April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Besarnya Resiko Jumlah Orang Miskin Baru Bertambah

8 min read

JAKARTA – Belakangan, kabar PHK kembali mengemuka di media dan perbincangan warga di Tanah Air. Kali ini, kabar miris  itu berhembus dari perusahaan startup. Dari yang berskala kecil hingga besar tak ada yang kebal dari persoalan ketenagakerjaan yang menjadi imbas krisis.

Shopee Indonesia yang besar mengalaminya. Tokocrypto, Xendit, hingga startup edtech Indonesia BINAR juga terpaksa melepas sebagian karyawan. Langkah berat itu dilakukan dengan alasan, demi roda bisnis perusahaan tetap lincah bergerak.

JIkalau tidak terimbas krisis, efisiensi dan persiapan menghadapi ketidakpastian ekonomi global adalah salah satu dasar melakukannya. Ini terjadi tak hanya di Indonesia saja. Perusahaan teknologi ternama seperti Microsoft Corp juga memberhentikan kurang dari 1.000 karyawan.

Peringatan dini terhadap potensi resesi ekonomi global 2023 memang sudah digaungkan berbagai institusi finansial global. International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia hingga sejumlah pusat riset ekonomi regional Asia juga menyerukan hal senada.

Mereka menyatakan, resesi ada di depan mata. Krisis energi dan pangan yang terjadi di beberapa negara saat ini, menjadi indikasi nyata bangkitnya badai resesi tersebut.

Mengutip laman Investopedia, resesi merupakan kondisi di mana perekonomian suatu negara mengalami penurunan aktivitas secara signifikan dalam jangka waktu yang lama. Penurunan produk domestik bruto (PDB), kenaikan angka pengangguran, dan menurunnya kepercayaan konsumen menjadi tanda-tanda resesi dalam suatu negara.

Kenaikan pengangguran, penurunan daya beli dan belanja masyarakat, berdampak pada peningkatan kemiskinan.

Riset yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB)  menyebutkan, krisis 2008 berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang di Asia.

Dari total 64 juta warga Asia yang seharusnya keluar dari kemiskinan akan tetap tetap berada di pengeluaran purchasing power parity (PPP) US$1,25 per hari karena krisis. Lalu, ada tambahan 8 juta orang yang tetap berada di bawah tingkat pengeluaran US$2 PPP per hari. Artinya, jumlah mereka yang miskin tak berkurang. Sebaliknya, malah jumlahnya bertambah.

Memang, resesi bukanlah hal baru. Ditilik ke belakang, Indonesia pernah menghadapi empat kali resesi. Yakni, pada 1963, 1998, 2008, dan 2020. Resesi pada 1963 dipicu oleh hiperinflasi. Pada saat itu, ekonomi dan politik Indonesia dikucilkan dari dunia internasional karena sikapnya yang konfrontatif, seperti keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sayangnya, BPS tidak memiliki catatan berapa besar angka kemiskinan pada tahun itu.

Lalu, pada 1998, Indonesia tercatat sebagai negara yang mengalami krisis terparah di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi minus hingga 13,16%. Kala itu, utang luar negeri amatlah banyak.

Jumlah PHK yang meningkat, melambungkan angka kemiskinan di Indonesia. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi 49,5 juta orang.

Resesi tahun 2008 dipicu oleh krisis finansial global di AS, yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat, dan bahkan menurun. Nilai rupiah dan IHSG pun turut anjlok. BPS mencatat jumlah penduduk miskin di tahun ini sebesar 34,96 juta orang.

Sementara itu, resesi pada 2020, tak lain tak bukan terjadi karena adanya pandemi covid-19. Angka kemiskinan pada September 2020 tercatat sebesar 27,55 juta orang.

 

Masih Optimistis

Di tengah ancaman resesi global 2023 mendatang, Indonesia mengaku tak terlampau khawatir. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tak bakal anjlok di tengah ancaman resesi global 2023.

