April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bermutasi, Begini Sederet Fakta Virus Corona Jenis Baru Hasil Mutasi

4 min read

HONG KONG –  Kemunculan Covid-19 jenis baru di Inggris mmebuat dunia kembali khawatir. Pasalnya, varian baru yang dinamai B.1.1.7 oleh ilmuwan dari konsorsium genomik Inggris tersebut dapat menular secara masif.

Menurut laporan resmi dari European Center for Disease Control & Prevention, varian baru yang juga dikenal dengan nama Variant Under Investigation (VUI 202012/1) tersebut banyak ditemukan di daerah Kent, Inggris terutama pada kelompok usia yang lebih muda dari 60 tahun.

Selain di Kent, varian tersebut juga banyak dijumpai di Wales yang dominan menginfeksi kelompok usia tertentu dengan median 41 tahun (11-71 tahun). Investigasi terhadap sifat varian baru ini sedang berlangsung.

Hasil berupa pemeriksaan klinis yang lebih buruk hingga kematian yang lebih tinggi atau terutama kelompok yang terkena dampak belum dilaporkan hingga saat ini. Studi yang dilakukan oleh 10 ilmuwan dari konsorsium genomik Covid-19 Inggris (COG-UK) itu menemukan bahwa varian ini muncul akibat adanya mutasi.

Studi yang berjudul “Preliminary genomic characterisation of an emergent SARS-CoV-2 lineage in the UK defined by novel set of spike mutation” tersebut mengatakan bahwa varian ini muncul akibat adanya perubahan genetik (mutasi) pada protein Spike yang berfungsi untuk menginfeksi inang.

Ada tiga perubahan genetik yang berhasil ditemukan dari karakterisasi tersebut. Mutasi pertama terjadi disekuens asam amino yang punya peranan untuk berikatan dengan reseptor di manusia dan mencit.

Mutasi tersebut diidentifikasi sebagai mutasi yang mampu meningkatkan afinitas (kemampuan berikatan) dengan reseptor milik inangnya. Dalam kasus ini adalah manusia dan mencit. Afinitas yang tinggi ini membuat virus menjadi lebih mudah masuk ke host atau sel inang, sehingga berpeluang besar meningkatkan risiko penularannya.

Laporan awal yang diperoleh dari dengan tingkat penularan diperkirakan antara 40% hingga 70%.

Perubahan genetik kedua adalah adanya delesi (hilangnya) asam amino pada urutan ke 69 dan 70 pada protein Spike. Mutasi jenis ini disebut mampu membuat virus dapat terhindar dari sistem pertahanan tubuh inang di beberapa kasus.

Kemudian mutasi yang terakhir adalah perubahan asam amino pada daerah di dekat gugus fungsi penting protein SARS-CoV-2. Jenis varian baru ini dikabarkan juga ditemukan di negara-negara lain seperti Belanda, Italia bahkan sampai ke Australia.

Desas-desus yang beredar selain lebih menular varian baru ini juga bisa lolos dari deteksi paling canggih seperti swab test PCR. Namun kenyataannya rumor tersebut tak sepenuhnya benar.

PCR merupakan salah satu tools paling sensitif untuk mendeteksi virus penyebab Covid-19 tersebut dengan menggunakan materi genetiknya. Namun hasil dari PCR tidaklah sesederhana seperti rapid test antigen/antibodi yang mengacu pada dikotomi reaktif dan non-reaktif. Hasil tes juga tak segamblang positif atau negatif.

Untuk mendeteksi adanya virus Corona, materi genetik tersebut harus dilipatgandakan untuk mencapai batas ambang tertentu. Batas ambang di sini biasanya disebut sebagai siklus dan dalam medis dilambangkan dengan Ct.

Apabila jumlah virus yang menginfeksi seseorang banyak, maka ketika sample swab dari tenggorokan atau hidung dikoleksi dan dites maka siklus yang dibutuhkan untuk mengamplifikasi jumlahnya hingga mencapai ambang batas menjadi lebih rendah. Begitupun sebaliknya.

