Benarkah Telah Menjadi Budaya +62, Aturan Dibuat Untuk Dilanggar ?
ApakabarOnline.com – `Aturan ada untuk dilanggar` istilah ini seolah mengakar dan terpatri kuat di pikiran masyarakat. Bukan hanya jadi istilah belaka, pada pelaksanaannya orang Indonesia memang hobi melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Hal itu bisa terbukti dengan jelas selama pandemi Covid-19 terjadi. Berbagai aturan diberlakukan, misalnya soal larangan keluyuran jika tak ada urusan penting hingga perkantoran yang mengharuskan work from home.
Aturan-aturan itu banyak yang dilanggar bahkan tak jarang oleh si pembuat aturan sendiri.
Cenderung Pelupa dan Pemaaf
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro memandang perilaku ini terjadi dilandasi oleh pola kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung pelupa dan pemaaf.
Di satu sisi, orang yakin bahwa aturan tetap harus ada untuk mengatur kehidupan, namun di sisi lain banyak aturan yang justru ditabrak karena dianggap menghalangi pola hidup yang mereka jalankan.
“Kalau orang gak setuju, ya ditabrak (aturannya). Terus ya gak jadi masalah karena Indonesia itu masyarakatnya pemurah. Minta maaf saja cukup, beres toh,” kata Koentjoro dikutip dari CNNIndonesia, Jumat (27/08/2021).
Sikap murah dan pemaaf ini tentu tak membuat efek jera terhadap pelaku pelanggar aturan, sehingga aturan seolah tak berarti apa-apa.
Selain itu, masyarakat Indonesia juga cenderung pelupa dan banyak aturan yang telah dibuat justru terlupakan begitu saja.
Hamdi Moeloek, Psikolog Sosial dari Universitas Indonesia (UI) menyebut pola pemikiran aturan ada untuk dilanggar ini memang sudah menjadi karakter sebagian besar orang Indonesia.
Dalam psikologi, perilaku orang ditentukan oleh tiga faktor utama yakni apa yang dipikirkan (mind), apa yang diyakini dan apa yang menjadi nilai-nilai kehidupan mereka. “Dan ini kalau sudah terpatri dalam diri orang akan jadi karakter atau kepribadian, ini akan menentukan perilaku orang,” kata Hamdi.
Tentu kepribadian seseorang juga bisa terbentuk oleh lingkungan. Meski ini bergantung pada seberapa kuat dia bisa mempertahankan prinsip hidupnya sendiri. “Nah di sini pentingnya sistem yang kuat memagari orang. Jadi walau karakter kurang kuat, paling tidak perliaku buruk tidak muncul karena dipagari sistem,” kata dia.
Tentunya kata Hamdi, pola pikir aturan ada untuk dilanggar ini adalah budaya yang salah namun kadung terjadi di Indonesia. Untuk mengubah perilaku ini harus ditanamkan kepercayaan bahwa aturan tidak untuk dilanggar bahkan sejak masih kecil. “Pondasi pendidikan karakter dulu, bukan buru-buru ngajarin hitung, baca tulis, matematika dan lain-lain. Jadi akan terbawa sampai dewasa,” kata dia.
Bentuk Perilaku Kekanak-Kanakan
Aturan ada untuk dilanggar ini juga bisa menjadi bentuk kekanak-kanakan yang dilakukan oleh seseorang, demikian yang diutarakan oleh
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ricardo. “Seperti balita yang senangnya mengerjakan apa yang dilarang untuk mendapatkan perhatian lebih,” kata Ricardo.
Meski begitu, pelanggaran aturan juga bisa jadi dilakukan karena dianggap menganggu aktivitas ekonomi hingga bentuk ekspresi ketidaksetujuan atau protes kepada si pembuat kebijakan.
Namun harusnya orang berpikir bijak atau dalam pemikiran jangka panjang terkait aturan-aturan yang ditetapkan. Sebab jika aturan itu memang membuat rugi dalam kurun waktu jangka pendek, bukan berarti jika diterapkan dalam jangka panjang tetap akan merugikan masyarakat.
“Yang harus dikedepankan pikiran aturan ada untuk dilanggar tidak muncul ya kedepankan kedewasaan berpikir, bersikap dan berpindak. Dewasalah,” kata dia. []