Presiden Jokowi di beberapa kesempatan juga meyakinkan, ekonomi RI tetap baik, meski langkah siaga perlu dilakukan.

Merujuk pada World Economic Outlook (WEO) oleh IMF per Oktober 2022, Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia hanya terkoreksi minus 0,2% menjadi 2,7%.

Untuk Indonesia, WEO IMF Oktober 2022 mengoreksi pertumbuhan ekonomi sebesar minus 0,2% menjadi 5%. Catatan itu, menjadi angin segar bahwa pemulihan ekonomi di Indonesia masih terus berjalan. Jadi pemerintah tak perlu melakukan insentif  terus- menerus.

“Pemulihan ekonomi Indonesia terus berjalan, sehingga tidak diperlukan insentif terus menerus karena kapasitas fiskal juga terbatas,” jelas Iskandar saat dihubungi di Jakarta, Senin (24/10/2022).

Dampak dari proyeksi melambatnya perekonomian terhadap kemiskinan dan pengangguran pun ia anggap relatif kecil. Hal ini tak lepas dari upaya pemerintah yang terus mendorong tingkat konsumsi masyarakat guna mencegah terjadinya resesi di Tanah Air.

Kontribusi ekspor Indonesia terhadap PDB yang hanya 25% pun menjadi penguat bahwa resesi global tak akan berpengaruh banyak pada perekonomian Indonesia. Beriringan dengan itu, pemerintah tetap menyalurkan bantuan sosial terhadap masyarakat menengah ke bawah.

“Dampak resesi global tak akan signifikan karena konsumsi dalam negeri akan didorong terus dengan memberikan bantuan sosial (bansos) bagi keluarga 40% terbawah dan kebijakan lain,” sambungnya.

Pandangan positif juga dikumandangkan oleh Co-founder dan Direktur Eksekutif Segara Institut, Piter Abdullah. Dia mengatakan bahwa kondisi Indonesia masih cukup baik dan diyakini mampu bertahan menghadapi resesi global. Pasalnya, Indonesia berbeda dengan negara-negara yang terlalu bertumpu kepada ekspor.

Perekonomian Indonesia disebutnya lebih bertumpu kepada konsumsi domestik yang diperkirakan akan membaik seiring meredanya pandemi. Di sisi ekspor juga masih akan terbantu dengan tingginya harga komoditi.

“Resesi global tentu akan menahan atau bahkan menurunkan harga komoditi, tetapi tidak membuat harga komoditi jatuh. Masih akan tetap cukup tinggi dan menguntungkan Indonesia yang mengandalkan komoditi,” kata Piter.

Kalaupun Indonesia terdampak oleh resesi global, diperkirakan hanya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat tidak bisa mencapai target di atas 5%.

Begitu pula dengan penurunan kinerja atau perusahaan yang terpaksa melakukan PHK dinilai menjadi sebuah kelaziman dalam merintis usaha. Asalkan, PHK tidak terjadi secara serentak di seluruh perusahaan dan secara besar-besaran.

“Skenario terbaiknya kita masih bisa tumbuh di atas 5%. Jadi apa yang disampaikan pemerintah dan juga IMF bahwa perekonomian Indonesia akan menjadi salah satu yang mampu tumbuh positif bukan sebuah bualan. Pemerintah memang harus memberikan warning, tetapi pemerintah juga harus selalu optimis,” tegasnya.

Piter menyarankan agar pemerintah tetap menjaga keyakinan pelaku usaha, serta memastikan pandemi benar-benar berakhir. Jadi, proses pemulihan ekonomi terus berlanjut.

 

Upaya Mitigasi

Berbekal optimisme, Kementerian PPN/Bappenas menambahkan, pemerintah juga tetap akan menjalankan agenda pembangunan dalam menurunkan tingkat kemiskinan saat ini.

“Target tingkat kemiskinan untuk tahun depan adalah sebesar 7,5–8,5%, sesuai dengan APBN 2023,” ujar Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Vivi Yulaswati, Minggu (23/10/2022).