Ct dalam kasus tes klinis deteksi Covid-19 juga bisa mengindikasikan tingkat keparahan seseorang ketika terinfeksi patogen ganas tersebut. Dalam melakukan interpretasi nilai Ct pun harus berhati-hati.

Menurut dokumen Public Health Ontario nilai ambang batas Ct di atas 40 mengindikasikan orang tersebut negatif Covid-19. Pasalnya setidaknya butuh 40 kali siklus amplifikasi materi genetik patogen untuk mendeteksi virus Corona tersebut benar-benar ada.

Apabila seseorang yang dites PCR dan mendapati nilai Ct berada di bawah 40 maka bisa dikatakan positif. Namun ada juga yang disebut sebagai indeterminate zone ketika nilai Ct di bawah 40 tetapi mendekati ambang batas tersebut mulai dari 38,1 – 39,9.

Untuk membuktikan apakah orang tersebut benar-benar terinfeksi Covid-19 atau tidak maka spesimennya harus dicek ulang. Bahkan jika perlu dilakukan pengambilan sample ulang.

Namun menurut dr. Ardiana Kusumaningrum, Sp.MK yang merupakan Dokter Mikrobiologi Klinik, RSUI, apabila nilai Ct>34 maka dikatakan sudah tidak lagi menimbulkan infeksi. Orang yang positif Covid-19 dengan nilai Ct tinggi bisa menjalani isolasi mandiri tanpa perawatan.

Sampai saat ini belum ada laporan komprehensif yang membahas keterkaitan antara varian baru Covid-19 ini dengan kemungkinan virusnya tidak terdeteksi mengingat tes PCR pun tidak bersifat mutlak dikotomis positif atau negatif. Oleh karena itu WHO merekomendasikan untuk benar-benar teliti dalam melakukan tes.

Setiap tes harus benar-benar bisa divalidasi dan dipertanggungjawabkan.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah apakah munculnya varian baru ini membuat vaksin tidak lagi efektif? Jawabannya pun tidak sesederhana efektif atau tidak mengingat vaksin sendiri beragam metode pembuatan (platformnya).

Di sisi lain sekuens genetik hingga isolat virus yang digunakan juga akan sangat mempengaruhi apakah suatu vaksin bisa digunakan untuk melindungi seseorang dari infeksi berbagai varian atau mutan virus Corona.

Penyelidikan laboratorium lebih lanjut diperlukan untuk memahami dampak mutasi spesifik pada sifat virus dan keefektifan diagnostik, terapeutik dan vaksin. Penyelidikan ini rumit dan membutuhkan waktu dan kolaborasi di antara kelompok penelitian yang berbeda.

Upaya berbagi sekuens genom lengkap perlu dilakukan guna memfasilitasi analisis rinci oleh mitra. Sekuens lengkap yang komprehensif, pemetaan garis kekerabatan atau evolusioner virus akan menjadi modal utama untuk menyediakan kit diagnostik yang sensitif dan vaksin yang efektif.

Well, kebenaran dari setiap desas-desus yang ada tidak bisa ditelan mentah-mentah. Semua dugaan harus dibuktikan secara ilmiah. Untuk membuktikannya pun butuh waktu. Namun daripada terlalu berspekulasi terhadap berbagai hal, pencegahan adalah langkah yang pasti untuk melindungi diri dan orang lain.

Masyarakat harus lebih meningkatkan kesadaran untuk melakukan kegiatan sesuai arahan protokol kesehatan 3M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak), sementara itu dari sisi pemerintah harus terus menggenjot 3T (tes, track & treatment).

Di sisi lain para akademisi, epidemiolog, ahli kesehatan masyarakat hingga dokter harus bekerja sama untuk terus melakukan pemantauan dan penelitian terkait virus corona ini. []

Advertisement
Advertisement