanif Adalah Putri Majikan Ibunya

 

Ketiga, biaya kuliah di UT itu relatif lebih murah dibandingkan dengan perguruan tinggi konvensional, hal ini mudah dipahami, karena di UT tidak dibutuhkan dosen, kecuali untuk yang membutuhkan tutor dan di UT tidak ada pungutan uang gedung. Pada tahun 2009 penulis hanya mengeluarkan uang sekitar satu juta lima ratus ribu sudah terdaftar menjadi mahasiswa UT dengan mengambil SKS 20 kredit dan mendapat, jas almamater, beaya masa orientasi kuliah, modul dan katalog.

Keempat, kuliah di UT membuat kita menjadi pribadi yang mandiri dan disiplin, karena kita dituntut untuk belajar ekstra keras, serta rintangan lebih berat dibanding dengan di universitas konvensional. Bahkan menurut penulis, kuliah di UT itu menambah semangat belajar, karena teman-teman kita banyak yang sudah tua-tua masih semangat belajar, ini akan membuat kita juga tambah semangat belajar.

Kelima, UT itu universitas negeri, maka ijasahnya resmi dan tidak diragukan lagi. Kualitas UT juga bagus, karena standar kelulusan UT ini tinggi dengan alasan tidak ada tatap muka, jadi tidak ada nilai kehadiran atau nilai kasihan, kalau tidak lulus ya tidak lulus tidak ada istilah remedial. Apalagi sekarang banyak ditemukan perguruan tinggi abal-abal yang jumlahnya lebih dari dua ratus seperti yang diumumkan oleh Kemendikbud beberapa hari yang lalu.

So, meskipun menjadi seorang pekerja migran di Hong Kong, bukan halangan untuk tetap menggenggam cita-cita sekolah setinggi-tingginya. Berminat ?

Tahun ajaran 2020/2021, UT Pokjar Hong Kong membuka penerimaan mahasiswa baru, dengan pilihan Jurusan Akutansi S1, Jurusan Management S1, Jurusan Sastra Inggris S1, Jurusan Administrasi S1, Jurusan Komunikasi S1, dan Jurusan Hukum S1.

Insyaallah, enam jurusan tersebut akan mengantarkan PMI Hong Kong menjadi manusia yang lebih berguna di tanah air kelak.

Silahkan menghubungi hotline Sri Hartati, S.S di nomor 853 5448 9961  dan Sri Endangsih, S.S di nomor +852 6381 8384. [Asa]

Advertisement
Advertisement