Sebagai informasi, berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,5%, menurun 0,17% poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60% poin terhadap Maret 2021. Atau dapat disimpulkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang. Jumlah ini menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.

Lebih lanjut, Vivi mengungkapkan, sumber utama kenaikkan kemiskinan di tengah resesi berasal dari lonjakan harga pangan. Beberapa bulan terakhir inflasinya berada di kisaran 8–10%.

Dari lonjakan inflasi ini, komponen pangan pokok seperti padi-padian, sayuran, dan kacang-kacangan perlu dikendalikan dan perlu mendapat perhatian lebih.

“Mengacu data SUSENAS Maret 2022, komponen pengeluaran pangan masyarakat kuantil terbawah berpusat pada pengeluaran untuk ketiga jenis pangan pokok tersebut sebanyak hampir sepertiga. Dengan demikian, apabila harga tiga pangan pokok ini dapat dikendalikan, maka kenaikan harga pangan secara menyeluruh akan terminimalisasi, khususnya bagi masyarakat terbawah,” terang Vivi.

Untuk menekan angka kemiskinan agar tidak meningkat atau bisa turun di tengah resesi global, kata Vivi, pemerintah telah dan akan melaksanakan sejumlah mitigasi.

Perlusan cakupan pemberian bansos kepada masyarakat, terutamanya terhadap 40% kelompok masyarakat dengan pengeluaran terendah yang cukup rentan terhadap gejolak ekonomi, adalah langkah diantara yang utama.

Selain itu, lanjutnya, pengalihan subsidi BBM mulai tahun ini yang salah satunya diperuntukkan bagi bantuan langsung tunai ke kelompok termiskin, juga diklaim memperkuat pondasi bantalan sosial yang dimiliki oleh kelompok termiskin. Keduanya dilakukan sembari memperbaiki data secara simultan.

Vivi juga menyebutkan beberapa kebijakan pemerintah dalam menjaga konsumsi masyarakat sebagai penyumbang PDB terbesar. Dari sisi penawaran atau suplai, kebijakan operasi pasar dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) bagi komoditas esensial.

Hal ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga komoditas tersebut hingga di tingkat daerah dengan juga memanfaatkan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) masing-masing daerah.

“Ke depan akan semakin diperbanyak operasi ini, mengingat di situasi sulit akan lebih banyak orang yang memanfaatkan momen untuk menimbun barang agar dijual di harga yang lebih tinggi nantinya,” ungkap Vivi.

Untuk menjaga permintaan atau demand, program perlindungan sosial kepada masyarakat rentan dan miskin, tetap disalurkan. Program-program semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), subsidi listrik, dan semacamnya ditujukan untuk melindungi serta meningkatkan daya beli/konsumsi masyarakat terbawah.

Dia menuturkan, untuk program perlindungan sosial, secara keseluruhan pada tahun 2023 pemerintah menganggarkan dana sekitar Rp430 triliun. Hal itu guna menopang keberlanjutan dan meningkatkan cakupan program-program sosial yang sudah eksis di Indonesia.

Khusus kontijensi plan, salah satu yang sedang didiskusikan adalah dengan menggunakan anggaran dari Belanja Tak Terduga (BTT) untuk mengendalikan harga-harga bahan pokok agar daya beli masyarakat tetap terjaga.

“Potensi dari Dana Transfer Umum (DTU) juga mampu dimaksimalkan dengan menggunakan aturan 2% dana transfer untuk kepentingan pemberian perlindungan sosial,” jelasnya.

Pada saat sama, penguatan  ekonomi domestik juga diiimplementasikan dengan tetap menggaungkan kampanye Bangga Buatan Indonesia (BBI). Langkah mitigasi terhadap inflasi juga dilakukan dengan gerakan tanam pekarangan, food estate, peningkatan produktivitas dan percepatan musim tanam, hingga memperlancar distribusi barang dengan mendorong kerja sama antardaerah dan subsidi ongkos angkut. Semuanya diupayakan untuk ketahanan pangan.

 

Orang Miskin Baru

Rangkaian langkah komprehensif memang meredam guncangan krisis. Namun, ketidakpastian ekonomi global masih bisa merambat ke dalam negeri. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan potensi resesi pada 2023 cukup besar secara global. Di dalam negeri, imbas resesi global akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.

“Indonesia masih bisa bertahan karena booming harga komoditas, tapi temporer. Belum bisa dipastikan tahun depan batu bara dan CPO masih jadi tumpuan atau tidak,” tutur Bhima, Senin (24/10/2022).

Berbagai perusahaan yang menjadikan PHK sebagai jalan ninja agar perusahaan selamat, adalah nuansa suram yang tak terhindarkan menurut Bhima. Ancaman pada daya beli pun sudah mulai dirasakan.

“Ada yang unik soal PHK. Fakta bahwa PHK hari ini tidak hanya terjadi pada sektor industri pengolahan, tapi juga di startup. Dulu pada puncak resesi akibat pandemi, startup jadi penyerap tenaga kerja yang diandalkan. Sekarang kondisinya cukup menghawatirkan dengan banyaknya PHK di startup,” katanya.

Adapun, sektor yang diperkirakan paling terdampak resesi adalah pada ritel, industri otomotif, properti, pakaian jadi, besi baja, rekreasi, dan juga restoran.

Bhima menguraikan apa yang dilihatnya kini, terkait resesi. Banyak perusahaan sudah mulai melakukan efisiensi dan mengubah strategi. Demi menjaga harga tidak naik, beberapa perusahaan melakukan downsizing, yakni memperkecil ukuran atau kualitas barang dengan tujuan agar konsumen bisa tetap membeli.

Dengan kondisi ini, Bhima bahkan menyebutkan angka kemiskinan berisiko naik menjadi 10,5% akibat dampak resesi, sehingga mempersulit turunnya angka kemiskinan ekstrem.

“Kelas menengah rentan di Indonesia ada 115 juta orang. Sedikit saja guncangan, akan jadi orang miskin baru. Sekarang guncangan berasal dari inflasi energi, pangan, dan selisih kurs,” jelasnya.

Beberapa sumber utama kenaikkan kemiskinan juga belum terselesaikan. Ada kemiskinan struktural, yakni gap fasilitas pendidikan dan kesehatan serta stunting. Bayi terlahir dari keluarga miskin sudah tertinggal dalam berkompetisi dengan orang kaya karena bayi miskin rentan menderita stunting. Secara siklikal, ada dampak resesi terhadap naiknya biaya hidup dan kesulitan mencari pekerjaan.

Di tengah ancaman PHK dan kenaikan kemiskinan ini, Bhima meminta pemerintah untuk menaikan bansos terutama bantuan pangan, bantuan tunai langsung, dan perbaikan akses kesehatan serta pendidikan.

Dia menilai angka perlindungan sosial idealnya adalah 5% dari PDB. Akan tetapi, anggaran yang dialokasikan pada tahun depan baru 2,5%. “Masih rendah sekali,” katanya.

Terhadap keyakinan akan badai krisis takkan menghajar negeri ini dengan keras, Bhima mengamini. Tetapi, dia mencermati kebijakan pemerintah yang malah cenderung kontraktif.

Dia memberikan contoh kenaikan tarif PPN hingga 11% dan harga BBM subsidi naik 30%. Padahal idealnya, pemerintah memberikan banyak relaksasi pajak dan tambahan subsidi energi untuk menjaga daya beli.

Keduanya dinilai tak membuat warga bangsa untuk tak merasa guncangan krisis dan merasakan kondisi ‘baik-baik saja’. Kebijakan kontradiksi ini juga sejatinya malah membebani pemerintah sendiri.

“Kalau ditotal perlu paket kebijakan antisipasi resesi dan besarnya bisa Rp700 triliun,” ungkap Bhima. []

Sumber Visi Teliti Saksama

Advertisement
Advertisement